Kenaikan Harga BBM: Menuju Liberalisasi Total Migas

tolak liberalisasi migasPemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi dan berlalu sejak 18 November lalu. Harga Premium dan Solar dinaikkan masing-masing dua ribu rupiah menjadi Rp 8.500 per liter Premium dan Rp 7.500 per liter Solar.

Kebijakan itupun sontak mendapat reaksi penolakan dimana-mana. Aksi penolakan terjadi di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua. Penolakan pun dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, baik mahasiswa, masyarakat umum, ormas, dan buruh.

Asing Senang, Rakyat Susah

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng berpendapat, kenaikan harga BBM akan membuka kesempatan luas kepada perusahaan swasta untuk berbisnis BBM di Indonesia. Kenaikan harga BBM bersubsidi akan membuat bisnis BBM yang dilakukan perusahaan asing akan semakin berkembang.

Menurutnya, tingginya disparitas harga antara BBM subsidi dengan non subsidi telah membuat operator stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) asing gulung tikar. Hal itu disebabkan produk yang dijualnya kurang diminati masyarakat karena lebih mahal dibanding BBM subsidi. Menurut Andy, kenaikan harga BBM subsidi akan membuat perusahaan asing seperti PT Shell Indonesia dan PT Total Oil Indonesia semakin memperbanyak jumlah SPBU-nya (liputan6.com, 1/10/2014).

Ini mengingatkan kita kepada apa yang disampaikan oleh Purnomo Yusgiantoro saat menjadi Menteri ESDM:“Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003)

Jadi kenaikan harga BBM bersubsidi itu sama saja menyelamatkan SPBU asing dari kebangkrutan. Bahkan dengan menaikkan harga BBM makin mendekati harga pasar, juga berarti mendatangkan konsumen kepada SPBU-SPBU asing itu, sesuatu yang selama ini sangat sulit mereka usahakan. Kebijakan inilah yang ditunggu oleh SPBU asing selama ini. Maka yang pertama-tama senang dengan kenaikan harga BBM itu tidak lain adalah asing. Apalagi seperti diberitakan Republika (20/11), SPBU asing sudah mulai ramai.

Namun sebaliknya, yang pertama-tama merasa susah dengan kenaikan harga BBM itu. Begitu harga BBM naik, ongkot transportasi langsung naik. Jika rata-rata kenaikan ongkos Rp 1.000 sekali naik untuk angkutan kota, metro mini dan sejenisnya, maka jika untuk berangkat dan pulang kerja atau sekolah dua kali naik angkot maka sekali hanya untuk berangkat dan pulang tiap orang sudah bertambah pengeluarannya empat ribu per hari. Jumlah itu akan lebih besar jika makin jauh atau harus banyak ganti angkutan. Untuk satu keluarga terdiri dari empat orang, kenaikan ongkos yang harus ditanggung bisa mencapai lebih dari 20.000 perhari atau 520 ribu per bulan. Ini baru satu dampak dari kenaikan harga BBM, yaitu kenaikan ongkos angkot. Itu artinya kompensasi 200 ribu per bulan per keluarga jelas jauh dari memadai untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM. Jika penerima kompensasi saja jelas tidak terlindungi dari dampak kenaikan harga BBM, apalagi mereka yang sedikit di atas garis kemiskinan tetapi tidak mendapat kompensasi dan sebagian besar masyarakat yang tidak terkategori kaya. Padahal naiknya harga BBM membuat semua harga barang dan jasa juga naik dan sifatnya permanen.

Kenaikan harga BBM pasti akan menyebabkan naiknya harga-harga hampir semua baang dan jasa. Penaikan harga BBM bersubsidi akan mendorong peningkatan harga produk industri rata-rata sekitar 3-4 persen. Kenaikan itu berdasarkan asumsi harga BBM baik Rp 3.000 per liter atau 46 persen.

