Selasa malam (18/11 2014) Jokowi–JK tanpa ragu mengumumkan kenaikan harga BBM. Harga premium dan solar naik Rp 2.000 perliter. Premium menjadi Rp 8.500 perliter dan solar menjadi Rp 7.500.
Banyak alasan palsu dibuat Pemerintah untuk membenarkan tindakannya menaikkan harga BBM itu. Hampir semuanya adalah alasan lama yang diputar ulang.
Beberapa Alasan Palsu
- Subsidi BBM salah sasaran.
Faktanya, menurut data BPH Migas tahun 2013, pengguna BBM bersubsidi adalah 1% transportasi laut, 2% untuk keperluan rumah tangga, 5% untuk perikanan dan sisanya 92% untuk transportasi darat. Besaran 92% transportasi darat itu terdiri dari: 40% sepeda motor, 53% mobil pribadi, 4% mobil barang (truk dan pick up) dan 3% bus (kata dan data.co.id, 6/6/14).
Pengguna mobil pribadi bukan menghabiskan 53% dari total BBM bersubsidi, tetapi 53% dari 92%, artinya hanya 48.76%. Selain itu banyak di antara mobil pribadi itu sudah tua. Banyak mobil dipakai sebagai angkutan baik angkot, minibus, disewakan, angkutan antarjemput atau lainnya; untuk sarana distribusi produk hasil UKM; bahkan untuk berjualan.
Menurut data Susenas tahun 2010, pengguna BBM sebagian besar adalah kelompok menengah bawah dan miskin 65% dan menengah 27%. Sisanya, kelompok menengah ke atas hanya 6% dan kaya hanya 2%.
Menurut data Korp Lalu Lintas Kepolisian RI, jumlah kendaraan yang beroperasi di seluruh Indonesia tahun 2013 adalah 104,211 juta unit; terdiri dari 86,253 juta unit (82,7%) sepeda motor, 10,54 juta unit (10,1%) mobil penumpang, 5,156 juta unit (5%) mobil barang (truk, pick–up dan lainnya), 1,962 juta (1,9%) mobil bus dan sisanya kendaraan khusus (Kompas.com, 14/4/2014).
Jadi pemilik mobil pribadi hanya kurang dari 10 juta (atau 50 juta jika beserta keluarganya) dari 250 juta penduduk negeri ini. Itu pun banyak di antaranya bukan mobil mewah. Alhasil, sebanyak 200 juta orang yang menikmati subsidi BBM jelas adalah rakyat biasa.
Akibat kenaikan harga BBM, semua rakyat kena dampak. Pengguna kendaraan bermotor yang jumlahnya 100 juta orang lebih adalah yang pertama dan langsung kena dampak. Rakyat yang tak punya kendaraan bermotor juga kena dampak. Pasalnya, ongkos transportasi dan harga semua barang dan jasa ikut naik. Lagi-lagi, rakyat banyaklah yang susah akibat kenaikan harga BBM.
- Subsidi membebani APBN.
Faktanya, pembayaran bunga dan cicilan utang juga menyedot pengeluaran APBN. Anehnya, itu tak dianggap beban oleh Pemerintah. Pemerintah malah terus menumpuk utang. Total utang Pemerintah per 30 September 2014 adalah Rp 2.601,72 triliun. Akibatnya, APBN tiap tahun jebol untuk membayar cicilan pokok dan bunga. Januari sampai September 2014 pembayaran bunga mencapai Rp 103,352 triliun dan cicilan pokoknya Rp 170,062 triliun. Total Rp 273,412 triliun. Dalam pagu APBN 2014, cicilan pokok Rp 247,696 triliun dan cicilan bunganya Rp 121,386 triliun. Total Rp 368,981 triliun. Dalam APBN-P 2014, cicilan bunga mencapai Rp 135,453 triliun. Total cicilan bunga dan pokok itu mencapai sekira 16% dari APBN. Siapa yang menikmati bunga utang itu? Tentu negara-negara pemberi pinjaman seperti Jepang, AS, Kanada, dll; lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia, ADB, USAID; serta segelintir investor baik individu maupun perusahaan pemegang surat utang negara. Investor asing banyak menguasai surat utang negara itu.
- Subsidi BBM hanya untuk kegiatan konsumtif.
