Pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi yang berlaku sejak 18 November lalu. Premium menjadi Rp 8.500 perliter dan Solar menjadi Rp 7.500 perliter.
Kebijakan itu sontak mendapat reaksi penolakan di mana-mana. Aksi penolakan terjadi di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Penolakan dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat baik mahasiswa, masyarakat umum, ormas maupun buruh.
Asing Gembira, Rakyat Sengsara
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng berpendapat, kenaikan harga BBM akan membuka kesempatan luas kepada perusahaan swasta/asing untuk berbisnis BBM di Indonesia. Kenaikan harga BBM bersubsidi membuat bisnis BBM yang dilakukan perusahaan asing akan makin berkembang.
Menurut dia, selisih harga yang tinggi antara BBM subsidi dan non-subsidi telah membuat operator SPBU asing gulung tikar. Kenaikan harga BBM subsidi akan membuat perusahaan asing seperti PT Shell Indonesia dan PT Total Oil Indonesia makin memperbanyak jumlah SPBU-nya (Liputan6.com, 1/10/2014).
Ini mengingatkan kita pada apa yang disampaikan mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas… Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”(Kompas,14 Mei 2003).
Jadi harga BBM bersubsidi dinaikkan adalah demi menyelamatkan SPBU asing dari kebangkrutan. Menaikkan harga BBM makin mendekati harga pasar juga berarti mendatangkan konsumen ke SPBU-SPBU asing yang selama ini sangat sulit mereka usahakan. Kebijakan inilah yang ditunggu oleh SPBU asing selama ini.
Karena itu yang pertama-tama senang dengan kenaikan harga BBM itu tidak lain adalah pihak asing. Apalagi seperti diberitakan Republika (20/11), SPBU asing sudah mulai ramai.
Sebaliknya, yang pertama-tama merasa susah dengan kenaikan harga BBM itu adalah rakyat. Begitu harga BBM naik, ongkos transportasi langsung naik. Untuk satu keluarga yang terdiri dari empat orang, kenaikan ongkos yang harus ditanggung bisa mencapai lebih dari Rp 20.000 perhari atau Rp 520 ribu perbulan. Ini baru satu dampak dari kenaikan harga BBM, yaitu kenaikan ongkos angkot. Itu artinya, kompensasi 200 ribu perbulan perkeluarga jelas jauh dari memadai untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM. Jika penerima kompensasi saja tak terlindungi dari dampak kenaikan harga BBM, apalagi mereka yang sedikit di atas garis kemiskinan dan tidak mendapat kompensasi. Kenaikan harga BBM juga membuat semua harga barang dan jasa naik dan biasanya tak mungkin turun lagi.
Anehnya, Pemerintah menganggap enteng dampak kenaikan harga BBM bagi rakyat kebanyakan ini. Pemerintah mengklaim, dampak kenaikan BBM hanya berlangsung selama tiga bulan. Itu pun bisa diredam dengan kompensasi dan program yang disebut produktif. Sikap Pemerintah ini meremehkan kesusahan yang diderita oleh rakyat kebanyakan.
Padahal dampak kenaikan harga BBM selama ini menjadi semacam lingkaran setan. Harga BBM naik menyebabkan inflasi. Harga-harga barang dan jasa naik. Biaya produksi juga naik. Sebaliknya, daya beli masyarakat turun. Akibat daya beli turun, permintaan barang dan jasa juga akan turun. Buruh pun menuntut upah naik. Selanjutnya perusahaan akan mengurangi produksi atau melakukan efisiensi, termasuk dengan mengurangi buruh. Angka pengangguran bisa bertambah karenanya. Akibatnya, jumlah rakyat miskin akan bertambah.
Pemerintah Menuruti Kemauan Asing
Kebijakan menaikkan harga BBM Rp 2000 perliter itu sama persis dengan salah satu skenario yang diusulkan oleh Bank Dunia pada Maret 2014 lalu. Ini adalah penerapan dari pencabutan subsidi yang sejak lama didiktekan oleh IMF melalui LoI, Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya.
Jika dirunut ke belakang, IMF dan Bank Dunia berperan mendiktekan berbagai peraturan dan UU yang meliberalisasi sektor migas. Hal itu tercantum dalam Letter of Intent (LoI) Pemerintah dengan IMF. Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) antara lain disebutkan: “Pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen untuk…membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional.”
Lalu di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) antara lain disebutkan:“Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarif listrik sesuai dengan tarif komersil.”
Pada tahun 2000 Bank Dunia melakukan studi mengenai minyak dan gas di Indonesia (Indonesia Oil and Gas Sector Study–World Bank, June 2000). Studi tersebut merekomendasikan agar rancangan UU Migas yang diajukan kepada DPR pada tahun 1999 harus berlandaskan pada semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi Pemerintah, serta konsisten mengikuti aturan-aturan yang berlaku di dunia internasional.
