KOTA LAYAK ANAK: UPAYA LIBERALISASI SEJAK DINI
dr. Arum harjanti (Lajnah Siyasi DPP MHTI)
Pada tanggal 19 November 2014, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), Lenny Nurhayanti menyatakan bahwa pada tahun 2014 KPP-PA menargetkan terwujudnya 100 kota/kabupaten layak anak (KLA). Hingga Nopember 2014 telah ada 190 kabupaten dan kota yang mempersiapkan diri menuju kota layak anak. KLA dianggap sebagai investasi untuk membangun generasi penerus bangsa agar mereka lebih sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, cinta tanah air serta terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.
Latar Belakang KLA
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), Indonesia berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak. Upaya untuk mewujudkannya diawali dengan pengesahan UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada KHA. Selain itu, Indonesia juga telah ikut menandatangani World Fit For Children Declaration (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak (DLA) pada tanggal 10 Mei 2002 saat Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai Anak (27th United Nations General Assembly Special Session on Children).
Pada tahun 2004, Komitmen Indonesia tersebut selanjutnya dituangkan dalam ”Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015”. Program ini menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan dalam pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak Indonesia. Terdapat 4 bidang pokok dalam PNBAI, yang mengacu kepada empat fokus program WFC, yaitu : promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, eksploitasi, dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Untuk mempercepat komitmen ini, KPP-PA dengan dukungan dari Kementerian/Lembaga terkait mengembangkan Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), yang dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
KPP-PA telah merintis pembentukan kota layak anak sejak 2006 dengan menyiapkan aturan pelaksanaan untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Untuk dapat dikategorikan sebagai kota layak anak daerah harus memenuhi 31 indikator yang merujuk pada 5 klaster Konvensi Hak Anak. Di dalam Permen nomor 11 tahun 2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
Landasan KLA Bertentangan Dengan Islam
Negara yang sudah meratifikasi Konvensi hak-hak Anak mempunyai konsekuensi untuk mensosialisasikan dan membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak. Mereka juga harus membuat laporan periodik mengenai implementasi KHA setiap 2 tahun segera setelah meratifikasi dan selanjutnya setiap 5 tahun. Bahkan PBB membuat suatu badan khusus untuk memonitor pelaksanaan KHA di tiap negara, yaitu Committee on the Rights of the Child. Sementara itu, Komitmen untuk mewujudkan DLA juga merupakan upaya untuk makin mengokohkan implementasi KHA dalam mewujudkan hak anak. Dengan demikian ratifikasi KHA dan DLA merupakan cara untuk memaksa dan mengontrol negara di dunia termasuk Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh dunia internasional. Fakta bahwa sampai saat ini AS menjadi satu-satunya Negara yang belum meratifikasi KHA, meski sudah menandatanganinya pada tahun 1995, menimbulkan tanda tanya, mengingat AS terlibat secara aktif dan memberikan peran yang besar pada proses pembentukan KHA.
Nilai-nilai yang saat ini sangat gigih ditanamkan kepada penduduk dunia termasuk kaum muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia adalah konsep HAM dan kesetaraan gender. Nilai inilah yang juga diupayakan ditanamkan pada anak-anak melalui KHA dan semua upaya global untuk mewujudkan hak anak seperti DLA. Padahal secara konseptual, HAM dan kesetaraan gender bertentangan dengan Islam. Dalam pasal 6 Permen no 11/201 disebutkan bahwa Kebijakan Pengembangan KLA diarahkan pada pemenuhan lima hak anak yang salah satunya adalah hak sipil dan kebebasan. Hak kebebasan ini bila dikaitkan dengan KHA Pasal 14, maka hak kebebasan dalam beragama juga dijamin dalam KLA. Sementara Islam justru menolak konsep kebebasan beragama bagi seorang muslim.
HAM juga membatasi penafsiran atas agama sesuai dengan arus yang dikampanyekan secara global. Praktek agama yang dianggap membahayakan hak anak misalnya, sering dikaitkan dengan aturan Islam seperti sunat perempuan dan pernikahan. Begitu pentingnya mengarahkan pemahaman agama terhadap terhadap pemenuhan hak anak terlihat jelas dengan adanya program konsultasi seperti yang diadakan bulan Nopember 2014 yang lalu.
Kementrian PPPA bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, Sekretariat ASEAN dan UNICEF East Asia Pacific Regional Office melaksanakan Konsultasi Regional Praktek Budaya dan Agama yang Berpengaruh Terhadap Pemenuhan Hak Anak. Meneg PP-PA menyatakan, tujuan konsultasi ini adalah untuk mengidentifikasi praktek-praktek budaya dan ritual agama yang membawa dampak bagi pemenuhan hak anak baik dampak positif maupun negatif sebagai bahan dalam menyusun kebijakan yang responsif anak dalam bidang agama dan budaya. Sebagai konsekuensi konsultasi ini, maka praktek agama yang berlandaskan ajaran agama akan dilarang ketika dianggap bertentangan dengan tujuan pemenuhan hak anak menurut KHA. Hal ini juga ditegaskan dalam point 23 resolusi PBB tentang World Fit for Children. Hal ini akan membuat pengamalan agama tidak berdasarkan perintah Sang Pencipta, namun mengikuti kemauan manusia dengan menjadikan KHA sebagai rujukan.
Kebebasan berpendapat juga mendapat tempat yang sangat penting dalam KLA. dalam Pasal 5 Permen 11/2011 disebutkan bahwa salah satu prinsip Kebijakan Pengembangan KLA adalah penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.
