Khilafah Asli dan Asal

Oleh: Lajnah Tsaqafiyyah IMG_0359DPP Hizbut Tahrir Indonesia

 

Pengantar

 

Diakui atau tidak, kembalinya Khilafah merupakan janji Allah dan bisyarah Rasulullah yang pasti. Ini ditegaskan dengan begitu kuat dalam firman-Nya, Q.s. an-Nur [24]: 55, dan lisan Nabi-Nya, HR. Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir. Eksistensi Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam, bahkan disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai penjaga (haris), jelas tidak bisa dibantah oleh siapapun. Menegakkannya pun wajib. Kewajiban ini disepakati oleh seluruh ulama’, baik Sunni, Syiah, Mu’tazilah dan Khawarij dari kalangan mazhab akidah, maupun ulama’ Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali dari kalangan mazhab fikih. Bahkan, para ulama’ telah menyebutnya sebagai kewajiban paling agung.

 

Sejak Khilafah yang terakhir runtuh, tanggal 3 Maret 1924 di Turki, nyaris suara untuk memperjuangkan tegaknya kembali institusi kaum Muslim yang sangat vital ini pun tak terdengar. Adalah al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M), ulama’ besar, Mujtahid Mutlak, cucu al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Yusuf an-Nabhani, yang tak lain adalah guru Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU, orang yang mula-mula menyuarakan Khilafah. Ide ini awalnya tidak saja dianggap utopis, bahkan pengusungnya dianggap gila. Namun, dengan izin dan pertolongan Allah, berkat perjuangan beliau dengan Hizbut Tahrir, ide ini kini telah diterima luas oleh berbagai kalangan. Karena ini merupakan ajaran Islam, yang telah lama diabaikan oleh kaum Muslim.

 

Jika dahulu istilah “Khilafah” didengar, atau disebut-sebut kaum Muslim pun tidak, kini istilah itu nyaring terdengar, bahkan hampir setiap hari, setiap saat. Jika sebelumnya, mereka tidak mengetahui gambarannya, kini gambarannya pun dengan jelas mereka ketahui dan pahami. Karena itu, ketika ada upaya untuk memalsukan Khilafah ini, umat Islam pun segera menyadarinya. Sebut saja, Presiden Libanon, yang pernah mendeklair dirinya sebagai Khalifah, maka seketika itu juga, umat Islam menolaknya. Karena, dia tidak memenuhi syarat sebagai Khalifah. Begitu juga, ketika Robbert Haddad, dari Universitas Kristen Beirut, menyatakan konsep Khilafah Nasional, maka serta merta gagasan itu pun ditolak.

 

Bahkan, contoh mutakhir, ketika Tandzim Daulah Islam fi Iraq wa as-Syam (Daisy) atau lebih dikenal dengan ISIS, memproklamasikan Khilafah, umat Islam di seluruh dunia pun tidak terpengaruh. Semuanya ini membuktikan, bahwa umat Islam telah memahami betul konsep Khilafah. Mana Khilafah yang sesungguhnya, atau asli, dan mana yang tidak, atau asal? Karena itu, umat Islam saat ini tidak bisa lagi ditipu dengan berbagai klaim Khilafah, termasuk seseorang yang diklaim sebagai Khalifah.

 

Ide Khilafah Nation State

 

Nation state adalah negara yang dibatasi wilayah teritorial yang permanen. Sebenarnya batas wilayah teritorial permanen merupakan masalah politik, bisa bertambah dan berkurang. Wilayah Indonesia, misalnya, pada zaman Soeharto telah bertambah, meliputi Timor Timur, setelah wilayah ini diintegrasikan dengan Indonesia. Namun, di era Habibie, wilayah ini pun lepas melalui Referendum yang dimotori kaum Kristen, dengan dukungan negara-negara penjajah Barat.

 

Ini adalah bukti, bahwa batas wilayah teritorial yang permanen itu sesungguhnya tidak ada. Bukti lain, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa, meski secara fisik batas teritorialnya tetap ada, tetapi secara non-fisik sekat teritorial itupun diabaikan. Setelah tergabung dalam Uni Eropa, maka negara-negara Eropa ini sesungguhnya telah menjelma menjadi negara federasi, sebagaimana Amerika Serikat. Mereka harus meleburkan diri dalam negara federasi baru ini untuk menghadapi imperialisme Amerika. Mereka menyadari, bahwa mereka tidak bisa melawan Amerika sendiri, kecuali dengan bersatu dalam satu negara.