Menurut Sekjen Kementerian Perindustrian Ansari Bukhari, penaikan harga BBM bersubsidi akan mendorong peningkatan harga bahan baku sekitar 1,5 persen serta kenaikan biaya logistik dan biaya lain dengan total sekitar 4 persen. Menurutnya, dampak kenaikannya tidak banyak. Alasannya, industri sudah pakai BBM dengan harga pasar. Namun produk-produk industri dalam negeri akan terpukul lebih keras setidaknya oleh dua faktor. Pertama, daya saingnya dengan produk kompetitor dari luar negeri akan berkurang. Hal itu karena peningkatan harganya. Padahal selama ini, tanpa kenaikan harga saja produk dalam negeri sudah kewalahan menghadapi gempuran barang dari luar negeri. Apalagi tahun 2015 akan mulai berlaku perdagangan bebas ASEAN yang mengharuskan penghapusan hambatan perdagangan dalam bentuk penghapusan atau setidaknya penurunan bea masuk.

Kedua, naiknya harga BBM dan turunnya daya beli masyarakat akan mendorong buruh menuntut kenaikan upah yang lebih tinggi. Kenaikan upah ini tentu juga akan meningkatkan biaya produksi. Industri yang produknya tidak fleksibel dari sisi harga, sehingga susah untuk dinaikkan, tentu kenaikan upah akan berpengaruh besar.

Ketiga, produk industri juga terpukul oleh menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga BBM. Penurunan daya beli itu akan mengurangi minat masyarakat untuk membeli barang hasil industri. Pada gilirannya hal itu berpotensi menurunkan permintaan dan berakibat turunnya produksi industri manufaktur. Memang dampak penurunan daya beli itu tidak akan sama bagi semua industri. Dampak terbesar akan terasa bagi industri barang yang bukan termasuk bahan pokok atau kebutuhan sehari-hari. Dan juga bukan barang mewah yang pembelinya biasanya tidak terpengaruh dengan naiknya harga BBM.

Dengan deskripsi singkat itu, jelas bahwa dampak kenaikan harga BBM tidak enteng. Masyarakat bawah akan merasakan dampak paling keras, terutama masyarakat sedikit di atas garis kemiskinan dan tidak mendapat kompensasi kenaikan BBM. Dampak secara luas akan menimpa semua sektor dan semua orang baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sikap pemerintah yang menganggap enteng dampak kenaikan harga BBM yang dianggap hanya akan terjadi selama tiga bulan, dan itupun bisa diredam dengan kompensasi dan program yang disebut produktif, jelas sikap meremehkan kesusahan bagi rakyat kebanyakan.

Dampak kenaikan harga BBM selama ini menjadi semacam lingkaran setan. Haarga BBM naik menyebabkan inflasi, harga-harga barang dan jasa naik. Biaya produksi di produsen dan industri juga naik. Sebaliknya dengan itu, daya beli masyarakat turun. Daya beli turun, permintaan barang dan jasa juga akan turun. Upah pun dituntut untuk naik sebanding dengan kenaikan. Selanjutnya, produsen akan mengurangi produksi atau melakukan efisiensi, termasuk dengan mengurangi buruh. Angka pengangguran bisa bertambah karenanya. Akibatnya, jumlah rakyat miskin akan bertambah.

Patuh Pada Asing, Menuju Liberalisasi Total Migas

Kebijakan menaikkan harga BBM tidak lain untuk menyempurnakan liberalisasi sektor hilir (sektor niaga dan distribusi) setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi). Liberalisasi migas adalah penguasaan yang lebih besar kepada swasta (asing) dan pengurangan peran negara. Jadi kenaikan harga BBM ini merupakan kebijakan untuk menuju liberliasasi total migas. Kebijakan seperti ini jelas akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat yang notabene adalah pemilik sumberdaya alam itu sendiri. Liberalisasi itu dilakukan untuk memenuhi tuntutan pihak Asing. Dan untuk itu, pemerintah tega mengabaikan aspirasi mayoritas rakyatnya. Jelas sekali kebijakan menaikkan harga BBM adalah kebijakan khianat kepada rakyat.

Kebijakan menaikkan harga BBM Rp 2000 per liter itu persis dengan salah satu skenario yang diusulkan oleh Bank Dunia pada Maret 2014 lalu. Ini adalah implementasi dari pencabutan subsidi yang sejak lama didektekan oleh IMF melalui LoI, Bank Dunia dan lembaga interasional lainnya.

