(Sekali Lagi) Delapan Menteri Perempuan: Bukan Sekedar Kesetaraan Gender
Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasiyah DPP MHTI)
Bisa jadi pegiat gender bersuka cita akan penobatan 8 perempuan sebagai menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019. Posisi mereka tidak hanya pada kementrian klasik seperti Kementrian Kesehatan, Kementerian Sosial dan tentu saja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, namun juga kementrian ‘maskulin’ seperti Menko, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Luar Negeri, Menteri BUMN dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Meningkatkan jumlah pejabat publik perempuan adalah mandat United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) pada tahun 1990 dan ditegaskan kembali dalam Beijing Platform for Action (BPfA) 1995. Indonesia masih dianggap belum optimal dalam feminisasi pejabat publik, sehingga pemerintah dipaksa harus menerapkannya. Laporan United Nations Development Programme (UNDP) bertajuk 2014–UNDP-Gender Equality in Public Administration (GEPA) menyebutkan bahwa Indonesia baru menempatkan 8 persen perempuan pengambil kebijakan publik dari target 30 persen.
Tujuan untuk memperbanyak perempuan sebagai pejabat publik jelas tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kapitalisasi perempuan. Simak saja, periset yang paling getol memberikan asumsi keterkaitan perempuan dan pembangunan (baca: kapitalisasi) adalah forum ekonomi dan bisnis. Lembaga sejenis ini acap kali mengeluarkan klaim yang diperkuat dengan laporan periodik tentang peringkat partisipasi perempuan, seperti laporan WEF : The Global Gender Gap Report 2014. Dalam laporan itu disebutkan bahwa political empowerment perempuan Indonesia menempati urutan ke 86 dari 142 negara. Diantara sub- indeks yang diukur dalam parameter itu adalah rasio perempuan pada tingkat menteri.
Kabinet Neoliberal
Di era pasar bebas yang mengincar kekuatan SDM Indonesia, pejabat publik perempuan dianggap akan memberi dampak signifikan pada pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Posisi itu akan membuka peluang ketersediaan tenaga kerja perempuan dengan kualifikasi sesuai kebutuhan pasar. Walaupun WEF menilai, setelah Norwegia dan Perancis, Indonesia memiliki persentase tertinggi ketiga jumlah perempuan yang duduk di pimpinan perusahaan, namun secara umum partisipasi dan peluang perempuan dalam ekonomi masih dinilai amat rendah (peringkat ke 108).
Maksud itu kiranya mendapatkan ruang dalam corak pemerintahan Jokowi – JK. Meskipun Jokowi bertekad untuk meneruskan ajaran Trisakti Soekarno, namun realitas yang terjadi menunjukkan gaya pemerintahan neoliberal. Dan ternyata visi itu diperkuat dengan para menteri yang turut menjadi punggawa neoliberalis. Pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy menyebutkan rumor masuknya sejumlah tokoh yang teridentifikasi memiliki paham ekonomi neoliberal dalam kabinet Jokowi.
Yang jelas, program penyesuaian struktural sesuai Konsensus Washington sudah mulai dilaksanakan Jokowi, setidaknya pada 2 menu utama yakni pelaksanaan kebijakan anggaran ketat -melalui penghapusan subsidi energi- dan liberalisasi perdagangan. Banyak pihak kritis di negeri ini mensinyalir bahwa pengurangan atau penghapusan subsidi BBM dilatarbelakangi oleh kepentingan kapitalis-imperialis. MNC global amat berperan dalam mendorong liberalisasi energi/migas di Indonesia. Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan penguasaan AS dan negara asing lainnya atas sektor energi bisa mencapai 70-80 persen.
Dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK, disinyalir ada beberapa menteri yang dikuatirkan akan menjadi mafia migas. Analis Geopolitik Global Future Institute (GFI), Hendrajit menyebutkan nama Sudirman Said (Menteri ESDM) dan Rini Soemarno (Menteri BUMN). (http://www.jpnn.com/read/2014/10/26/266041/Selamat-Datang-Mafia-Migas-Baru,-Era-Kabinet-Trisakti-). Untuk Rini Soemarno, Hendrajit menyebutnya yang mengatur konsep liberalisasi ekonomi. (http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/09/07/pengamat-nilai-kabinet-jokowi-jk-berpotensi-diisi-mafia-migas).
