Oleh: Hafidz Abdurrahman
Karakter Nabi
Allah SWT menuturkan karakter kekasih-Nya, Muhammad saw. dalam al-Qur’an, surat at-Taubah:
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢٨﴾ [سورة التوبة: 128]
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s. at-Taubah [09]: 128)
Sifatnya yang ra’uf (penuh kasih) dan rahim (penyayang) membuatnya tak kuasa untuk melihat dan mendengar penderitaan yang dialami oleh umat dan rakyatnya. Sampai Allah menggambarkan, ‘Aziz[un] ‘alaihima ‘anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu). Tak hanya itu, Nabi pun sangat berambisi untuk menjadikan umat dan rakyatnya menjadi orang beriman dan selamat dunia-akhirat. Itulah sifat Rasulullah, Muhammad saw..
Sifat ini tidak lahir dengan sendirinya, tetapi ditempa oleh keadaan dan waktu. Nabi lahir sebagai anak yatim setelah ditinggal mati ayahandanya, Abdullah, ketika ibundanya mengandungnya enam bulan. Nabi lahir dari keluarga miskin, hingga ibundanya tak mampu memberikan imbalan kepada Halimah as-Sa’adiyyah, wanita yang menyusui Nabi sejak kecil. Namun, Allah-lah yang menggerakkan hati Halimah untuk mengambil Nabi saw., merawat, mengasuh, dan menyusuinya. Allah melukiskan itu dalam Q.s. ad-Dhuha:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَأَوَى، وَوَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدَى، وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى [سورة الضحى: 6-8]
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk kepadamu. Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (Q.s. ad-Dhuha [93]: 6-8)
Perjalanan hidup Nabi saw. telah diatur oleh Allah SWT, yang kelak mengantarkannya menjadi pemimpin agung. Allah mengingatkan Nabi:
وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى [سورة الضحى: 5]
“Kelak, kamu akan diberi anugerah oleh Tuhanmu, sehingga kamu merasa ridha (senang).” (Q.s. ad-Dhuha [93]: 5)
Konteks ayat ini ada yang mengatakan terkait dengan anugerah di akhirat, bukan di dunia, seperti syafaat, surga, dan seluruh keistimewaannya. Tetapi, juga ada yang mengatakan terkait dengan anugerah di dunia, seperti kenabian, kerasulan, dan kepemimpinannya atas seluruh umat manusia. Begitulah Rasulullah Muhammad dididik dan dipersiapkan oleh Allah untuk mengemban misi agung di muka bumi.
Risalah dan Kepemimpinan Nabi
Yang membedakan kerasulan Nabi Muhammad saw. dengan Nabi dan Rasul yang lain adalah, bahwa Muhammad saw. bukan hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga seorang pemimpin masyarakat dan kepala negara. Risalahnya merupakan risalah penutup, sekaligus menghapus risalah sebelumnya. Karena itu, risalahnya tidak hanya terbatas untuk bangsa Arab, tetapi seluruh umat manusia. Kepemimpinannya pun tidak hanya meliputi satu suku dan bangsa, tetapi semua suku dan bangsa.
Al-Bukhari telah menuturkan dari Ibn ‘Abbas ra. Berkata, “Ketika turun ayat:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ [سورة الشعراء: 214]
‘Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang paling dekat.’ (Q.s. as-Syu’ara’ [26]: 214)
Nabi saw. naik ke atas bukit Shafa, seraya menyeru: ‘Wahai Bani Fihr, wahai Bani ‘Adi.’ Kepada kabilah-kabilah Quraisy hingga mereka berkumpul. Jika ada yang tidak bisa hadir, dia akan mengutus utusan untuk melihat apa yang terjadi. Abu Jahal dan kaum Quraisy pun datang. Baginda saw. bersabda:
«أَرَأَيْتَكُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلاً بِالْوَادِى تُرِيدُ أَنْ تُغِيرَ عَلَيْكُمْ ، أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِىَّ » . قَالُوا نَعَمْ ، مَا جَرَّبْنَا عَلَيْكَ إِلاَّ صِدْقاً . قَالَ « فَإِنِّى نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَىْ عَذَابٍ شَدِيدٍ »
‘Bagaimana pendapat kalian, jika kami beritahukan kepada kalian, bahwa ada kuda di telaga itu hendak menyerang kalian, apakah kalian membenarkan aku?’ Mereka menjawab, ‘Tentu. Kami belum pernah mempunyai pengalaman tentangmu, kecuali jujur.’ Baginda saw. pun bersabda, ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan untuk kalian di hadapan siksa yang sangat pedih.’”