Semua itu pada dasarnya adalah implementasi dari linberalisasi migas yang dilegalkan melalui UU Migas No. 22/2001. UU Migas ini telah melegalkan liberalisasi migas baik di sektor hulu maupun sektor hilir. Liberalisasi sektor hulu sudah dilakukan hampir total. Kenaikan harga BBM adalah implementasi dari liberalisasi di sektor hilir. Tentang sektor hilir UU Migas No. 22 tahun 2001diantaranya menyatakan: menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan   Niaga   secara   akuntabel   yang   diselenggarakan   melalui   mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan (Pasal 2).

Selanjutnya tahun 2003 diterbitkan PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero. Tujuan utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan tertinggi ada pada RUPS. (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT Pertamina Hulu Energy direncanakan akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Saham).

Pada 15 Januari 2005, MK memutuskan bahwa harga migas ditetapkan ole Pemerintah. Jadi MK tidak menghapus liberalisasi migas, juga tidak menyetopnya. Bahkan secara implisit, keputusan MK (termasuk keputusan MK belakangan yang membubarkan BP Migas) justru melegalkan liberalisasi migas.

Berikutnya tahun 2006 diterbitkan Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional yang mengarahkan harga energi ke harga keekonomian (maksudnya harga pasar). Pasal 3c menyatakan: “Penetapan   kebijakan   harga   energi   ke   arah   harga keekonomian,     dengan     tetap     mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”

Pemerintah melalui kementerian ESDM juga membuat Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional. Kementerian ESDM juga membuat Road Map Pengurangan Subsidi BBM Kementerian ESDM: Konversi minyak ke gas dan pembatasan subsidi BBM. Tahun 2007 disahkan UU Energi No. 30/2007 yang juga mengatur harga energi sebagai harga keekonomian.

Dari semua itu, liberalisasi migas sejak hulu hingga hilir telah dilegalkan dan disistematiskan melalui berbagai UU dan Peraturan. Siapapun yang memerintah negeri ini selama masih berpegang pada semua peraturan yang mengamanatkan liberalisasi total migas maka ia harus membuat kebijakan sebagai implementasi riol dari liberalisasi migas itu. Masalahnya tinggal maslaah timing, penentuan waktu kapan kebijakan itu diambil.

Liberalisasi total migas itu pada dasarnya merupakan apa yang diinginkan oleh asing. Mereka mendektekannya melalui instrumen utang yang terus dikucurkan pada negeri ini baik utang melalui pemerintah negara Barat (AS, Kanada, Australia, Jepang, Inggris dsb) maupun utang melalui lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank DUnia, ADB, USAID dan sebagainya.

Jika dirunut ke belakang, IMF dan Bank Dunia berperan mendektekan berbagai peraturan dan UU yang meliberalisasi sektor migas. Hal itu tercantum dalam Letter of Intent (LoI) Pemerintah dengan IMF.

Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: (pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional).

Lalu di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) disebutkan: ..Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.”

Pada tahun 2000 Bank Dunia melakukan studi mengenai minyak dan gas di Indonesia (Indonesia Oil and Gas Sector Study–World Bank, June 2000). Studi tersebut merekomendasikan agar draf UU Migas yang diajukan kepada parlemen pada tahun 1999 harus berlandaskan pada semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, serta konsisten mengikuti auturan-aturan yang berlaku di internasional.

Berikutnya di dalam dokumen Bank Dunia, Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001)disebutkan: (Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya).

Lalu dilanjutkan pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND tahun 2003 melalui kucuran utang luar negeri sebesar US$ 141 juta untuk proyek “Java Bali Power Sector Restructuring and Strengthening Project” untuk mendorong pemerintah menghilangkan subsidi BBM secara bertahap. Tujuan dari proyek yang akan berakhir pada bulan Desember 2008 ini, adalah untuk mendukung pemerintah menghilangkan subsidi BBM serta membangun pondasi untuk sektor energi yang layak secara komersil.