Faktanya, dengan BBM dibakar menjadi asap, jutaan nelayan bisa melaut mencari ikan; jutaan petani bisa bertani menggunakan traktor; ribuan perusahaan bisa mendistribusikan barang hasil produksinya; jutaan pelajar dan mahasiswa bisa belajar ke sekolah dan ke kampus; jutaan buruh dan pegawai bisa bekerja; jutaan pekerja informal bisa mencari nafkah; dan sebagainya. Alhasil, BBM memang dibakar menjadi asap, tetapi kebanyakan demi usaha dan kegiatan produktif.
- Subsidi BBM menghambat pembangunan.
Pemerintah beralasan, karena subsidi BBM, anggaran pembangunan menjadi sangat kecil. Padahal masalah itu bisa dipecahkan tanpa menaikkan harga BBM. Selain penghematan dari sisi pengeluaran (misal: aparatur negara tidak rapat di hotel, cukup memakai fasilitas milik Pemerintah), masih banyak cara lain tanpa menaikkan harga BBM. Satu contoh, saat ini Pemerintah menjual gas Tangguh ke Fujian Tiongkok dengan harga US$ 8 per MMBTU (energinya setara 29 liter solar) sejak Juli 2014 lalu. Sebelumnya, sejak dibuat kontrak penjualan jangka panjang tahun 2003 semasa Presiden Megawati, harga jualnya hanya US$ 3 per MMBTU, lalu naik menjadi US$ 5 per MMBTU sekitar tahun 2007. Gas yang sama dijual ke Korea Selatan US$ 4 per MMBTU. Harga itu lebih rendah dari harga pasar, tetapi lebih tinggi dari harga jual ke PLN US$ 10 per MMBTU. Andai Pemerintah mau kerja keras dan mau mencabut subsidi ke Tiongkok, Korsel, Jepang dan AS itu, lalu gas produksi dalam negeri dari Tangguh, Blok Mahakam dan lainnya dijual ke PLN meski seharga US$ 10 per MMBTU, akan dihemat dana hingga seratus triliun. Jumlah ini sama dengan hasil dari menaikkan harga BBM. Dengan begitu pembangunan bisa jalan tanpa menaikkan harga BBM.
Dari sisi pendapatan, andai Pemerintah mau kerja keras mengelola sendiri berbagai kekayaan alam yang ada di negeri ini (migas, tambang, dsb), niscaya akan didapatkan pemasukan ribuan triliun setiap tahun.
- Dana kompensasi bisa mengurangi jumlah orang miskin.
Pemerintah sepertinya menganggap enteng dampak kenaikan harga BBM. Hanya tiga bulan. Setelah itu akan normal. Begitu kata JK. Apalagi untuk rakyat miskin disiapkan kompensasi tiga “kartu sakti” yaitu: Kartu Indonesia Sehat (KIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Padahal selama ini setiap harga BBM naik juga disertai dengan kompensasi serupa. Faktanya,menurut data BPS 2013, setelah kenaikan BBM pada September 2013, jumlah penduduk miskin 28,55 juta orang (11,47%), bertambah 0,48 juta orang dari angka Maret 2013. Dampak harga BBM naik tahun 2005, penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta menjadi 39,10 juta orang pada tahun 2006. Alhasil, saat BBM dinaikkan, yang paling menderita adalah rakyat miskin.
Alasan Sebenarnya
Alasan sebenarnya di balik tindakan Pemerintah menaikkan harga BBM tidak lain demi menyempurnakan agenda liberalisasi di sektor migas sekaligus demi memenuhi kemauan pihak asing. Menurut ekonom Utama Bank Dunia perwakilan Indonesia Jim Brumby, skenario ketiga yang ditawarkan Bank Dunia adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar 50 persen. Artinya, premium menjadi Rp 8.500 perliter. Karena Indonesia akan menggelar Pemilu pada April dan Juli 2014, menurut dia, menaikkan BBM itu bisa dilakukan pemerintahan selanjutnya yang akan dilantik bulan Oktober 2014 dengan melakukan perubahan anggaran dalam APBN-P (Sinarharapan.co.id, 19/3/2014).