Dalam riwayat lain, pidato pertama yang disampaikan baginda Nabi saw. kepada kaum Quraisy sebagai berikut:
الحمد لله أحمده وأستعينه، وأومن به وأتوكل عليه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له. ثم قال: إن الرائد لا يكذب أهله. والله الذي لا إله إلا هو، إني رسول الله إليكم خاصة وإلى الناس عامة [أخرجه ابن الأثير في الكامل فيي التاريخ، ج 1/478]
“Segala puji hanya milik Allah. Hamba memuji dan meminta pertolongan kepada-Nya. Hamba beriman dan berserah diri kepada-Nya. Hamba bersaksi, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.” Lalu bersabda, “Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya. Demi Allah, tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang secara khusus diutus kepada kalian, dan kepada seluruh umat manusia secara umum.” (Dikeluarkan oleh Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi at-Tarikh, juz I/478)
Dari pidato Nabi saw. yang paling menarik adalah pernyataan baginda saw. yang menyatakan:
إنَّ الرَّائِدَ لاَ يَكْذِبُ أَهْلَهُ.
“Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.”
“Pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.” Itulah karakter Nabi saw. sebagai pemimpin, dan karakter kepemimpinan Nabi saw. Ucapan, tindakan, hati, dan pikirannya dicurahkan demi kemaslahatan rakyatnya, bukan untuk kepentingan pribadinya. Nabi saw. bahkan mengorbankan kepentingan diri dan keluarganya, demi kepentingan umat dan rakyatnya.
Ketika Nabi saw. memilih hidup miskin, bukan karena Nabi saw. tidak bisa mengumpulkan kekayaan, tetapi karena itulah kehidupan yang dipilih Nabi saw. sebagai seorang pemimpin agung, sekaligus panutan. Bagaimana mungkin Nabi tidak bisa kaya, sementara baginda saw. mendapatkan bagian 1/5 dari harta ghanimah (rampasan perang)?
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ للهِ خُمُسُهُ وَلِلرَّسُوْلِ [سورة الأنفال: 41]
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang menjadi rampasan perang bagi kalian, ada hak Allah seperlimanya, juga hak Rasulullah..” (Q.s. al-Anfal [08]: 41)
Akan tetapi, Muhammad saw., manusia luar biasa, yang dipuji karena kesempurnaannya itu, tidak mengambil haknya untuk memperkaya diri dan keluarganya, tetapi justru lebih mengutamakan para sahabatnya, Ahl as-Shuffah yang berjumlah kurang lebih 400 orang.
Bagaimana mungkin Nabi tidak bisa kaya, sementara malaikat menawarkan seluruh gunung di Makkah dijadikan emas untuknya. Meskipun demikian, hal tersebut justru ditolak, Nabi memilih hidup pas-pasan, “Makan sehari, lapar sehari.” Sampai-sampai al-Bushiri menggubah syair dalam Qasidah Burdah-nya untuk mengabadikan keagungannya itu:
Nabi yang kerana lapar mengikat pusarnya dengan batu.
Dan dengan batu mengganjal perutnya yang halus itu.
Kendati gunung emas menjulang menawarkan dirinya.
Ia tolak permintaan itu dengan perasaan bangga.
Butuh harta namun menolak, maka tambah kezuhudannya.
Kendati butuh pada harta tidaklah merusak kesuciannya.
Bagaimana mungkin Nabi butuh pada dunia.
Padahal tanpa dirinya dunia takkan pernah ada.
Itulah pilihan hidup Nabi, yang sengaja dipilih dengan sadar. Bahkan, dalam doanya Nabi menyatakan:
اللهم أحيني مسكينا، وأمتني مسكينا، واحشرني في زمرة المساكين [رواه ابن ماجة]
“Ya Allah, hidupkanlah hamba sebagai orang miskin. Wafatkanlah hamba sebagai orang miskin. Bangkitkanlah hamba bersama orang-orang miskin.” (H.r. Ibn Majjah)
Makna hadits ini menurut al-Mubarakfuri, “Merendahkan diri dan membutuhkan Allah, untuk memberikan bimbingan kepada umatnya agar bersikap tawadhu’ dan menjauhi sikap takabur.”
Kejujuran Lahir Batin Nabi
Nabi saw. mengajarkan dan mencontohkan kejujuran. Apa yang tampak itulah lahirnya Nabi. Kesedihan dan empatinya kepada umat dan rakyatnya bukan dibuat-buat, tetapi menggambarkan isi hatinya. Cintanya kepada umat dan rakyatnya begitu luar biasa, hingga baginda saw. pun dicintai oleh mereka. Ambisinya untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan rakyatnya juga tak berhenti hingga detik-detik akhir hayatnya. Itulah rahasia mengapa Nabi saw. begitu dicintai oleh umatnya.
Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda:
خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، وتدعونهم ويدعونكم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنوهم ويلعنونكم [رواه مسلم]
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai, dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka, dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci, dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian.” (H.r. Muslim)
Dicintai rakyatnya, karena mencintai rakyatnya. Didoakan rakyatnya, karena mendoakan rakyatnya. Itulah gambaran pemimpin terbaik. Sebaliknya, pemimpin yang terburuk adalah pemimpin yang dibenci oleh rakyatnya, karena dia pun membenci rakyatnya. Dia dilaknat oleh rakyatnya, karena dia pun melaknat rakyatnya.
Pemimpin yang dicintai rakyatnya, karena dia mencintai rakyatnya. Didoakan, karena dia juga mendoakan mereka. Ini merupakan hubungan timbal balik, meminjam istilah Ibn Katsir, “al-jaza’ jins al-‘amal” (balasan sesuai dengan jenis amalnya). Ini tidak mungkin terjadi, jika seorang pemimpin ini tidak jujur kepada dirinya, tidak jujur kepada rakyatnya, dan tidak jujur kepada Rabb-nya. Karena dicintai merupakan efek timbal balik, maka tidak mungkin seorang pemimpin dicintai sedemikian rupa, jika dia tidak benar-benar mencintai rakyatnya. Dengan melayani seluruh kemaslahatan mereka, dengan tulus, tanpa pamrih, apalagi sekedar citra. Ini membutuhkan kejujuran (ketulusan).
Sebaliknya, pemimpin yang tidak jujur, pasti tidak akan mendapat simpati, apalagi cinta dari rakyatnya. Ketidakjujurannya pula yang akan mengantarkannya untuk terus-menerus menutupi kebohongannya, agar tak terlihat oleh rakyatnya. Akibatnya, dia pun dipecundangi oleh rakyatnya sendiri. Jika sudah begitu, sang pemimpin pun tidak segan melaknat rakyatnya sendiri, dan efek timbal baliknya, dia pun dilaknat oleh rakyatnya sendiri. Inilah pelajaran yang berharga dari jatuh-bangunnya rezim pembohong di seluruh dunia.
Begitulah Nabi saw. mengajarkan resep kepemimpinan bagi para pemimpin. Ketika para pemimpin itu tidak jujur, dia akan membuat kebijakan yang memberatkan rakyatnya. Berbagai kebohongan pun disusun agar tampak rasional. Dengan alasan penghematan, boros, APBN defisit, penimbunan, dan sebagainya, BBM dinaikkan. Padahal, senyatanya kenaikan itu untuk memenuhi nafsu serakah para cukong di belakangnya. Lebih mengherankan, meski sudah jelas membebani rakyatnya, masih saja bisa berbohong, bahwa dengan kenaikan BBM akan mengurangi angka kemiskinan. Padahal, jelas harga sembako baik, tarif angkutan umum naik, dan inflasi pun tak terelakkan. Pendek kata, rakyat sudah ditindas, dibohongi lagi.
Wajar, jika Nabi saw. murka terhadap para pemimpin seperti ini, selain disebut sebagai “syarar aimmatikum” (para pemimpin kalian yang paling buruk), mereka juga didoakan Nabi:
اللهم من ولي من أمر أمتي شيئا فشق عليهم فاشقق عليه [رواه أحمد]
“Ya Allah, siapa saja yang diberi mandat untuk mengurus urusan umatku, lalu dia memberatkannya, maka beratkanlah dia.” (Hr. Ahmad)
Karena itu, Nabi pun tidak pernah berbohong kepada dirinya, umat, rakyat apalagi kepada Rabb-nya. Bahkan, sekedar isyarat bohong pun, Nabi saw. tidak sanggup melakukannya. Begitu rupa kejujuran Nabi saw.
Ketika Pemimpin Bohong
Bohong bagi individu sangat berbahaya, karena itu Nabi saw. mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ [رواه أبو داود]
“Kalian harus berhati-hati dengan kebohongan, karena sesungguhnya bohong itu bisa mengantarkan pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa itu bisa mengantarkan ke neraka.” (Hr. Abu Dawud)
Terlebih, jika yang berbohong adalah pemimpin. Kebohongannya bukan hanya mengantar dirinya sendiri melakukan perbuatan dosa, yang secara pribadi dia sendiri yang akan merasakan dampaknya. Tetapi, karena dia pemimpin, maka kebohongannya akan menjerumuskan orang lain yang dipimpinnya merasakan dampaknya.
Karena itu, pidato Nabi di atas:
إنَّ الرَّائِدَ لاَ يَكْذِبُ أَهْلَهُ.
“Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.”
Sekaligus menjadi larangan, bahwa seorang pembohong tidak layak menjadi pemimpin. Tidak hanya itu, kita juga diingatkan, agar juga tidak mengangkatnya menjadi pemimpin. Itulah yang disabdakan oleh baginda Nabi saw. Wallahu a’lam.[]