Sementara itu peran IMF dan Bank Dunia itu juga didukung dengan peran yang dimainkan oleh USAID. Diantaranya dinyatakan di dalam dokumen USAID: Sebagian dokumen ini akan diterjemahkan seakurat mungkin, yaitu kalimat yang digarisbawahi. Sumber dokumen adalah: http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html

ACTIVITY DATA SHEET

PROGRAM: Indonesia
TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013
STATUS: Continuing
PLANNED FY 2001 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
PROPOSED FY 2002 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
INITIAL OBLIGATION: FY 2000 ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 2004

Summary: The energy sector is critical to the Indonesian economy, generating nearly 30% of total Government of Indonesia revenues and serving as a major source of foreign exchange. However, massive national energy subsidies ($4.5 billion annually, or half of all energy revenues) bleed the national budget and reduce funding for critical education, health and other social programs. Poorly conceived energy policies have resulted in inefficient production and distribution by state-owned monopolies and wasteful energy consumption. Reform efforts have accelerated since 1999, however, and the Government of Indonesia energy sector reform agenda has focused on improving efficiency and attracting private sector investment. The few vested interests benefiting from the current structure and the lack of transparency remain as obstacles to reform.

This strategic objective will strengthen energy sector governance to help create a more efficient and transparent energy sector. By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, and promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. A more efficient energy sector will also have positive environmental impact, rationalize pricing, increase access to energy services, and help sustain Indonesia’s natural resource base. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.

(Strategi ini bertujuan akan menguatkan tata kelola sektor energi untuk membantu mengkreasi sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Dengan memnimimalisasi peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta, sektor energi yang tlah direformasi akan memberi kontribusi miliaran dolar dalam bentuk pendapatan pajak. Sektor energi yang lebih efisien juga akan memberi impact positif secara lingkungan, merasinalisasi harga, meningkatkan akses kepada pelayanan energi dan membantu kelanjutan basis sumber daya alam Indonesia. USAID telah menjadi donor bilateral utama dalam reformasi sektor energi, yang akan membantu meningkatkan utang multilateral yang lebih besar.)

Key Results: At the strategic objective level, impact is demonstrated by increases in energy sector contributions to Government of Indonesia revenues and increases in emission units avoided (greenhouse gases, lead and other local pollutants). Achievement of this objective also relie45 on three key intermediate results: 1) energy sector reform implemented; 2) broader and more knowledgeable participation in energy sector reform; 3) environmentally friendly investments in the energy sector increased.

Performance and Prospects: USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance and help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalytic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal and regulatory reforms. …(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan) In 2000, the Government of Indonesia reduced energy subsidies by increasing electricity prices by 20% and fuel prices by 12%. Wary of public reaction to the price hikes because similar increases in 1998 led to street demonstrations, the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal. (USAID juga mensuport proses ini dengan menyediakan analisis kebijakan untuk penetapan harga energi dan penghilangan subsidi).  Additional increases are necessary and will require greater public understanding of the impact on the economy and on vulnerable groups. USAID will continue to provide technical analysis on the macroeconomic and microeconomic impact on industries and households, including a study on the impact of pricing policy on women and vulnerable populations.

USAID is helping restructure the electricity sector to open it to private competition, increase efficiency, and reduce the demand for scarce public funds in the sector. USAID advisors work directly with Government of Indonesia officials responsible for implementing power sector reform, revising draft electricity legislation and redesigning regulatory structures. (USAID membatu restrukturisasi sektor kelistrikan untuk membukanya bagi kompetisi swasta, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi permintaan dana publik yang langka di sektor ini. Para penasehat USAID bekerja langsung dengan para pejabat Pemerintah Indonesia yang bertanggungjawab untuk mengimplementasikan reformasi sektor daya, merevisi draft legislasi kelistrikan dan meredesain struktur regulasi). USAID has provided much-needed assistance to the state electricity monopoly in improving power plant efficiency. The program has been replicated quickly within the monopoly as it prepares for sector restructuring.

In FY 2001, USAID plans to provide $2.85 million in DA to incrementally fund contractors under the Global Bureau Energy indefinite quantity contracts for energy analysis and policy assistance, and for assistance in restructuring the electricity, and oil and gas sectors.

USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. (USAID telah membantu pembuatan draft UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi).A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.

USAID, in partnership with an Indonesian NGO, has been instrumental in gaining the commitment of the state-owned oil company to phase out leaded gasoline in Jakarta by July 2001. USAID is assisting the Ministry of Energy’s Oil and Gas Directorate to develop and implement a long-range fuel standards plan that will provide the foundation for refinery upgrade decisions and the production of cleaner fuels.

In FY 2001, USAID plans to provide $850,000 DA to support NGOs and universities in developing programs for raising awareness and supporting involvement of local government and the public of energy sector issues, including removal of energy subsidies and phase out of leaded gasoline. (Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu [Rp 8.5 miliar] untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal).

