M. Ismail Yusanto: Khilafah Menjadikan Kita Kuat

Pengantar:

Seruan penegakan Khilafah dari hari ke hari makin meluas. Sambutan kaum Muslim juga makin besar. Namun, muncul pula upaya untuk menghambat seruan penegakkan Khilafah itu. Ada yang menuduh Khilafah sebagai ancaman. Sebaliknya, nation state (negara-bangsa) diklaim baik, harus dibela dan dipertahankan. Ada juga yang mencoba membingkai istilah khilafah dengan paham nasionalisme. Muncullah istilah “khilafah nasional” dan pemimpinnya disebut dengan “khalifah nasional”. Adapun Khilafah syar’i dalam arti “kepemimpinan global umat Islam sedunia” dianggap tidak relevan dan utopis.

Benarkah Khilafah menjadi ancaman? Benarkah nasionalisme dan nation-state membawa kebaikan bagi umat ini? Bagaimana pula dengan ide “khilafah nasional” dan “khalifah nasional”? Benarkah Khilafah utopis?

Untuk membincangkan hal itu Redaksi mewawancarai Ustadz Muhammad Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan Ustadz tentang nasionalisme?

Nasionalisme (paham kebangsaan) adalah paham yang meletakkan bangsa sebagai sentrum atau pusat orientasi. Hans Kohn, sebagaimana dikutip oleh Ziauddin Sardar dalam buku Rekayasa Masa Depan Islam, mendefinisikan nasionalisme sebagai: “keadaan pada individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (pendiri HT) menyebut nasionalisme sebagai ikatan yang rendah. Apa maksudnya?

Nasionalisme adalah ide absurd. Ia muncul dari nafsu egoisme jahiliah semata. Nasionalisme adalah ikatan emosional atas dasar kesamaan suku/bangsa atau etnik, termasuk tanah air (wathaniyah). Karena itu ikatan nasionalisme dikatakan sebagai ikatan yang rendah.

Jadi Hizbut Tahrir menolak nasionalisme?

Iya. Hizbut Tahrir menolak nasionalisme. Pasalnya, Islam dengan tegas juga menolak nasionalisme. Islam mengharamkan propaganda ‘ashabiyah (fanatisme golongan) atas dasar kesukuan/kebangsaan (qawmiyah), termasuk tanah air (wathaniyah). Rasulullah saw. yang mulia bersabda, “Siapa saja yang menyerukan ‘ashabiyah (fanatisme golongan) tidak termasuk golongan kami (kaum Muslim).” (HR Abu Dawud).

Nasionalisme termasuk di antara seruan-seruan jahiliah. Berbangga-bangga dengan ‘ashabiyah jahiliah dikecam keras oleh Rasulullah saw., “Sungguh hina kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka; atau mereka itu akan menjadi lebih hina di sisi Allah daripada seekor ju’al (sejenis hewan) yang mengais-ngais sampah dengan menggunakan hidungnya.” (HR Ahmad dan ath-Thabrani).

Orang-orang yang menyerukan ‘ashabiyah dan berperang atas nama ‘ashabiyah, lalu mati, maka matinya sama dengan mati dalam keadaan jahiliah. Rasulullah saw. menyatakan, “Siapa saja yang berperang di bawah panji kejahilan—dia marah karena ‘ashabiyah, atau menyerukan ‘ashabiyah, atau ikut menolong dalam rangka ‘ashabiyah—lalu dia mati, maka matinya adalah mati jahiliah.” (HR Muslim).

Akibat nasionalisme juga sangat buruk. Umat Islam yang kini berjumlah lebih dari 1,6 miliar terpecah ke dalam lebih dari 50 negara kecil-kecil. Umat menjadi sangat lemah, tidak mampu menjaga ’izzul Islam wal Muslimin. Mereka pun gagal membendung makar musuh-musuh Islam. Akibatnya, penjajahan atas negeri-negeri Muslim dalam berbagai bentuknya makin kokoh; baik di lapangan ekonomi (melalui pemberian utang luar negeri dan sebagainya), di bidang politik (melalui paham sekularisme, demokrasi, HAM dan sebagainya), maupun di bidang budaya (melalui budaya Barat yang permisif) dan sebagainya. Akibat lainnya adalah adanya pertikaian antar negeri Muslim akibat perbedaan kepentingan dan politik devide et impera kafir penjajah; misalnya konflik Iran–Irak, Indonesia–Malaysia, Irak-Kuwait, dll. Umat Islam juga menjadi lemah dalam menghadapi musuh. Penyerbuan AS atas Irak, misalnya, berlangsung begitu saja tanpa sedikit pun bisa dicegah oleh negeri-negeri muslim.

Bagaimana dengan pernyataan bahwa nasionalisme penting bagi tumbuhnya kerelaan berjuang membela tanah air (patriotisme)?

Betul, nasionalisme bisa memunculkan fanatisme luar biasa terhadap bangsa dan tanah airnya sehingga bisa mendorong orang untuk rela berjuang bagi tanah air dan bangsanya itu. Ini wajar belaka karena nasionalisme memang sesuatu yang serba emosional. Masalahnya, semangat pembelaan itu tidak lagi melihat apakah yang dibela itu benar atau salah, seperti doktrin “wright or wrong is my country”. Nasionalisme telah membutakan orang pada kebenaran. Nasionalisme juga mengingkari persaudaraan universal di antara umat Islam. Di medan perang, prajurit yang sama-sama Muslim akan mengalami dilema. Dengan dorongan nasionalisme, dia kadang harus membela negerinya dan membunuh pasukan lawannya yang juga Muslim. Padahal ia tahu, membunuh sesama Muslim tanpa haq itu dosa besar. Mana yang harus diikuti?

Para pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Cuk Nyak Dien atau Cokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari dan yang lainnya, yang begitu gagah berani berjuang melawan penjajah Belanda itu sesungguhnya didorong oleh semangat jihad, bukan oleh semangat nasionalisme sempit tadi. Islam memang memerintahkan kita untuk melawan siapa saja yang menyerang kita. Dengan kerangka ini, kita bisa memahami lahirnya “resolusi jihad” KH Hasyim Asy’ari, yang mampu menggerakkan perlawanan terhadap pasukan Belanda ketika itu.

Kalau begitu, berarti nasionalisme tetap penting untuk melawan penjajah dan membangun sikap anti penjajahan?

Begini. Perlawanan atas dasar nasionalisme dan patriotisme seperti itu tidak akan langgeng karena bersifat emosional dan tidak didasarkan pada pemikiran dan landasan yang kokoh. Karena itu dalam tataran praktis seperti terlihat di era sekarang ini, banyak sekali orang, kelompok atau partai yang notabene menyebut diri nasionalis, dengan mudah menggadaikan prinsip nasionalisme demi meraih keuntungan sesaat. Bahkan tidak jarang mereka justru berubah menjadi antek penjajah.

Lihatlah, dalam masa kepresidenanya yang tidak terlalu panjang, Megawati, yang sering disebut sebagai representasi kekuatan nasionalis, ternyata tidak sedikit mengambil kebijakan yang kerap dituding sangat tidak nasionalis. Di antaranya yang paling banyak disorot adalah penjualan Indosat, berikut anak dan cucu perusahaannya, kepada Singtel senilai sekitar Rp 5 triliun. Lalu, beberapa bulan sebelum lengser, Mega juga sempat menandatangani amandemen UU yang berisi larangan menambang di hutan lindung yang dibuat oleh DPR periode sebelumnya. UU ini sangat ditentang oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar seperti Freeport, Newmont dan lainnya karena menghambat laju ekspansi eksplorasi tambang mereka. Menurut informasi yang sangat bisa dipercaya, sebelum UU itu terbit, Freeport telah mengeluarkan dana lebih dari 120 juta USD untuk melakukan eksplorasi hingga ke wilayah Puncak Soekarno. Hasilnya, mereka menemukan cadangan emas yang jauh lebih besar dari yang ditemukan selama ini. Oleh karena itu, mereka kemudian berusaha dengan segala cara untuk membatalkan UU itu. Usaha mereka berhasil. Megawati yang ngaku nasionalis, membatalkan UU yang sebenarnya sangat bagus untuk melindungi kekayaan alam negeri ini, yang kabarnya memang dibuat untuk menghentikan ekspansi Freeport.

Bukan hanya Mega, SBY pada masa kepemimpinannya juga tidak sedikit melakukan tindakan yang dituding a-nasionalis, seperti menyerahkan blok kaya minyak Cepu ke Exxon Mobil, bukan kepada Pertamina yang notabene adalah perusahaan milik negara.

Dengan semua tindakan itu, bisakah Mega, SBY, PDI-P, Partai Demokrat, juga partai-partai lain yang mengaku nasionalis, benar-benar nasionalis dan anti penjajahan?

Merujuk pada sejarah, justru faktor Islamlah yang mendorong para pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Cuk Nyak Dien atau Cokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari dan lainnya berani berjuang melawan penjajah. Karena Islam pula HTI berjuang untuk menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman kapitalisme, liberalisme dan sekularisme. Inilah kecintaan pada tanah air yang benar; bukan seperti orang-orang itu, yang ngaku nasionalis, tetapi tindakan mereka justru sering merugikan negara dan bangsa ini.

Jadi, nasionalisme dan nation state itu baik atau berbahaya bagi kaum Muslim?

Sangat berbahaya. Ingat, sejarah telah membuktikan paham nasionalismelah yang telah menjadi biang kehancuran Khilafah dan memporakporandakan persatuan umat. Ahmad Zain an-Najah MA, mengutip pakar sejarah Mahmud Syakir dalam buku Tarikh Islam Daulah Utsmaniyah,  menyebutkan bahwa sarana untuk menghancurkan kekuatan Khilafah Islam di Turki waktu itu tak lain adalah dengan menghidupkan paham nasionalisme.

Diawali dengan gerakan men-Turki-kan Daulah Utsmaniah, mereka menjadikan srigala (sesembahan bangsa Turki sebelum datangnya Islam) sebagai simbol dari gerakannya tersebut. Lalu diikuti dengan menyebarkan rasa permusuhan kepada bangsa Arab, di antaranya dengan mencopot Kementerian Wakaf, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri, yang ketika itu dipegang oleh orang-orang Arab, diganti dengan orang Turki. Gerakan itu membuat bangsa Arab berang. Akibatnya, dalam waktu singkat bermunculan gerakan “Fanatisme Arab”, yang dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Irak dan Hijaz.

Bermula dari pelataran Bumi Syam, fanatisme ini lalu berkembang dan membesar ke berbagai negara. Ketika pecah Perang Dunia I pada tahun 1914-1918, ini dipandang sebagai kesempatan bagi bangsa-bangsa Arab untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniah dengan mendirikan “Khilafah Arabiyah”. Dengan sigap, Inggris memanfaatkan situasi ini untuk menghancurkan kekuatan Islam. Mereka kemudian mengutus “Lorence”, spionis Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan “Lorence Arab”. Dengan arahan Lorence Arab, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan Khilafah Utsmaniah.

Nasionalisme pula yang membuat umat Islam kini sulit bersatu melawan pihak musuh. Lihatlah di Timur Tengah. Kita tidak pernah bisa melawan kezaliman Israel dan menghentikan penjajahan mereka atas tanah Palestina. Mesir merasa tidak punya urusan lagi dengan Israel setelah Gurun Sinai kembali ke pangkuan Mesir. Begitu juga Yordania, Libanon dan Syria setelah Tepi Barat Sungai Yordan, Libanon Selatan dan Dataran Tinggi Golan kembali kepada mereka masing-masing. Walhasil, Palestina yang sudah demikian tertindas itu sekarang harus berjuang sendiri melawan Israel yang mendapat topangan AS dan negara Barat lain.

Kalau Islam menolak nasionalisme, otomatis Khilafah itu bukan negara-bangsa?

