HTI Press. Menaikkan harga BBM, menurut Pengamat Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Hidayatullah Muttaqin, merupakan kesalahan kedelapan dari tujuh kesalahan pemerintah sebelumnya. Seperti dilansir Media Umat Edisi 139: Menaikkan BBM, Rezim ‘Merakyat’ Mencekik Rakyat, Jum’at (21 Nopember – 4 Desember), Hidayatullah mengungkap tujuh kesalahan tersebut.
Pertama, pemerintah tidak dari dahulu berinvestasi membangun kilang-kilang minyak memenuhi pertumbuhan kebutuhan BBM nasional. Bukankah pertumbuhan konsumsi BBM bisa diperkirakan? Akibatnya, sebagian BBM didatangkan dari luar negeri khususnya dari Singapura yang menyebabkan kondisi nilai tukar dan harga minyak dunia berpengaruh terhadap biaya impor BBM.
Kedua, impor BBM yang dilakukan pemerintah melalui pihak ketiga sehingga ada komponen ongkos margin yang dinikmati oleh mafia migas. Jelas ini pemborosan APBN yang tidak pernah disinggung pemerintah.
Ketiga, berapa biaya produksi BBM sebenarnya kita tidak tahu karena pemerintah tidak pernah transparan di sini. “Apakah memang terjadi subsidi ataukah ada surplus pendapatan dari minyak?” ungkapnya.
Keempat, produksi minyak di dalam negeri semakin turun tetapi cost recovery yang ditanggung pemerintah tetap tinggi. Artinya pemerintah boros juga di sini.
Kelima, pemerintah tidak membatasi penjualan mobil merk luar negeri di dalam negeri dan mengabaikan pembangunan sistem transportasi umum di setiap kabupaten dan kota. Akibatnya, konsumsi BBM terus bertambah dan terjadi kemacetan parah di kota-kota besar di Indonesia.
Keenam, pemerintah tidak melakukan konversi pembangkit listrik dari BBM ke sumber energi yang tersedia melimpah di Indonesia. Sehingga biaya pengadaan energi listrik menjadi sangat mahal.
Ketujuh, pemerintah belum dapat mengatasi kebocoran APBN baik karena korupsi maupun akibat pemborosan anggaran.
Jika tujuh kesalahan tersebut dihilangkan pemerintah maka dampaknya cukup signifikan untuk melonggarkan APBN. Hanya saja itu belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Untuk itu diperlukan langkah ideologis dan syar’i untuk memecahkannya. “Kita harus mencabut akar ideologi liberalisme yang menjadi sumber nilai bagai peraturan dan kebijakan di bidang energi dan menggantinya dengan ideologi Islam,” tegasnya.
Tujuannya, lanjut Hidayatullah, agar pemerintah memiliki paradigma ri’ayah (memelihara), maksudnya fungsi dan tugas pemerintah itu adalah dalam rangka memelihara dan mengatur urusan rakyat dengan syariah bukan menyerahkannya kepada kekuasaan kapital dan pasar.
Dengan paradigma syariah, bebernya, maka sumber daya energi yang ada di Indonesia adalah harta milik umum yang harus dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk manfaat publik termasuk harga energi utama yang terjangkau.
“Selain energi mudah dijangkau masyarakat dan dalam kendali pemerintah, hal itu juga berpotensi sebagai sumber pemasukan APBN,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo