Keruntuhan Tembok Berlin dan Kegagalan Sebenarnya dari Sistem Ekonomi Saat Ini

padestrian remnant Berlin wallOleh Prof. Richard D Wolff
Klaim berlebihan terjadi pada minggu lalu dalam peringatan ke 25 tahun runtuhnya Tembok Berlin. “Kebebasan” telah dicapai. Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur), atau apa yang media Barat lebih suka menyebutnya sebagai komunis Jerman Timur, telah ditolak. Aparat mata-mata resmi negara Jerman Timur yang dibenci oleh rakyatnya – “Stasi” – tidak bisa melanjutkan aktivitasnya. Kebebasan dan kemakmuran akan dan tiba saat negara itu bergabung dengan “dunia bebas.” Rakyat benar-benar telah secara damai menggulingkan sosialisme dan kembali kepada kapitalisme. Tidak ada yang akan merasa kehilangan atas interpretasi kegembiraaan runtuhnya Tembok Berlin. Namun, saat ini sukar mengatakan itulah satu-satunya interpretasi, meskipun jarang ada orang yang mengakuinya.

Memang benar, rezim represif telah runtuh di tengah janji-janji kebebasan dan kemakmuran. Hal itu terjadi di sebagian besar Eropa Timur. Namun kebebasan dan kemakmuran sebagian besar terbukti sulit untuk dipahami agar bisa dicapai atau tetap terjaga. Dimana kebebasan mengantar kembali kapitalisme, lalu kapitalisme dengan cepat mengambil alih dan mengenakan beban beratnya. Euphoria, seperti terjadi pada musim semi, tidak pernah berlangsung.

Reintegrasi ke dalam kapitalisme Eropa melalui reunifikasi Jerman belum membawa keberuntungan bagi begitu banyak orang Jerman yang membayangkan kembali pada tahun 1989. Mereka kehilangan pekerjaan yang tetap, mendapatkan gaji dan pelayanan sosial yang murah hati. Mengambil kebebasan memakan biaya yang mahal. Kapitalisme dimana mereka bergabung kedalamnya, memiliki masalah ekonomi yang serius yang membatasi peluang kerja dan keamanan, pelayanan sosial dan prospek masa depan. Keberuntungan dalam sebagian kebebasan memberikan kerugian pada hal lain.

Orang-orang yang pro-kapitalis dan para pejabat resmi lainnya menandai ulang tahun ke 25 keruntuhan Tembok Berlin itu dengan berlebihan dan agak mencurigakan. Mungkin mereka merayakan dengan begitu bersemangat untuk meredam kekecewaan– dengan bermabuk-mabukan – atas kecemasan mereka yang meningkat tentang kebebasan seperti apa yang kaum kapitalis akan terus berikan.

Cara yang lebih baik untuk merayakan hal itu adalah dengan bersikap jujur dalam menilai dan mengambil pelajaran yang berguna atas percobaan yang dilakukan oleh Jerman Timur itu (1949-1990) dalam merangkul kapitalisme. Mengapa Tembok Berlin itu runtuh? Percobaan apa yang berikutnya akan terjadi yang akan dilakukan kapitalisme untuk bisa bertahan hidup dan berkembang? Apakah sesungguhnya arti dari keruntuhan Tembok Berlin dan ledakan yang sama atas Sosialisme?

Sebagian orang, sebagaimana Margaret Thatcher, berharap kegagalan kaum sosialis yang ingin “membuktikan” bahwa tidak ada alternatif yang bisa bekerja atas kapitalisme yang ada sekarang. Namun interpretasi itu telah memudar dengan evolusi kapitalisme pasca-1990. Kapitalisme global yang melonjak kemudian bergantung pada gelembung utang (debt bubble) yang tingkatnya tidak bisa dipertahankan dan secara tajam memperdalam perbedaan pendapatan dan kekayaan. Keruntuhan ekonomi global tahun 2008 dan penghematan yang terjadi selanjutnya merobek-robek jaring pengaman sosial di mana-mana. Versi kapitalisme yang lebih keras memprovokasi gerakan massa dengan arus kuat yang mengkritisi kapitalisme. Ketertarikan pada Marx dan Marxisme yang diperbaharui. Seperti yang selalu benar, kontradiksi kapitalisme itu sendiri membangkitkan minat yang dalam dan percobaan dengan berbagai bentuk sosialisme.

Jatuhnya Tembok Berlin dan Jerman Timur menunjukkan batas-batas tertentu percobaan pasca-kapitalisme. Siapa pun juga akan terkejut bahwa sebagian percobaan itu ada dalam masa transisi dari satu sistem ekonomi yang sistim ekonomi lain yang terbukti tidak bisa dipertahankan. Itu adalah pelajaran yang sama yang diajarkan oleh transisi sejarah sebelumnya.

Kapitalisme muncul secara sama dari feodalisme di Eropa. Sebagai contoh, tuan tanah dan budak kadang-kadang dihadapkan dengan kota-kota yang bereksperimen dengan pengaturan produksi non-feodal. Para pedagang atau orang-orang lain menggunakan akumulasi kekayaan sebagai sarana untuk mempekerjakan para pekerja. Para pekerja, yang sering merupakan ‘para pengungsi’ yang beralih dari tanah milik kaum feodal, selamat dengan cara baru: menjual kapasitasnya untuk bekerja. Orang-orang kaya semakin kaya dengan cara menjual hasil produksinya di pasar negara-negara berkembang dan mengambil keuntungan.