Hal ini sejalan dengan KHA pasal 12 yang memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan pendapatnya tentang semua hal. Kebebasan berpendapat pada anak ternyata diberi ruang yang sangat besar. Untuk mempercepat perwujudan kebebasan berpendapat, melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 Indonesia memprogramkan pembentukan berbagai wadah seperti Forum Anak, Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Forum Partisipasi Anak Nasional, Konsultasi Anak Nasional, Dewan Anak, dan Pemilihan Pemimpin Muda Indonesia, guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Bahkan pemilihan Pemimpin Muda Indonesia sudah dilakukan Sejak tahun 2004. Berbagai forum tersebut diselenggarakan dengan dukungan UNICEF dan organisasi non pemerintah internasional. Salah satu tujuannya adalah memberikan pengakuan terhadap anak berusia dibawah 18 tahun yang telah berpartisipasi memasyarakatkan pelaksanaan Konvensi. Konsep ini jelas bertentangan dengan Islam. Islam memang memberi ruang bagi kebebasan berpendapat, dengan catatan pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan Islam atau pemikiran Islam. Banyaknya forum bebas berpendapat bagi anak dengan asas HAM justru akan menjauhkan anak dari rambu-rambu berpendapat dalam Islam, karena HAM sendiri bertentangan dengan Islam.
KLA juga menjadi sarana tercapainya kesetaraan gender. Dalam resolusi Majelis Umum no S-27/2 tentang World Fit for Children poin 23 dinyatakan : The achievement of goals for children, particularly for girls, will be advanced if women fully enjoy all human rights and fundamental freedoms… We will promote gender equality and equal access to basic social services, such as education, nutrition, health care, including sexual and reproductive health care, vaccinations, and protection from diseases representing the major causes of mortality, and will mainstream a gender perspective in all development policies and programmes.
Secara nyata tercapainya pemenuhan hak anak disandarkan kepada terwujudnya perempuan yang menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan promosi kesetaraan gender dan kesetaraan akses dengan pengarusan program dan kebijakan berperspektif gender. Dengan kata lain, kesetaraan gender menjadi prasyarat terpenuhi hak anak. Hal ini makin jelas ketika dalam Point 24 dinyatakan perlunya merubah peran laki-laki dalam masyarakat. We also recognize the need to address the changing role of men in society… ..and will make every effort to ensure that fathers have opportunities to participate in their children’s lives. Makna sesungguhnya dalam perubahan peran laki-laki dalam masyarakat adalah untuk mewujudkan kesetaraan gender, bukan sekedar memberi kesempatan ayah untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya. Namun agar ibu memiliki lebih banyak waktu sehingga dapat terlibat dalam program pemberdayaan perempuan dan memiliki kebebasan dalam masyarakat.
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa pengembangan KLA yang berlandaskan kepada KHA dan DLA bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian KLA akan membuat anak-anak sejak dini dijauhkan dari Islam dan diarahkan untuk mengadopsi nilai-nilai global.
KLA Menanamkan Liberalisasi Sejak Dini
Dengan mencermati program pengembangan KLA dengan KHA dan DLA sebagai landasan, maka jelas arah yang akan dituju dalam memenuhi hak anak khususnya dalam membentuk kerangka berpikir anak, yang dalam KHA didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan ketika konsep KHA dan DLA bertentangan dengan Islam, maka dapat dibayangkan seperti apa kerangka berpikir anak yang terwujud melalui pengembangan KLA.
Pengesahan KHA dan DLA menjadi alat untuk merubah pandangan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai global yang bertentangan dengan Islam. Langkah ini tentu saja menjadi lebih strategis karena kondisi anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Sejak dini anak-anak muslim sudah diarahkan untuk memiliki pola berpikir ala Barat, yang memberikan otoritas kepada manusia untuk membuat aturan. Dengan demikian anak-anak muslim dibiasakan untuk menghilangkan hak Allah dalam menentukan satu pemikiran, dan KLA dengan segala macam forum bentukannya menjadi sarana efektif untuk memberikan lingkungan yang bertentangan dengan Islam mengikuti arahan KHA. Maka anak-anak diarahkan kepada kebebasan dalam segala hal – yang dalam bahasa World Fit For Chidren disebut kebebasan fundamental. Jelaslah ini merupakan upaya liberalisasi anak-anak muslim. Apalagi Secara eksplisit dalam naskah akademik PNBAI 2015 dinyatakan bahwa” Penyusunan PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child), serta Millenium Development Goals (MDGs)”.
Sesungguhnya Barat sejak dulu tidak hentinya ingin menghancurkan Islam. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam apalagi penerapan Islam sebagai sistem kehidupan. Secara sistematis, Barat menggunakan pengaruhnya untuk ‘merusak pemahaman Islam’ kaum muslim. Rupanya upaya itu tidak hanya menyasar muslim dewasa, namun juga pada anak-anak melalui kewajiban ratifikasi KHA dan DLA. Dan dunia global memastikan keberhasilan upaya penerapan KHA dan DLA melalui laporan periodik setiap Negara yang harus dikirimkan dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan –kecuaali AS tentunya karena Negara ini belum meratifikasi KHA. Maka sangat jelas KLA menjadi alat untuk menancapkan hegemoninya dalam menyiapkan generasi seperti yang mereka kehendaki, yaitu generasi yang mengemban nilai-nilai global yang justru menghancurkan Islam. Dengan demikian KLA justru akan membahayakan masa depan anak-anak dan peradaban manusia, karena akan menghantarkan anak-anak menjadi manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan mengabaikan aturan Allah dalam kehidupannya. Wallahu a’lam