Nyata sekali, pencabutan subsidi, termasuk subsidi BBM, adalah kebijakan yang didiktekan oleh IMF, Bank Dunia dan lembaga interasional lainnya. Tindakan menaikkan harga BBM tidak lain untuk menyempurnakan liberalisasi sektor hilir (sektor niaga dan distribusi) setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi). Liberalisasi migas adalah pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada swasta (asing) dan pengurangan peran negara. Kebijakan ini jelas sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat yang notabene pemilik sejati sumberdaya alam. Liberalisasi itu dilakukan untuk memenuhi tuntutan pihak asing. Begitulah wajah asli Pemerintah: tega menyengsarakan rakyatnya asal demi menyenangkan ‘tuan’-nya yakni IMF, Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya.
Tindakan Mungkar
Tindakan menaikkan harga BBM jelas mungkar, menyalahi syariah, tidak mengikuti petunjuk dari Allah dan Rasul saw. Pasalnya, Islam menetapkan migas dan sumberdaya alam (SDA) adalah milik seluruh rakyat yang harus dikelola langsung oleh negara, lalu seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat. SDA dan Migas sebagai milik umum tidak boleh diliberalisasi dan diserahkan penguasaannya kepada swasta apalagi pihak asing.
Tindakan menaikkan harga BBM juga mengandung unsur kebohongan, pengkhianatan dan kezaliman terhadap rakyat.
Tak Boleh Diam
Menyikapi semua itu, kaum Muslim tak boleh diam, apalagi sampai membenarkan kezaliman itu. Rasul saw. pernah bersabda kepada Kaab bin Ujrah:
«أَعَاذَكَ اللهُ يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةٍ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. قَالَ: وَ مَا إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ؟ قَالَ: أُمَرَاءٌ يَكُوْنُوْنَ مِنْ بَعْدِيْ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهَدِيِّيْ وَ لاَ يَسْتَنُوْنَ بِسُنَّتِيْ فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَ أَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُوْلَئِكَ لَيْسُوْا مِنِّيْ وَ لَسْتُ مِنْهُمْ وَ لاَ يَرِدُوْنَ عَلَى حَوْضِيْ وَ مَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَ لَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُوْلَئِكَ مِنِّيْ وَ أَنَا مِنْهُمْ وَ سَيَرِدُوْنَ عَلَى حَوْضِيْ »
“Kaab bin Ujrah, semoga Allah melindungi kamu dari para pemimpin bodoh.” Kaab bertanya, “Siapa pemimpin bodoh itu?” Rasul saw. bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudah aku. Mereka tidak mengambil petunjukku dan tidak mengikuti sunnah (jalan)-ku. Siapa pun yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong kezaliman mereka bukanlah bagian dari aku dan aku pun bukan bagian dari mereka. Mereka tidak akan masuk ke telagaku. Sebaliknya, siapa pun yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak menolong kezaliman mereka adalah bagian dari aku dan aku pun bagian dari mereka. Mereka akan masuk ke telagaku.” (HR al-Hakim).
Tindakan menaikkan harga BBM jelas merupakan kemungkaran. Terhadap kemungkaran, kaum Muslim tak boleh diam. Mereka wajib berusaha menghilangkan kemungkaran itu dengan berbagai cara sesuai kemampuan dan sesuai tuntunan syariah. Jika tidak maka akibat kezaliman itu akan menimpa semua orang, baik yang zalim maupun yang shalih (Lihat: QS al-Anfal [8]: 25).
Lebih dari itu, negeri ini dirundung banyak masalah. Semuanya akibat penerapan ideologi kufur, yakni Kapitalisme-sekular. Solusinya hanya dengan kembali pada al-Quran dan as-Sunnah. Caranya dengan menerapkan syariah secara total di bawah sistem Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.
Alhasil, seluruh kaum Muslim wajib memperjuangkan penegakkan kembali Khilafah yang akan menerapkan syariah secara kaffah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar:
Tatakelola industri minyak dan gas diharapkan mampu memperbaiki industri tersebut…Perbaikan tatakelola juga diharapkan memutus rantai para pemburu rente (Kompas, 18/11).
- Pangkal soalnya adalah liberalisasi sektor hulu dan sektor hilir migas. Tanpa menghilangkan liberalisasi itu, perbaikan tata kelolanya tak akan sepenuhnya membawa kebaikan dan keberkahan untuk rakyat.
- Migas dan SDA akan benar-benar jadi berkah jika dikelola dengan syariah Islam.