Melego Kekayaan via Liberalisasi Perdagangan
Kabinet Kerja ini juga kental dengan liberalisasi perdagangan. Menteri Luar Negeri, Retno L.P. Marsudi menyebutkan fokus ekonomi Indonesia adalah menarik investasi asing di sektor-sektor prioritas, mendorong kerja sama strategis dan komprehensif bilateral dan memanfaatkan ASEAN Economic Community. Kemlu akan menerbitkan guidelines kepada semua Kepala Perwakilan Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan diplomasi ekonomi.
Kepentingan asing dan keberpihakan pemerintah pada kepentingan itu sebenarnya telah nyata terlihat sehari setelah pelantikan Joko Widodo sebagai presiden. Pertemuan Jokowi dengan Menlu AS, John Kerry, setelah sebelumnya Jokowi bertemu PM Australia Tony Abbott, jelas tidak terlepas dari agenda pasar bebas dalam APEC, MEA atau kesepakatan bilateral lainnya. Bahkan secara khusus Abbot menyinggung subsidi BBM, listrik, investasi, reformasi birokrasi termasuk aturan-aturan yang menyulitkan investasi dan infrastruktur. Hadir pula Utusan Khusus Federasi Rusia, Denis Manturov untuk melakukan transfer teknologi industri metalurgi dari Rusia ke Indonesia. Demikian juga kunjungan Menlu Jerman, Frank-Walter Steinmeier yang akan memperluas investasi, seperti rencana Volkswagen untuk menjadikan Indonesia sebagai production base untuk kawasan Asia Tenggara. Tak ketinggalan Menlu Republik Rakyat Tiongkok, Wang Yi yang bersepakat memperkuat hubungan perdagangan.
Tak hanya Menlu RI, rekan sejawatnya yang kontroversial, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerima kunjungan Dubes AS, Robert Blake guna membicarakan peningkatan kerja sama pengawasan laut antara kedua negara. Menteri Susi juga membahas masalah pencurian ikan di perairan Indonesia dengan Duta Besar Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Australia dan China.
Tak cukup jalinan diplomasi kenegaraan, bahkan mekanisme government to business juga ditempuh Jokowi saat menerima Investor 20 -20 Invesment Association di Istana Negara (4/11). Dalihnya, untuk mencari dana segar bagi pembangunan infrastruktur, pembangkit listrik, jaringan kereta api, dan pembangunan kelautan. Mereka siap menanamkan 8 triliun dolar AS. Apalagi agenda kunjungan luar negeri Jokowi pertama kali adalah menghadiri pertemuan-pertemuan pasar bebas pada Konferensi APEC di Tiongkok, KTT ASEAN di Myanmar dan KTT G-20 di Australia.
Tak mungkin pejabat-pejabat tinggi negara-negara industri itu mendatangi Indonesia jika tidak ada jaminan kesediaan pemerintah hendak melego kekayaan SDA dan SDM, serta potensi pasar Indonesia pada mereka. Ketidakmandirian secara ekonomi ini makin mengukuhkan pengingkaran pada doktrin Trisaksi. Pertama, politik tidak berdaulat. Negara tidak berkeinginan untuk melepaskan diri dari dikte-dikte imperialis yang berkedok perjanjian dan kerjasama bilateral atau multilateral. Kedua, ekonomi tidak pernah berdikari. Penjajahan oleh MNC global menjadikan negara ini tidak pernah mampu membangun pondasi ekonominya secara mandiri. Ketiga, budaya yang tak punya kepribadian ketika masih silau dengan modernitas Barat, yang mengimpor cara hidup kapitalis dalam mengelola negara. Inilah bentuk rezim neoliberalis yang menipu dengan slogan pro rakyat. Termasuk membius perempuan dengan isu kesejahteraan.
Perempuan dalam Pusaran Neoliberalisme
Integrasi perempuan ke dalam perekonomian adalah kunci untuk mempromosikan dinamisme pertumbuhan ekonomi yang bersendikan pasar bebas. Tidak benar jika delapan menteri perempuan yang ada diposisikan pada isu-isu strategis yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Bagaimana Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, mengarahkan dan mengkoordinasi pembangunan manusia Indonesia jika karakter bangsa ini mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai liberal? Bagaimana Rini Mariani Soemarno akan meningkatkan kinerja BUMN yang dimiliki pemerintah sehingga hasilnya dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, jika lembaga itu hanya berorientasi pada profit MNC karena mayoritas tak lagi dikuasai pemerintah? Kalaupun masih ada andil pemerintah, mereka juga telah bersalin rupa menjadi korporasi yang juga mengambil untung atas jasanya bagi rakyat, bukan berfungsi sebagai pelayan sejati rakyat.
Bagaimana pula Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mampu menyelamatkan hutan dan lingkungan Indonesia jika proyeksi pembangunan ekonomi justru mengundang korporasi besar, atas nama pembukaan lahan demi ketahanan pangan, justru mengeksploitasi hutan dan lingkungan Indonesia? Demikian juga kerja tak henti Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial, ‘mencuci piring’ problem-problem kemiskinan dan sosial yang sesungguhnya terjadi akibat visi neoliberal? Apalagi Yohana Yambise yang demi cita-cita kesetaraan dan visi politik-ekonomi liberal, harus merancang dan mengimplementasikan program mengkapitalisasi perempuan dalam program Meneg PP-PA? Bagaimana juga cara melindungi anak-anak Indonesia, jika mereka adalah korban Kapitalisme yang ‘merampas’ perlindungan orang tua dan menjadikan masyarakat tak lagi peduli dengan masa depan mereka? Tak ketinggalan masalah komersialisasi dan kapitalisasi dunia kesehatan, yang kian meminggirkan nasib rakyat miskin untuk memperoleh akses murah kesehatan, apa yang harus dilakukan Menkes Nila Djuwita Moeloek? Sungguh sulit mendekatkan kesejahteraan pada seluruh rakyat, termasuk perempuan dan anak-anak jika negara ini telah disetting dalam cengkeraman neoliberalisme.
Perempuan Bukan untuk Dikapitalisasi
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan.” (HR Muslim: 3729). Hadits itu jelas tidak hanya ditujukan bagi para wali, suami atau mahrom perempuan saja. Tapi lebih dari itu, seruan itu ditujukan pula bagi penguasa yang berkewajiban untuk melangsungkan pengurusan kemashlahatan rakyat. Maka menjadikan perempuan sebagai sarana untuk mengokohkan rezim neoliberalis adalah haram. Apalagi tak pernah ada dalam sejarah penerapan neoliberalis terjadi pemerataan kesejahteraan pada seluruh rakyat. Malahan krisis demi krisis terjadi, sampai-sampai jati diri manusia -termasuk naluri sebagai ibu- yang berperadaban pun pupus, tergerus keserakahan pihak-pihak kuat yang eksploitatif.
Dengan demikian, tatanan politik-ekonomi neoliberalis harus dicampakkan, dan digantikan dengan sistem politik-ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan individu per individu. Politik ekonomi Islam merupakan solusi bagi masalah-masalah mendasar setiap individu dengan memberikan peluang kepada mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya tanpa mengorbankan sisi kemanusiaan ataupun mengorbankan sisi keibuan dan keperempuanannya.
Sesungguhnya penerapan sistem ini di dalam negara Khilafah tidak akan berubah dan berganti menurut perubahan pemikiran dan selera penguasa. Dengan pelaksanaan semua politik ekonomi Islam di atas, benar-benar merupakan satu-satunya sistem yang mampu menjamin kehidupan politik yang berdaulat, ekonomi yang aman, adil, dan bebas dari krisis, serta kepribadian sesuai tuntunan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Jaminan itu diberikan serta akan dinikmati oleh seluruh rakyat dan warga negara meski mereka berbeda-beda bangsa, agama, dan ras. [PJS]