New decentralization laws have devolved the licensing of electricity businesses and management of non-oil and gas resources to local governments. USAID has helped establish a university network that can serve as a resource for local governments to address revenue sharing and regional pricing issues. The program will provide education on national policy issues and a forum for local governments to analyze and understand their own energy issues, provide input into national policy and develop their own local policy.

In FY 2001, USAID plans to provide $300,000 in DA to support U.S. Department of Energy/Albany Research Center to partly fund the expansion of the performance and efficiency improvement program and possibly to support Indonesian and international NGOs in developing renewable energy and energy efficiency investment activities.

Possible Adjustments to Plans: An increase or decrease in political will for energy sector reform may warrant adjustments to this objective. The appointment in 2000 of a private sector-oriented reformist as the new head of the State oil and gas company bodes well for reform agenda progress.(Pasang surutnya kemauan politik terhadap reformasi sektor energi akan menjamin penyesuaian terhadap tujuan ini. Oleh karena itu pengangkatan Direktur Utama Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar] sangat mendukung kemajuan agenda reformasi tersebut).

Other Donor Programs: USAID works closely with the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank on energy-sector reform. USAID assistance is leveraging a $20 million ADB power sector-restructuring loan, with USAID advisors playing project management and planning roles(USAID bekerja sama dengan ADB dan Bank Dunia untuk mereformasi sektor energi. Bantuan USAID mampu meningkatkan manfaat utang ADB untuk restrukturisasi sektor listrik senilai US$ 20 juta [Rp 200 miliar] dimana para penasehat USAID berperan dalam manajemen proyek dan perencanaan.) The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring. Along with USAID, Canada and the ADB are helping Indonesia develop an action plan for leaded gas phase-out and reducing overall transportation emissions. (ADB dan USAID telah bekerja bersama merancang UU Migas pada tahun 2000. Melengkapi usaha USAID, Bank Dunia telah melakukan studi komprehensif tentang sektor migas , kebijakan penetapan harga dan menyediakan asistensi kepada PLN dalam restrukturisasi keuangan dan korporasi. BErsama USAID, Kanada dan ADB mmebantu Indonesia membangun rencana aksi untuk menghapus bensin bertimbal dan mengurangi emisi transportasi secara keseluruhan).

Principal Contractors, Grantees, or Agencies: The Energy Policy Analysis Office and Oil and Gas Policy programs are implemented by Advanced Engineering Associates International. The Institutional Strengthening for Electricity Sector Reform program is implemented by the Institute of International Education. The Power Plant Improvement program is implemented by Albany Research Labs, U.S. Department of Energy.

 

Dalam dokumen tersebut terlihat begitu besarnya peran USAID dan ADB dalam hal lahirnya UU Migas, penghilangan subsidi BBM, reformasi sektor kelistrikan dan restrukturisasi PLN. Bahkan USAID juga mengungkapkan kegembiraan dengan ditunjukkan Dirut Pertamina pada tahun 2000 yang dinilai oleh USAID “berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar]”. Ini mengindikasikan USAID sedikit atau banyak juga punya peran dalam hal itu.

 

Selanjutnya peran USAID dalam hal kebijakan dan UU yang lahir di negeri ini juga terlihat dalam dokumen USAID berikut:

 

Program Data Sheet 497-013

USAID MISSION: Indonesia

PROGRAM TITLE: Energy Sector Reform (Pillar: Economic Growth, Agriculture, and Trade)

STRATEGIC OBJECTIVE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013

STATUS: Continuing

LANNED FY 2002 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $3,630,000 DA

PROPOSED FY 2003 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $4,130,000 DA

INITIAL OBLIGATION: FY 2000      ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 2004

 

Summary: The energysector is a major component of the Indonesian economy, generating nearly 30% of total Government revenues and significant foreign exchange. However, the sector is plagued by weak policies, corruption, inefficient production and distribution, wasteful consumption, and massive energy subsidies that siphon off half of the sector’s $10 billion in annual revenues. USAID’s program to strengthen efficiency, governance, and transparency in the energy sector will help Indonesia overcome these challenges and derive the greatest benefits from its energy resources. USAID technical assistance and training activities include-

  • energy policy, analysis, and restructuring;
  • development of oil and gas and electricity laws to increase efficiency and private sector investment;
  • increasing public awareness and involvement in energy issues; and
  • energy efficiency and renewable energy development.

