Pengamat pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Suswanta menyatakan kabinet baru dengan semangat kerja ini tidak akan membawa perubahan signifikan. “Ada dua alasan untuk itu, yaitu alasan internal dan eksternal,” ungkapnya seperti dilansir Media Umat Edisi 138: Kabinet Kerja untuk Siapa? Jum’at (7-20 Nopember).
Alasan internal setidaknya ada empat. Pertama, beberapa kementerian dan lembaga baru tidak bisa langsung bekerja lantaran ada problem anggaran, staf dan sekretariat (kantor dan peralatannya).
Kedua, Jokowi adalah presiden “terlemah” karena hanya menang tipis dari Prabowo dan bukan ketua umum partai. Tarik ulur kepentingan dalam penyusunan kabinet semakin menguatkan hal itu.
Ketiga, konflik politik di parlemen antara Koalisi Merah Putih dan Koalisis Indonesia Hebat akan membuat kerja kabinet Jokowi jalan di tempat, setidaknya yang membutuhkan persetujuan parlemen.
Keempat, karakter kabinet masih bercita rasa neoliberal. Mengingat cukup banyak kalangan bisnis yang masuk dalam kabinet.
“Perubahan yang pasti adalah negara akan dikelola dengan cara bisnis, sehingga rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan haknya,” prediksinya.
Ia juga menyebutkan empat alasan eksternal. Pertama, warisan utang luar negeri sebesar Rp 3.040 triliun. Kedua, dominasi asing hampir dalam semua aspek kehidupan, terutama dalam penguasaan sumber daya alam strategis. Ketiga, Indonesia sudah terikat dengan kerjasama atau perjanjian dalam rangka perdagangan bebas. Keempat, ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor, khususnya sektor pangan.
Menurutnya, kabinet yang demikian akan ramah dan menggelar karpet merah untuk pemilik modal, akan tetapi secara bertahap akan mencabut subsidi untuk rakyat dengan alasan subsidi hanya membebani anggaran pemerintah, membuat rakyat manja dan tidak tepat sasaran.
“Perlu diinsyafi, pemerintahan yang menyejahterakan rakyat dan pemimpinya dunia akhirat hanya bisa diwujudkan jika dilandaskan pada aqidah Islam dan diatur dengan syariat Islam yang meliputi politik, ekonomi, sosial, pendidikan dll dalam naungan Khilafah, jadi tidak cukup hanya dengan ramah, suka tersenyum dan blusukan,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo