Minggu pertama Nopember 2014, saya berkesempatan bersilaturahmI dengan Brigjen (Pol) Anton Tabah. Dalam kesempatan tersebut Kami berbincang terkait berbagai permasalahan keumatan. “Kita ini perlu revolusi mindset. Cara pandang yang berbeda dan pola pikir yang berbeda akan menjadikan orang bersikap juga berbeda,” ujar anggota Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tersebut.
“Memang benar, Pak. Kalau istilah saya, kita ini jangan salah memakai kacamata ketika sedang menilai sesuatu,” komentar Rokhmat S. Labib yang juga turut dalam anjang sana itu.
Ketua DPP HTI tersebut melanjutkan, “Coba saja kalau al-Quran dilihat dari kacamata olah-raga, berbeda dengan olahraga dilihat dari kacamata al-Quran. Bila orang memandang al-Quran dari kacamata olah-raga maka boleh jadi dia akan menyatakan bahwa al-Quran itu bertentangan dengan olah-raga. Al-Quran harus dijauhkan dari dunia olah raga dan hal ihwal olah-raga harus dijauhkan dari al-Quran. Sebab, menurut kacamata olah-raga mempertontonkan aurat merupakan suatu keniscayaan. Padahal al-Quran melarang mempertontonkan aurat. Ini ‘kan berbahaya. Berbeda jika kacamata al-Quran dijadikan sebagai standar untuk menyikapi olah raga. Orang yang memakai kacamata al-Quran akan bersikap bahwa olah-raga itu dianjurkan oleh Nabi saw., namun dalam pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan al-Quran dan as-Sunnah seperti tidak campur-baur laki-laki dengan perempuan, tidak membuka aurat, dsb. Begitu juga berbahaya jika kacamata pluralisme dan HAM digunakan untuk menilai Islam, bukan kacamata Islam yang digunakan untuk menilai pluralisme dan HAM.”
Pak Anton pun segera merespon, “Ya, seharusnya Islam itu dijadikan sebagai tolok ukur. Bukan liberal yang dijadikan standar.”
Berkait dengan ‘kacamata’ ini tampaknya terjadi pula pada wacana penghilangan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Awalnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa kolom agama di dalam KTP akan dihapuskan. Respon pun bermunculan. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mendukung rencana Pemerintah mengenai pengosongan kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik bagi pemeluk keyakinan. Haris bahkan menyarankan kolom agama dihapus saja dari kartu identitas. Menurut dia, identitas yang penting di KTP adalah nama, alamat dan nomor jaminan kesehatan saja. “Jangan memperdebatkan soal agama. Jangan sampai kartu penduduk mengganggu perbedaan,” kata Haris. Jelas kacamata yang dipakai adalah kacamata sekular.
Berbeda dengan itu, Ketua MUI Din Syamsuddin secara tegas menolak pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Seharusnya tidak ada persoalan soal kolom agama lagi. Persoalan agama itu selalu menjadi masalah, bahkan berpotensi menjadi masalah besar,” ungkapnya. “Kebijakan itu tidak bijak karena hanya kontraproduktif,” tambah tokoh yang juga Ketua Umum Muhammadiyah ini.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj. Dia menyebutkan bahwa kebijakan pengosongan kolom agama di KTP telah mencederai perasaan umat beragama di Indonesia.“Bukan untuk sombong-sombongan. Penulisan agama di KTP itu identitas yang menurut saya sangat penting,” ujarnya.
Jubir HTI, Muhammad Ismail Yusanto mengomentarinya dengan keras, “Penghapusan kolom agama di KTP itu menunjukkan sedang berjalannya sekularisme radikal!”
Pada satu pihak ada yang memandang bahwa agama penting. Pada pihak lain agama dipandang sebelah mata bahkan dapat mengganggu keharmonisan. Padahal orang yang beriman memahami bahwa Islam itu merupakan landasan bagi kehidupan. Saya menyampaikan kepada beberapa tokoh bahwa bila kolom agama dihilangkan dari KTP maka berbagai kerugian akan menimpa umat Islam. Misalnya, tidak akan ada lagi istilah negeri mayoritas Muslim sebab tidak ada data tentang agama. Selain itu, kristenisasi akan makin merajalela. Selama ini kristenisasi terganjal oleh Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga menteri yang salah satunya tidak menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama. Bila kolom agama di KTP kosong maka kristenisasi akan tambah leluasa. Demikian pula, tanpa kolom agama di dalam KTP pembelajaran agama khususnya di sekolah tidak akan berjalan. Sebab, dalam UU digariskan bahwa agama harus diajarkan oleh orang yang seagama. Padahal bila di KTP kosong maka tidak ada bukti yang dia anut apa. Banyak lagi hal buruk lainnya yang akan menimpa seperti paham sosialis/komunis akan muncul kembali, pengurusan mayat apakah berdasarkan Islam atau tidak, dsb.
Sekalipun akhirnya Mendagri mengatakan bahwa yang mengosongkan kolom agama dalam KTP adalah orang yang menganut agama di luar agama resmi, tetap saja penolakan terjadi. Pertanyaan terpenting sebenarnya adalah ada apa di balik wacana penghapusan kolom agama di KTP?
Berkaitan dengan hal itu saya menyampaikan kepada beberapa tokoh umat Islam, termasuk kepada Pak Anton Tabah saat bersilaturahmi, bahwa Indonesia kini tengah menghadapi dua ancaman yang membahayakan. Pertama: Sosialisme-komunisme yang sekarang semakin tampak kemunculannya. Salah satu yang dapat dirasakan adalah agama dipandang tidak penting, dan mengganggu bila agama dicantumkan di dalam KTP. Paham materialisme digelontorkan secara halus. Mindset yang lebih berbau materialistik tampak menonjol. Berkaitan dengan salah seorang menteri, kini sedang berjalan penyebaran mindset ‘tidak apa-apa merokok asal bisa bekerja’, ‘tidak apa-apa bertato asal bisa bekerja’. Bila mindset ini dikembangkan sangat berbahaya. Boleh jadi seorang siswa SMA akan mengatakan, ‘tidak apa-apa tidak shalat yang penting nilai bagus’, ‘tidak apa-apa bertato asal lulus perguruan tinggi’, dsb. Belum lagi, Jokowi saat debat calon presiden pernah menyampaikan, ‘ayat konstitusi harus berada di atas ayat suci’.
Kedua: Kapitalisme-liberalisme baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya. Perkara yang nyata sekarang adalah landasan pengelolaan negara saat ini didasarkan pada prinsip pedagang, yaitu beli di mana dengan harga berapa, lalu dijual di mana dengan harga berapa agar untung sekian. Jangan berharap ada industrialisasi di benaknya! Akibatnya, bukan berdaulat secara politik melainkan penghambaan diri kepada asing. Bukan berdikari secara ekonomi, melainkan bergantung pada impor.
Kedua ideologi tersebut sama-sama memandang agama tidak perlu mengatur kehidupan. Bahkan setiap orang boleh menganut keyakinan dan kepercayaan apa saja. Oleh karena itu, paham dan ajaran apapun boleh ada. Salah satunya, adalah Baha’i yang hendak diakui sebagai agama. Padahal Baha’i merupakan ajaran kebatinan campuran dari Islam, Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, kebatinan lainnya. Menteri Agama diberitakan hendak melegalkan Baha’i sebagai agama. “Saya sudah menampaikan kepada Menteri Agama apa pemahaman Anda tentang lâ nabiyya ba’dahu (tidak ada Nabi sesudah beliau saw.)? Maknanya adalah lâ dîna ba’dahu (tidak ada agama sesudahnya),” ujar Anton Tabah kepada saya. “Jadi, bagaimana mungkin Baha’i dianggap sebagai agama secara resmi,” tambahnya dengan nada tegas.
Jadi, kacamata yang keliru akan melahirkan cara pandang dan sikap keliru. Hanya satu yang harus dijadikan kacamata sebagai tolok ukur perbuatan (miqyâs al-‘amal): Islam!
WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]