Berikutnya di dalam dokumen Bank Dunia, Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001)disebutkan: “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya”.
Lalu dilanjutkan pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND tahun 2003 melalui kucuran utang luar negeri sebesar US$ 141 juta untuk proyek “Java Bali Power Sector Restructuring and Strengthening Project“. Proyek ini untuk mendorong Pemerintah menghilangkan subsidi BBM secara bertahap. Tujuan dari proyek ini adalah untuk mendukung Pemerintah menghilangkan subsidi BBM serta membangun fondasi untuk sektor energi yang layak secara komersil.
Bukan hanya IMF dan Bank Dunia, USAID juga menggelontorkan jutaan dolar untuk meliberalisasi migas ini, termasuk di dalamnya penghilangan subsidi. Di antaranya disebutkan di dalam dokumen utang Dari USAID dengan judul, “Energy Sector Governance Strengthened,” 497-013, “Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasihat USAID memainkan peran penting dalam membantu Pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan).” (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html)
Disebutkan juga: “USAID telah membantu pembuatan rancangan UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi.”
Dalam dokumen USAID Program Data Sheet 497-013 disebutkan, USAID juga menggelontorkan utang jutaan dolar untuk membantu Pemerintah Indonesia menerapkan UU Migas yang baru, yang mengamanatkan liberalisasi migas itu.
Ini baru sebagian dokumen. Masih banyak dokumen lainnya yang menjelaskan betapa dalamnya campur tangan asing, khususnya dalam meliberalisasi migas. Penghilangan subsidi adalah puncak dari liberalisasi ini yang masih belum dicapai. Hal itu akan terus didesakkan (didiktekan) untuk sesegera mungkin dijalankan oleh Pemerintah. Sayang, Pemerintah menuruti saja apa yang dimaui asing itu. Bahkan Pemerintah terus berupaya mencari-cari berbagai alasan untuk membenarkan ketundukannya pada pihak asing.
Jangan Diam
Kenaikan harga BBM jelas menyusahkan rakyat. Ini jelas merupakan kezaliman. Kaum Muslim tentu tak boleh diam. Kaum Muslim harus berusaha keras menghilangkan kezaliman itu untuk membantu pihak yang zalim itu dan yang dizalimi, sekaligus untuk menyelamatkan semuanya dari kehancuran.
Kebijakan liberalisasi migas di sektor hulu dan hilir ini terjadi karena ideologi sekular kapitalisme liberal diambil dan diterapkan sebagai sistem untuk mengelola kehidupan di negeri ini. Kebijakan liberalisasi ini juga bertentangan dengan tuntutan Islam. Pasalnya, Islam telah menjadikan migas dan kekayaan alam yang melimpah lainnya sebagai milik umum, milik seluruh rakyat. Mewakili rakyat, negara harus mengelola kekayaan alam milik rakyat itu dan mengembalikan seluruh hasilnya untuk kepentingan rakyat. Rasul saw. bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Kenaikan harga BBM juga merupakan tindakan mungkar karena melanggar petunjuk dan aturan Allah SWT. Kaum Muslim wajib berusaha menghilangkan kemungkaran ini sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Alhasil, kebijakan menaikkan harga BBM dan meliberalisasi migas pada dasarnya demi menuruti kehendak pihak asing. Tindakan ini sekaligus memberi mereka jalan untuk campur tangan bahkan menguasai dan turut menentukan nasib negeri ini yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Ini jelas keharaman karena Allah SWT telah berfirman:
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).
Karena itu kaum Muslim harus menunaikan kewajiban melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa), sekaligus turut aktif memperjuangkan penerapan syariah islamiyah secara total di bawah sistem Khilafah ‘ala minhaj Nubuwwah. Syariah dan Khilafah, selain menjadi solusi atas berbagai problem yang terjadi termasuk liberalisasi migas dan kenaikan harga BBM, juga merupakan kewajiban dari Allah dan perwujudan dari ibadah kepada Allah SWT.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar:
Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan harga elpiji berukuran tabung 3 kilogram tak akan naik pada tahun ini. Namun, dia mengatakan, pada saatnya nanti Pemerintah akan menaikkan harganya juga (Kompas.com, 25/11).
- Ingat, JK bilang, tahun depan subsidi BBM akan dibuat tetap nilainya sehingga harga BBM bisa berubah-ubah sesuai harga pasar.
- Ini hanya menunda, tetapi disertai “ancaman” pasti akan dinaikkan. Beginilah nasib rakyat yang pemerintahnya penganut liberalisme ekonomi dengan dasar ideologi sekular kapitalisme.
- Kelola ekonomi dan SDA dengan syariah, pasti akan mendatangkan kemakmuran dan berkah.