Allah SWT berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya (manusia) yang takut kepada Allah hanyalah para ulama.” (TQS Fathir [35] 28).
Terkait ayat di atas, Ibn Mas’ud ra, “Kafa bi khasy-yatillLah ‘ilma (Cukuplah takut kepada Allah sebagai [buah] ilmu).”
Salah seorang ulama salaf berkata, “Laysal-‘ilmu bi katsratir-riwayah walakinal-‘ilma bikatsratil-khasy-yah (Ilmu itu tidak identik dengan banyaknya periwayatan, tetapi identik dengan banyaknya rasa takut (kepada Allah SWT).”
Ulama lain berkata, “Man khasyiyalLah fa huwa ‘alim wa man ‘ashahu fa huwa jahil (Siapa saja yang takut kepada Allah, dialah orang berilmu. Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah, dia adalah orang bodoh).”
Hal ini mudah dipahami. Pasalnya, sesungguhnya ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua perkara. Pertama: mengenal Allah (Ma’rifatulLah) berikut nama-nama-Nya yang indah (al-asma’ al-husna), sifat-sifat-Nya yang tinggi dan segala tindakan-Nya yang agung. Inilah yang menjadikan seorang yang berilmu memuliakan dan mengagungkan Allah; takut dan khawatir kepada-Nya; cinta dan berharap kepada-Nya; tawakal dan ridha terhadap qadha’-Nya; serta sabar atas segala ujian-Nya yang menimpa dirinya. Kedua: mengetahui apa saja yang Allah suka dan ridhai; memahami apa saja yang Allah benci dan murkai baik menyangkut keyakinan, perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi, maupun ucapan. Hal demikian menjadikan orang berilmu bersegera menunaikan apa saja yang bisa mendatangkan cinta dan ridha Allah kepada dirinya serta menjauhi apa saja yang bisa mendatangkan kebencian dan murka Allah atas dirinya.
Jika ilmu menghasilkan buah semacam ini pada pemiliknya, berarti ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Saat ilmu benar-benar bermanfaat pada diri seseorang, saat itulah kalbunya dipenuhi rasa takut dan ketundukan kepada Allah; wibawa dan kemuliaannya rendah di hadapan-Nya; takut dan cinta kepada Allah menyatu dalam kalbunya; dan dia selalu mengagungkan-Nya.
Saat kalbu merasa takut kepada Allah serta tunduk dan pasrah kepada-Nya, saat itulah jiwa merasa puas (qana’ah) dan kenyang dengan harta yang halal walau sedikit. Itulah yang menjadikan dirinya bersikap zuhud terhadap dunia (Ibn Rajab, Fadhl ‘Ilmi as-Salaf ‘ala al-Khalaf, I/7).
Sayang, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian sahabat Nabi SAW, “Ilmu yang pertama kali dicabut oleh Allah adalah (yang melahirkan) rasa takut kepada Allah SWT.”
Karena itu Al-Hasan berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Pertama: Ilmu yang hanya di lisan. Inilah yang akan Allah pertanyakan kepada anak Adam. Kedua: Ilmu yang menghujam dalam kalbu (yang kemudian diamalkan, pen.). Itulah ilmu yang bermanfaat.”
Atas dasar itu, para ulama salaf berkata, “Ulama itu ada tiga macam. Pertama: Ulama yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya. Kedua: Ulama yang mengenal Allah tetapi tidak memahami perintah-Nya. Ketiga: Ulama yang memahami perintah Allah tetapi tidak mengenal Diri-Nya. Yang utama tentu saja yang pertama. Mereka adalah para ulama yang takut kepada Allah seraya mengamalkan dan menerapkan syariah (hukum-hukum)-Nya.” (Ibn Rajab, Fadhl ‘Ilmi as-Salaf ‘ala al-Khalaf, I/7).
Ilmu yang bermanfaat tentu adalah ilmu yang digali dari Alquran dan as-Sunnah. Jika ilmu tidak digali dari keduanya, tentu ilmu itu tidak bermanfaat, bahkan bisa mendatangkan madharat; atau madharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.
Di antara tanda-tanda ilmu yang tidak bermanfaat adalah yang menjadikan pemiliknya merasa bangga, angkuh dan sombong. Ia menuntut ilmu semata-mata demi meraih martabat dan kedudukan yang bersifat duniawi. Dengan ilmunya ia berniat ingin menyaingi para ulama, merendahkan orang-orang awam dan berupaya menarik perhatian manusia kepada dirinya (riya dan sum’ah). Orang semacam ini memiliki sejumlah ciri antara lain: enggan menerima dan tunduk pada kebenaran; sombong terhadap orang yang menyatakan kebenaran, terutama dari orang yang dianggap rendah oleh masyarakat; tetap dalam kebatilan karena khawatir masyarakat berpaling dari dirinya jika ia merujuk pada kebenaran.
Ini tentu berbeda dengan sikap para ulama salaf. Justru karena ilmulah mereka bersikap rendah hati (tidak sombong) baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Karena itu di antara tanda-tanda orang yang ilmunya bermanfaat adalah: mereka tidak menganggap diri mereka memiliki kedudukan istimewa; tidak suka merasa dirinya suci; enggan dipuji; dan tidak sombong terhadap siapapun.
Lebih dari itu, Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya yang disebut orang faqih (ahli agama) adalah orang yang zuhud terhadap dunia, merindukan kehidupan akhirat (surga), paham agama dan selalu sibuk dalam beribadah kepada Tuhan-Nya.”
Ibn Umar juga berkata, “Orang yang ilmunya bermanfaat itu, jika ilmunya bertambah maka bertambah pula sikap tawaduk, rasa takut dan ketundukannya kepada Allah SWT.” (Ibn Rajab, Fadhl ‘Ilmi as-Salaf ‘ala al-Khalaf, I/8).
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [abi;sumber Mediaumat 140]