 

Ini merupakan bukti lain, bahwa konsep “batas wilayah teritorial permanen” itu sesungguhnya telah ditinggalkan oleh Barat. Mereka bahkan mengakui itu sebagai bentuk kelemahan mendasar yang mengakibatkan mereka tidak bisa lepas dari hegemoni Amerika. Konsep “wilayah teritorial permanen” ini kini hanya dianut oleh negara-negara yang menjadi koloni penjajahan Barat, baik di Asia, Afrika hingga Eropa.

 

Karena itu, Islam juga tidak mengenal konsep “batas wilayah teritorial permanen”. Selain fakta normatif, fakta historis Negara Khilafah membuktikan itu. Ketika Nabi mendirikan Negara Islam di Madinah, wilayahnya sangat terbatas. Namun, dalam waktu 10 tahun, wilayahnya telah meliputi seluruh Jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. Setelah itu, Irak, termasuk Iran, takluk di bawah pemerintahan Islam. Diikuti wilayah Syam, yang meliputi Palestina, Yordania, Libanon dan Suriah, juga takluk di bawah pemerintahan Islam.

 

Begitu seterusnya, hingga sebagian Eropa dan Asia tunduk di bawah pemerintahan Islam. Wilayah Negara Islam yang semula kecil, akhirnya berkembang hingga meliputi 2/3 dunia. Negara Khilafah pun menjadi adidaya selama 10 abad, dan negaranya bertahan hingga 14 abad. Hingga akhirnya, dihancurkan oleh negara Kafir penjajah, melalui berbagai gerakan sparatisme di sejumlah wilayah, serta invasi militer negara penjajah Barat di wilayah-wilayah tersebut.

 

Karena itu, ide Khilafah Nation State bukan ajaran Islam. Karena Khilafah Islam bukanlah negara yang menganut batas wilayah teritorial permanen. Andai saja, Negara Nabi dan Khulafa’ Rasyidin menganut batas wilayah teritorial permanen, tentu negara ini tidak akan pernah menjadi negara adidaya selama 10 abad. Wilayahnya juga tidak akan mencapai 2/3 dunia. Justru karena itulah, kaum Kafir penjajah paham betul, bahwa untuk mengkerdilkan umat Islam, dan agar umat yang mulia ini tetap bisa dijajah, maka paham kesukuan (kebangsaan) yang menjadi basis nation state ini disebarkan di tengah-tengah umat.

 

Sejarah telah menunjukkan kepada kita, bagaimana Inggris menggunakan sentimen ini untuk memprovokasi Syarif Husain untuk melawan Khilafah ‘Utsmani, dengan iming-iming akan dijadikan sebagai Khalifah. Sentimen ini juga yang digunakan oleh negara-negara Eropa untuk menyulut krisis Balkan di zaman Khalifah ‘Abdul Hamid. Sentimen ini juga digunakan oleh Amerika, melalui Soekarno, untuk menyulut konfrontasi dengan Malaysia. Begitu juga sebaliknya, Inggris, melalui Tengku Abdurrahman, untuk melawan Indonesia.

 

Sentimen ini sangat berbahaya, karena bisa menghancurkan kaum Muslim di dunia, dan di akhirat bisa menyeret mereka ke neraka. Allah berfirman:

 

﴿وَاذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ، فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا﴾ [سورة آل عمران: ]

 

“Ingatlah kalian terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada kalian, ketika kalian dahulu menjadi bermusuh-musuhan, kemudian Dia menyatukan hati kalian, lalu dengan nikmat-Nya itu kalian menjadi saudara.” (Q.s. Ali ‘Imran [03]: )

 

Nikmat yang disebut oleh Allah di sini adalah nikmat Islam, yang berhasil mengikis sentimen kesukuan (kebangsaan) di antara kaum Aus dan Khazraj. Sentimen yang telah meluluhlantakkan persatuan kaum Aus dan Khazraj, dan menyeret mereka dalam peperangan selama puluhan tahun.

 

Karena itu, sentimen ini tidak boleh tumbuh dan berkembang. Bahkan, begitu muncul, Nabi pun segera memadamkannya, seraya bersabda:

 

«مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ؟» فقال: «دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ» [رواه البخاري ومسلم، واللفظ لمسلم].

 

“Bagaimana mungkin seruan-seruan Jahiliyah itu bisa muncul?” Lalu, Nabi bersabda, “Tinggalkanlah (seruan-seruan kesukuan) itu, sesungguhnya itu merupakan perkara yang busuk.” (HR. Bukhari dan Muslim. Sedangkan redaksi milik Muslim)

 

Begitulah Islam memandang konsep “batas wilayah teritorial permanen”. Karena itu, ini bukanlah perkara final. Begitu juga apapun bentuk eksperimen manusia, tidak ada yang final. Justru yang final adalah apa yang telah ditetapkan oleh wahyu dari Allah SWT. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah.

 

Janji dan Bisyarah Kembalinya Khilafah

 

Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah adalah bentuk final negara kaum Muslim di seluruh dunia, karena inilah yang ditetapkan oleh wahyu. Istilah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini digunakan dalam hadits Nabi, dengan konotasi yang spesifik. Ia bukan kerajaan, bukan republik, bukan federasi, bukan kekaisaran, juga bukan negara demokrasi. Tetapi, negara kesatuan dengan sistem pemerintahannya yang khas.

 

Istilah Khilafah ini merupakan ism[un] syar’iyy[un] (istilah syariat), yang digunakan oleh nash syara’ dengan konotasi syara’. Ini seperti lafadz “Shalat”, “Shaum”, “Zakat”, “Hajj”, “Jihad” dan sebagainya. Karena itu, selain mempunyai substansi juga mempunyai bentuk amaliyah yang khas. Karena ini merupakan bagian dari hukum syara’. Maka, tidak mungkin seorang Muslim disebut telah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan jihad, jika hanya mengambil substansinya, sementara amaliyahnya yang khas ditinggalkan. Begitu juga dengan Khilafah.

 

Karena itu, mengapa umat Islam menolak Presiden Libanon saat memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah? Mengapa umat Islam juga menolak, ketika Robbet Haddad, menyebarkan ide Khilafah Nation State? Mengapa umat Islam juga menolak Khilafah yang diproklamirkan oleh ISIS? Karena, umat Islam dan para ulama’nya paham, bahwa Khilafah ini bukan hanya substansi, tetapi mempunyai syarat dan amaliyah yang khas, yang menjadikannya layak disebut Khilafah.

 

Setelah kesadaran umat tentang Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah begitu mengkristal, upaya untuk mengaburkan hingga menghentikan kembalinya Khilafah semakin gencar dilakukan oleh kaum Kafir penjajah. Tak terkecuali, melalui kaum Muslim sendiri. Melalui berbagai dalih dan penyesatan, kaum Kafir penjajah telah berhasil menyihir sebagian umat Islam untuk memuluskan rencana mereka. Mulai dari isu War on Terorism, invasi ke Irak, Afghanistan hingga Perang melawan ISIS. Tetapi, sebagaimana penegasan Allah:

 

﴿وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيُثْبِتُوْكَ، أَوْ يَقْتُلُوْكَ أَوْ يُخْرِجُوْكَ، وَيَمْكُرُوْنَ وَيَمْكُرُ اللهُ، وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِيْنَ [سورة الأنفال: 30]

 

“Ingatlah (Muhammad), ketika orang-orang Kafir itu melakukan makar jahat kepadamu untuk menangkapmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka merancang makar jahat, tetapi Allah membalas makar (mereka). Dan, Allah adalah Dzat yang Maha Menggagalkan makar.” (Q.s. al-Anfal: 30)

 

Ayat ini mengingatkan Nabi, bahwa apapun makar jahat yang dirancang kaum Kafir untuk menggagalkan perjuangan Nabi pasti gagal. Akhirnya, Nabi pun berhasil mendapatkan nushrah (dukungan) penduduk Madinah. Di sanalah, Nabi hijrah dan mendirikan Negara Islam yang pertama. Dari sana pula, Islam kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia.

 

Hal yang sama kini pun terulang kembali. Semakin kencang upaya kaum Kafir untuk memerangi Khilafah, semakin kuat pula keingintahuan dan kerinduan umat kepadanya. Bahkan, upaya menyerang nash-nash syara’ yang menyatakan kembalinya Khilafah pun tidak bisa menggoyahkan keyakinan umat. Alih-alih menjadi hujah yang mendukung serangan mereka, justru upaya ini melemahkan mereka sendiri.