 

Inputs, Outputs, and Activities: FY 2002 Program: A reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue, have a positive environmental impact, rationalize pricing, increase access to energy services, and sustain Indonesia’s energy resource base. USAID is the primary bilateral donor working on energy sector reform. USAID will assist the Government of Indonesia (GOI) to implement the new oil and gas law (drafted with USAID assistance), draft a new electricity sector law, and continue electricity sector restructuring to increase efficiency and private sector investment. Technical assistance and training activities will facilitate the Government’s efforts to reduce energy subsidies, both in the longer-term and for the planned 30% reduction in 2002. USAID will focus on mitigating the negative social impact of price increases through outreach activities that increase the public’s understanding of the reasons behind the price increases. Other technical assistance will provide analysis on the nexus between energy, environment, and economy (pricing/subsidy, supply/demand, and regional energy policy) for key Government policymakers at the local and national level. USAID will expand activities that foster grassroots support for energy reform and promote renewable energy development.

Planned FY 2003 Program: USAID plans to use FY 2003 resources to continue technical assistance and training activities that encourage energy sector reform. USAID intends to continue to focus on implementation of electricity reform, including passage of a new law, and expects to begin activities on implementation of a new oil and gas sector law. USAID plans to continue to provide technical assistance on subsidy reductions, on raising public awareness about energy sector reform and promoting cleaner energy production and use.

Performance and Results: USAID technical assistance on drafting led to the enactment of a new oil and gas law in October 2001 that increases competition and efficiency by ending the monopoly of the State Oil and Gas Company (Pertamina). Implementation of the law will upgrade product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID is encouraging the Government of Indonesia (GOI) to enact a second new law governing electricity to increase efficiency, introduce independent regulation, and open the power market to competition.

In 2001, the Government took major steps toward the reduction of energy subsidies, increasing electricity prices by 17.5% and petroleum products by 29%. USAID provided technical assistance for activities by local NGOs to begin building public support for subsidy elimination. These local NGOs conducted public hearings on energy subsidies, helped the Government by developing a strategy to address the adverse impact of price increases, and expressed their views in testimony before the Parliament. The Center for Energy Information, established through a USAID activity in the Ministry of Energy and Mineral Resources, produced policy analysis on pricing and subsidy removal that led to a new law eliminating all petroleum subsidies by 2004, except kerosene. Kerosene and electricity subsidies will be eliminated by 2005.

Indonesia’s decentralization program has placed responsibility for energy resources in the hands of local governments. USAID is working with local universities to strengthen local capacity in energy policy-making and provide a forum for local governments to better analyze and understand local and national energy issues. In 2001, USAID trained more than 100 local government officials and regional university lecturers on calculating oil and gas and mineral resource revenue sharing, a contentious issue between central and local governments.

Pada kalimat-kalimat yang kami garis bawahi pada bagian input, output and activities tampak jelas bahwa 1. USAID akan mengasistensi pemerintah dalam menerapkan UU Migas yang baru. UU Migas itu disusun draftnya dengan aisistensi dari USAID. 2. Mendraft UU kelistrikan. 3. Melanjutkan restrukturisasi sektor kelistrikan untuk meningkatkan efisiensi dan investasi sektor swasta. 4. Memfasilitasi dan training pemeritah untuk upaya mengurangi subsidi energy. 5. Mengurangi dampak negatif kenaikan harga energy termsuk dengan meningkatkan pengertian publik terhadap hal itu.

Sementara pada bagian Performance and Results dinyatakan: asistensi teknis USAID pada penyusunan draft mengantarkan pada berlakunya UU Migas yang baru pada bulan Oktober 2001 yang meningkatkan persaingan dan efisiensi dengan mengakhiri monopoli Pertamina. Pengimplementasian UU tersebut akan meng-upgrade kualitas produk bagi konsumen, meningkatkan pendapatan pemerintah, dan meningkatkan kualitas udara. USAID mendorong Pemerintah Indonesia (GOI) untuk memberlakukan UU baru yang kedua yang mengatur kelistrikan untuk meningkatkan efisiensi, memperkenalkan regulasi yang independen, dan membuka pasar tenaga listrik bagi kompetisi.