Percobaan semacam itu dalam kapitalisme kadang-kadang berlangsung sebentar, lalu dihancurkan oleh kaum feodal di sekitarnya yang tidak senang dengan kemerdekaan penduduk kota, yang serakah untuk mendapatkan kekayaan atau kedua-duanya. Eksperimen kaum kapitalis lainnya berlangsung lebih lama, tapi kemudian menghilang karena kurangnya bahan baku, tenaga kerja yang memadai, pasar yang memadai, atau lewat serangan dari kaum feodal atau para pesaing kapitalis, dan sebagainya. Transisi Eropa dari feodalisme menuju kapitalisme memakan waktu berabad-abad dan melibatkan banyak percobaan yang berlarut-larut (“banyak revolusi” yang diikuti dengan “restorasi”). Akhirnya, kondisi yang berkembang – dan pelajaran yang diambil dari sebelumnya, menggagalkan percobaan kaum kapitalis –percobaan-percobaan yang berhasil dan lalu tumbuh menjadi kapitalisme pada hari ini. Transisi dari kapitalisme menuju sosialisme akan ditampilkan dengan baik agar cocok sebanding dan segera dimulai.

Berikut kemudian adalah interpretasi dari kejatuhan Tembok Berlin yang bisa diambil pelajaran berharga dari Jerman Timur yang berusia 41 tahun. Jerman Timur didefinisikan sebagai sosialisme 1) yang memindahkan kepemilikan dan pengoperasian dari kebanyakan industri dari individu pribadi kepada para pejabat negara, dan 2) memberikan pemerintah perencanaan ekonomi untuk mendominasi pasar dan harga. Negara mengambil alih produksi dan distribusi. Karena itu, ia mengumpulkan kekuatan yang luar biasa dengan terlalu sedikit batasan, dan kekuatan penyeimbang yang terlalu kecil dari bawah. Sementara terjadi pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, ia gagal untuk melibatkan rakyat atas komitmenya terhadap sistem sosialis. Karena tidak adanya kebebasan pribadi Jerman Timur, barang-barang konsumen dan kebebasan politik yang membangun ketidakpedulian dan permusuhan terhadap eksperimen kaum sosialis.

Apakah pelajarannya kemudian membuat demokrasi politik bisa menyelamatkan Jerman Timur? Belum tentu: Jika partai-partai politik telah menjamur, apa yang akan mencegah pemerintahansemacam Jerman Timur untuk mengendalikan dan memanipulasi mereka? Apa yang akan mencegah demokrasi politik dari yang awalnya hanya sebabatas formal di Jerman Timur seperti juga pada kebanyakan negara kapitalis saat ini, di mana banyak partai hampir sulit mencegah kaum kapitalis kemudian secara efektif mendominasi partai-partai dan para politisi itu?

Salah satu pelajaran yang menarik dari sejarah Jerman Timur adalah bahwa jika masyarakat sosialis yang dijalankan oleh, dari dan untuk rakyat, maka rakyat harus bertanggung jawab dan itu termasuk dalam hal perekonomian. Demokrasi (baik demokrasi kapitalis maupun demokrasi sosialis) akan tetap hanya sebagai hal formal ketika ekonomi terus dijalankan oleh sekelompok kecil minoritas (dalam hal kapitalisme, yakni para pemegang saham utama dan dewan direksi yang mereka pilih, dan dalam sosialisme, yakni pejabat negara). Mereka adalah kaum minoritas yang akan mendominasi hingga mereka digulingkan.

Apa yang mungkin telah menyelamatkan Jerman Timur, maka, akan perlu berjalan dengan baik melebihi nasionalisasi alat-alat industri produksi dan meningkatkan rencana atas pasar. Hal itu adalah usaha untuk harus mendemokratisasikan perusahaan-perusahaan (yang pabrik, kantor dan toko) yang memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa. Tapi mereka tidak pernah berani untuk melakukannya. Para pekerja dari Jerman Timur tidak secara demokratis memproduksi dan mendistribusikan – dan dengan demikian mengendalikan – surplus perekonomian pada titik-titik asal mereka di perusahaan. Karena itu mereka tidak mengontrol dana yang memungkinkan negara untuk melakukan fungsinya. Jika perusahaan-perusahaan itu telah didemokratisasi, mereka akan mengadakan sarana untuk membatasi dan menyeimbangkan kekuasaan negara.

Para pekerja Jerman Timur mungkin kemudian telah berjuang untuk mempertahankan sosialisme yang telah membuat mereka menjadi operator dan pengambil keputusan di dalam dan dari perusahaan mereka. Kelebihan kekuasaan negara mungkin telah berhenti jika para pekerja di perusahaan-perusahaan yang didemokratisasi itu menggunakan kekayaan dan kekuasaan perusahaan mereka untuk tujuan-tujuan tersebut. Dalam penafsiran ini, alternatif atas jatuhnya Tembok Berlin, ketika percobaan yang dilakukan oleh Jerman Timur dalam sosialisme berhenti pada nasionalisasi industri dan ekonomi yang terencana – “Jerman belum siap untuk melakukan yang lebih dari hal itu” – mereka akan mundur. Hanya dengan terus maju – dengan mereorganisasi perusahaan- mungkin percobaan mereka dalam sosialisme akan selamat.

Sumber :

http://www.truth-out.org/news/item/27383-the-fall-of-the-berlin-wall-and-the-failures-of-actually-existing-economic-systems

 

Richard D. Wolff adalah Profesor Ekonomi Emeritus, University of Massachusetts, Amherst dimana dia mengajar ekonomi dari tahun 1973 hingga tahun 2008. Saat ini dia menjadi Professor Tamu pada Program Pasca Sarjana Hubungan Internasional pada New School University, New York City. Dia juga mengajar di Brecht Forum di Manhattan. Sebelumnya dia mengajar ekonomi di Yale University (1967-1969) dan di City College of the City University of New York (1969-1973). Pada tahun 1994, dia menjadi Profesor Tamu Ilmu Ekonomi di University of Paris (Perancis), I (Sorbonne).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*