 

Lihatlah, ketika mereka menyatakan, bahwa hadits tentang kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini lemah, karena di dalamnya terdapat Habib bin Salim, yang dituduh tidak kredibel. Mengenai Habib bin Salim sendiri, Ibn Hajar menjelaskan, sebagai berikut:

 

“Habib bin Salim al-Anshari Maula an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya: Abu Hatim berkomentar, “Tsiqqah”. Al-Bukhari berkomentar, “Tentang dia, harus diteliti.” Abu Ahmad bin ‘Adi berkomentar, “Di dalam matan-matan haditsnya tidak terdapat satu pun hadits munkar.” Aku [Ibn Hajar] berkomentar, “Al-Ajiri menuturkan dari Abu Dawud, “Tsiqqah.” Ibn Hibban menyebutkannya dalam kitabnya “at-Tsiqqat”. Dia pun disebutkan di sana.” (Lihat, Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz II/161)

 

Selanjutnya, Ibn Hajar menyebutkan nama Habib bin Salim, tetapi Habib bin Salim yang lain. Tentang ini, beliau menulis begini:

 

“Jika ia bukan Maula an-Nu’man [bin Basyir], saya tidak tahu, siapa dia. Al-‘Uqaili telah menolak haditsnya dari an-Nu’man..” (Lihat, Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz II/161).

 

Karena itu, hadits kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini secara umum dinyatakan sahih oleh Albani, dan dinyatakan hasan oleh Arna’uth. Mengenai maksud perkataan al-Bukhari “Fiihi Nazhar” (harus diteliti) ketika mengomentari Habib bin Salim, tepatnya dalam kitabnya at-Tarikh al-Kabir, Juz II/318. Al-Bukhari berkomentar:

 

حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان، روى عنه أبو بشيروبشير بن ثابت ومحمد بن المنتشروخالد بن عرفطة وإبراهيم بن مهاجر، وهو كاتب النعمان، فيه نظر

 

“Habib bin Salim adalah Maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir al-Anshari, [meriwayatkan hadits] dari an-Nu’man, dan meriwayatkan [hadits] darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad bin Al Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah, dan Ibrahim bin Muhajir, dan dia [Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu diteliti.” (Lihat, al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, Juz II/318).

 

Mengenai perkataan al-Bukhari “fihi nazhar” (dia harus diteliti) ini, sudah banyak dijelaskan oleh para ulama. Al-‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarah al-Alfiyah:

 

فلان فيه نظر، وفلان سكتوا عنه:  يقولهما البخاري فيمن تركوا حديثه

 

“[Perkataan] “fihi nazhar” (dia harus diteliti), dan “fulan sakatuu ‘anhu” (si Fulan telah didiamkan), merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh al-Bukhari mengenai periwayat hadits yang haditsnya ditinggalkan.” (Lihat, al-‘Iraqi, Syarah Al Alfiyah, Juz II/11).

 

Ad-Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya, Mizanu al-I’tidal:

 

قوله: فيه نظر، وفي حديثه نظر، لا يقوله البخاري إلا فيمن يتهمه غالبا

 

“Perkataan dia (al-Bukhari): “fihi nazhar” (dia harus diteliti), dan “fii hadiitsihi nazhar” (haditsnya perlu diteliti), tidaklah diucapkan oleh al-Bukhari, kecuali mengenai orang-orang yang dia tuduh [tidak kredibel] pada galibnya.” (Lihat, Ad-Dzahabi, Mizanu al-I’tidal, Juz I/3-4).

 

Namun, kutipan di atas juga bisa menunjukkan kaidah umum dari perkataan al-Bukhari “fihi nazhar” (dia harus diteliti), yang memang menunjukkan lemahnya kredibilitas periwayat hadits. Namun dalam kasus Habib bin Salim, perkataan al-Bukhari ini bukanlah merupakan jarh yang kemudian melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Karena terdapat dua qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya.

 

Dua indikasi tersebut adalah; Pertama, al-Bukhari sendiri menilai sahih hadits yang di dalamnya ada periwayat Habib bin Salim. Kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” (dia perlu diteliti) boleh jadi dianggap kredibel oleh ahli hadits lain.

 

Indikasi pertama, telah ditunjukkan oleh at-Tirmidzi dalam kitabnya al-‘Ilal al-Kabir (Juz I/33), bahwa at-Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada al-Bukhari mengenai suatu hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir, bahwa Nabi saw. dalam dua shalat Ied dan shalat Jum’at telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Ataaka Hadiistul Ghaasiyah, dan bisa jadi keduanya (Ied dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi saw. membaca kedua surat itu. Maka al-Bukhari berkomentar, “Huwa hadits sahih (Itu hadits shahih).” (Lihat, at-Tirmidzi, al-‘Ilal al-Kabir, Juz I/33).

 

Ini jelas menunjukkan al-Bukhari sendiri telah menilai shahih hadits yang perawinya dinilainya sebagai “fihi nazhar“. Fakta ini menunjukkan, ketika al-Bukhari menilai seorang perawi dengan mengucapkan “fihi nazhar“, tidaklah selalu berarti haditsnya otomatis lemah (dhaif) dan tak dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.

 

Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa al-Bukhari tetap menshahihkan hadits yang perawinya dikomentarinya dengan “fiihi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah ad-Durais dalam kitabnya Mauqifu al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath al-Liqaa’ wa as-Samaa’ (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, tt hal. 120), hal itu karena al-Bukhari tidak sampai derajat yakin, bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqa’) atau mendengar (as-samaa’) hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Imam Bukhari ragu (syakk), apakah Habib bin Salim pernah bertemu (mendengar) hadits tersebut dari Nu’man bin Basyir. (Lihat, Khalid Manshur Abdullah ad-Durais,  Mauqiful al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).

 

Namun ketidakyakinan al-Bukhari ini tak berarti al-Bukhari secara mutlak tidak mempercayai Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi al-Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim, akan dapat disimpulkan bahwa al-Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghaalib), bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqa’) atau mendengar (samaa’) dari an-Nu’man bin Basyir, walau tak sampai derajat yakin.

 

Ada dua alasan untuk itu. Pertama, al-Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah maula (bekas budak). Artinya dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu an-Nu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi sangat mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Kedua, al-Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah penulis atau sekretaris an-Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis sering bertemu atau mendengar perkataan dari atasannya. Maka sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan al-Bukhari tetap menilai shahih hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. (Lihat, Khalid Manshur Abdullah ad-Durais,  Mauqiful al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).

 

Ini adalah indikasi pertama yang membuktikan kredibilitas Habib bin Salim, serta hadits yang diriwayatkannya, dengan adanya penilaian shahih dari al-Bukhari sendiri terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim.

 

Indikasi kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” bisa jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak.

 

Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski al-Bukhari menilainya “fiihi nazhar” namun menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, Ibn ‘Adi, Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibn Hiban Habib bin Salim dianggap tidak ada masalah. Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lam an-Nubala’ karya ad-Dzahabi, Juz XII/439. Di antaranya adalah sebagai berikut :

 

Pertama, perawi bernama Tamaam bin Najiih. Al-Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Tamaam bin Najiih dianggap tsiqah oleh Yahya bin Ma’iin. Abu Dawud dan at-Tirmidzi juga tidak meninggalkan haditsnya. Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud as- Shan’ani. Al-Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Yahya bin Ma’iin menganggapnya tsiqah. Ibn Hiban memasukkan namanya dalam kitabnya at-Tsiqaat. An-Nasa’i juga meriwayatkan hadits darinya. Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid al-Hammani. Al-Bukhari menilainya “fii hadiitsihi nazhar” (harus diteliti). Tetapi an-Nasa’i berkata, dia tsiqah. Ibn ‘Adi mengatakan, “Aku tidak melihat haditsnya munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia riwayatkan.” Dan seterusnya banyak sekali.

 

Jadi, penilaian al-Bukhari “fiihi nazhar” kepada seorang perawi, tidak berarti hadits yang diriwayatkannya secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Karena bisa jadi para Ahli Hadits lain menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil (taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).

 

Kesimpulan

 

Jelaslah sudah, bahwa Khilafah Islam sebagai ajaran Islam, harus diyakini oleh umatnya, terlebih para ulama’nya. Keyakinan ini tidak hanya meyakini substansinya, tetapi juga Khilafah sebagai ism[un] syar’iyy[un] (istilah syariat) dengan konotasi syara’nya. Inilah bentuk final negara kaum Muslim di seluruh dunia. Karena inilah, satu-satunya sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Nabi dan para sahabat.

 

Kembalinya Khilafah juga pasti, karena ini merupakan janji Allah, dan bisyarah Nabi-Nya. Karena itu, menyerang nash-nash syara’, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah, atau memutarbalikkan maknanya demi imbalan dunia yang tidak seberapa, hanya akan sia-sia belaka. Umat Islam pun kini sudah lebih cerdas, dan paham tentang Khilafah. Mereka tidak lagi bisa ditipu, siapapun yang menipunya.

 

Maka, daripada bersusah payah mengahabiskan energi untuk mengaburkan, menyerang atau membelokkan konsep Khilafah, lebih baik berjuang bersama-sama demi tegaknya kembali Khilafah. Karena, apapun upaya untuk menghalangi tegaknya Khilafah tidak akan pernah berhasil. Karena ini melawan janji Allah, dan bisyarah Nabi-Nya. Sedangkan janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya itu pasti. Wallahu a’lam.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*