Dari dokumen ini jelas bahwa USAID berperan besar pada lolosnya UU Migas No. 22/2001, lahirnya UU Kelistrikan, restrukturisasi PLN dan liberalisasi migas dengan mengakhiri monopoli Pertaminan. Restrukturisasi PLN pada faktanya kita melihat PLN di-unbundling dengan memisahkan pembangkitan dan dibentuk anak perusahaan sendiri. Juga akan di-unbundling dengan memisahkan penanganan jaringan dan distribusi listrik. Sementara untuk masalah migas, monopoli Pertamina diakhiri. Seiring dengan itu dibuka pintu bagi masuknya peran swasta pada hulu migas (eksplorasi dan produksi) dan hilir migas (distribusi dan eceran) sehingga bermunculan SPBU non pertaminan seperti Shell, Total dan lainnya. Begitu juga USAID berperan dalam masalah pengurangan atau penghilangan subsidi energy yang pada tataran riil terlihat pada kenaikan tarif listrik, kenaikan harga elpiji dan kenaikan harga BBM.

Ini baru sebagian dokumen, dan masih ada dokumen-dokumen lainnya yang menjelaskan dengan sangat jelas betapa dalamnya intervensi asing, khususnya dalam hal liberalisasi migas. Penghilangan subsidi adalah puncak dari liberalisasi ini yang masih belum dicapai dan itu akan terus didesakkan (didiktekan) untuk sesegera mungkin dijalankan oleh Pemerintah. Sayangnya Pemerintah nurut pada apa yang dimaui asing itu, bahkan mencari berbagai argumentasi untuk membenarkannya. Disisi lain, kebijakan itu tetap diambil, mungkin saja dengan suka rela dan sadar, meski menyusahkan rakyat banyak dan menyebabkan rakyat yang sejatinya adalah pemilik kekayaan alam negeri ini termasuk migas, tidak lebih banyak menikmati hasilnya dan merasakan kesejahteraan dari hasil pengelolaannya.

Semua itu mencerminkan intervensi asing dan penjajahan barat atas negeri ini. Mereka yang terlibat dalam proses itu boleh jadi melakukannya tanpa mereka sadar bahwa mereka sedang memebri jalan, membantu bahkan menjadi operator dari intervensi asing dan penjajahan itu. Mereka yang seperti itu sungguh sangat disayangkan. Sebab mereka bisa diperalat oleh penjajah untuk kepentingan penjajahan mereka. Tentu mereka harus disadarkan. Namun ada dua pihak yang jauh lebih berbahaya. Pertama, yang melakukan semua itu secara sadar bahkan mengangapnya sebagai sesuatu yang harus dilakukan atau diwujudkan di dan untuk negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang sudah terkooptasi oleh ide-ide dan konsepsi barat. Menyadarkan mereka adalah perkara yang tidak mudah. Kelompok kedua adalah mereka yang mlakukan semua itu dengan sadar dan paham bahwa itu adalah intervensi dan penjajahan. Namun mereka tetap melakukannya untuk mendapatkan kepentingan duniawi. Mereka inilah yang layak disebut sebagai komprador sejati.

Semua kenyataan itu boleh jadi tidak disadari oleh banyak dari anggota masyarakat negeri. Semua realita itu harus segera diubah dan diakhiri. Untuk itu diantara langkah pertama-tama yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran masyarakat terhadap realita tersebut dan kerugian serta akibat buruknya bagi negeri ini, bagi masyarakat dan generasi mendatang. Proses edukasi penyadaran itu harus dilakukan terus menerus sampai masyarakat paham atas realita itu dan berkeinginan kuat untuk mengubah dan mengakhirinya.

Semua proses itu harus diiringin dengan proses edukasi dan pemahaman terhadap masyarakat tentang kondisi yang semestinya diwujudkan menggantikan realita itu dan sistem alternatif yang harus dibangun menggantikan sistem aturan model penjajahan yang ada itu. Kondisi yang harus diwujudkan itu tidak lain adalah kehidupan Islami dan sistem yang harus dibangun itu adalah sistem Islami. Semua itu terepresentasi dalam penerpaan syariah Islamiyah secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*