Iya. Negara-bangsa itu kan menganut prinsip static-border, sedangkan Khilafah itu dinamic-border; batas negara akan selalu berubah seiring dengan perkembangan dakwah dan jihad. Bila dakwah dan jihad berhasil dan futuhat atau penaklukkan terjadi di mana-mana, maka tapal batas negara Khilafah juga akan terus berubah, meluas dan membesar sebagaimana terjadi pada masa lalu. Pada awalnya, Daulah Islam hanya sebatas kota Madinah, namun kemudian berkembang hingga Makkah, dan di ujung hayat Rasululah saw. sudah berkembang hingga seluruh Jazirah Arab. Bahkan pada puncaknya, Khilafah Islam telah meluas hingga menguasai hampir 2/3 belahan dunia.

Bagaimana dengan istilah “khilafah nasional” yang baru-baru ini dimunculkan?

Itu istilah campur-aduk. Maunya menerima ide khilafah, tetapi tak mau meninggalkan nasionalisme dan negara-bangsa. Mana bisa? Itu dua ide yang bertolak belakang. Sekali kita menerima Khilafah, pasti hilang itu nasionalisme dan negara-bangsa. Begitu sebaliknya.

Bagaimana tren terkait ide negara-bangsa (nation-state) itu ke depan?

Dengan berbagai kecenderungan global saat ini, apalagi didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sebenarnya nation-state itu makin kehilangan relevansinya. Lihatlah bagaimana negara-negara Eropa Barat akhirnya bergabung ke dalam Uni Eropa. Mereka sadar, ketika berdiri sendiri-sendiri, mereka lemah. Bila digabung akan menjadi kuat. Terbukti, kini Uni Eropa makin lama makin berkembang dan kuat. Pada awalnya hanya diikuti oleh hanya 12 negara, sekarang tidak kurang dari 28 negara ikut dalam Uni Eropa.

Saat mata uang Euro diluncurkan, misalnya, langsung menguat terhadap dollar Amerika Serikat. Kalau dibiarkan bertarung secara fair, bukan tidak mungkin mata uang Euro betul-betul akan menguasai dunia. Konon, salah satu faktor mengapa AS menyerang Irak tidak lain adalah untuk menghentikan tindakan Saddam Hussein yang berencana mengubah denominasi pembayaran ekspor minyak Irak dari dolar AS ke euro. Kalau rencana Saddam itu dibiarkan, itu akan menjadi sebuah bencana besar bagi dolar AS karena uang yang beredar dalam bisnis minyak sangat besar; konon lebih dari 400 miliar dolar AS perhari. Kalau semua diganti dengan euro, pasti dolar akan terpuruk.

Ini satu bukti bahwa pembentukan Uni Eropa ternyata berimplikasi sangat serius dan nyata. Nah, gagasan Uni Eropa yang tidak punya basis historis (kalaupun ada sebatas romantisme kejayaan Romawi), basis teoretis maupun basis teologis saja bisa terwujud, apalagi Khilafah Islam. Ide Khilafah Islam punya semua basis; baik basis teologis, teoretis, maupun historis, apalagi rasionalitas. Kalau Khilafah Islam tegak, ia akan menyatukan lebih dari 1,6 miliar umat Islam seluruh dunia. Itu sebuah jumlah yang sangat besar.

Bagaimana dengan anggapan bahwa Khilafah itu utopis?

Orang boleh ngomong apa saja. Yang pasti, Khilafah itu pernah ada pada masa lalu. Khilafah mampu menaungi berbagai bangsa dalam sebuah persaudaraan universal atas dasar akidah Islam serta mewujudkan sebuah peradaban agung yang dicatat oleh tinta emas sejarah.

Memang, upaya mewujudkan Khilafah kembali saat ini tidaklah mudah, namun tidak berarti utopis, karena utopis itu sama dengan mustahil. Faktanya, Khilafah pernah ada lebih dari 13 abad. Dengan dukungan umat Islam seluruh dunia yang makin menyadari bahwa tidak ada masa depan buat umat ini kecuali di bawah Islam, pasti Khilafah akan tegak kembali. Insya Allah. Bahkan kita bisa mengatakan, tegaknya Khilafah adalah sebuah kepastian, karena mana ada janji Allah tak pasti? []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*