Kenapa semakin sekuler? Ya karena Indonesia memang sudah sekuler. Namun di era Jokowi-JK, tampak kuat keinginan untuk lebih menyekulerkan lagi Indonesia secara lebih ekstrim dan vulgar. Ini tampak dari gagasan-gagasan pejabat-pejabat Jokowi atau lingkaran dekatnya. Seperti penghapusan kolom agama, doa bukan berdasarkan agama tertentu (apalagi kalau bukan yang dimaksud adalah Islam). Menghalalkan pemakaian atribut Natal dengan alasan tradisi dan bisnis. Daftar berikutnya sepertinya akan menyusul: pelegalan nikah beda agama, pelegalan aliran sesat seperti Baha’i dan Ahmadiyah, penghapusan UU yang mengatur penodaan agama, rivisi UU Perkawinan dan lain-lain.
Memang berapa gagasan tersebut kemudian ‘dilembutkan’ atau diklarifikasi. Itupun setelah terjadi penolakan kuat dari tokoh-tokoh umat dan ormas Islam. Bayangkan kalau tidak ada penolakan itu,bukan tidak mungkin gagasan ‘gila’ tersebut akan diwujudkan. Lepas dari itu, semua gagasan itu memang dipengaruhi paradigma sekuler dengan nilai-nilai pentingnya seperti demokrasi, pluralisme, dan liberalisme.
Di bidang ekonomi lebih jelas lagi. Apa yang merupakan poin penting dari Konsensus Washington benar-benar telah diwujudkan, bahkan hampir menuju liberalisme ‘kaffah’ (totalitas). Seperti penghapusan subsidi, perdagangan bebas, privatisasi BUMN, liberalisasi sektor keuangandan deregulasi kebijakan yang dianggap menghambat liberalisme.
Bahayanyapun sudah ‘dinikmati’ dan akan semakin besar lagi. Beberapa diantaranya, pertama, exploitation risk. Sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, Indonesia menjadi obyek eksploitasi perusahaan swasta, baik lokal maupun asing. Indonesia cenderung menjadi pemasok bahan mentah dan energi murah bagi industrialisasi negara-negara maju. Pasar Indonesia juga menjadi target besar mengingat penduduk Indonesia mencapai 250 juta.
Kedua, employment risk. Indonesia sebagai negara yang memiliki SDM yang rendah akan cendrung menjadi buruh di negara sendiri sementara profesional asing membanjiri Indonesia.Ketiga, competition risk, Indonesia akan dibanjiri dengan barang impor dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Hal ini akan membuat industri lokal kalah bersaing sehingga meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia sendiri.
Keempat, social risk, bahaya sosial berupa kesenjangan dan kemiskinan. Dan ini sangat berbahaya bagi ledakan sosial yang tidak bisa dicegah oleh siapapun. Yusuf Kalla sendiri sudah mengingatkan hal ini, dengan mengatakan rasio gini –perbandingan pendapatan golongan atas dan bawah – di Indonesia sudah mencapai 0,43. Mendekati rasio gini saat terjadi Arab Spring di Timur Tengah sekitar 0,45. Kenaikan BBM ini akan mematangkan ‘ledakan’ sosial ini.
Bahaya kelima dari liberalisasi ini adalah corruption risk. Liberalisasi ekonomi terutama, membuka pintu korupsi semakin lebar, hasil persekongkolan pemilik modal dan elite politik, baik eksekutif maupun legislatif, di tingkat daerah hingga pusat. Tidak mengherankan kalau Indonesia panen koruptor dari segala aspek, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Potensi kerugian negara sangat besar. Beberapa LSM Anti Korupsi menyatakan potensi kerugian SDA di 6 provinsi Rp 201,82 trilyun. Dan ini merupakan hasil dari liberalisasi yang sudah berjalan lama sejak rezim-rezim sebelumnya. Diantaranya penjualan murah gas Tangguh (era Megawati) dengan potensi kerugian Rp 750 trilyun, BLBI (era Megawati) yang menurut BPK potensi kerugiannya Rp 134,8 trilyun. Penjualan murah BCA (era Megawati) potensi kerugiannya Rp 259 trilyun. Di era SBY, Lapindo merugikan negara Rp 7,2 trilyun dan kasus Century sekitar Rp 6,7 trilyun.
Yang paling berbahaya adalah yang keenam, political risk. Liberalisasi membuat Indonesia benar-benar terjajah dan didominasi asing. Ketergantungan kepada asing sangat tinggi. Bukti-bukti tentang ini sangat banyak di depan mata dari setiap rezim liberal.
Yang mengerikan semua bahaya ini dilegalisasi undang-undang produk sistem demokrasi. Seperti UU Migas, UU Perbankan, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan lain-lain. UU ini sarat dengan intervensi asing dan untuk kepentingan asing. Kenaikan BBM yang merupakan implementasi dari liberaliasi migas dari hulu hingga hilir dilegalkan UU Migas no 22 tahun 2001. UU ini membolehkan pemain asing masuk dengan menggunakan istilah badan usaha swasta. Berbagai peraturan diarahkan ke liberalisasi total dengan istilah harga perekonomian atau rasionalisasi harga mengikuti harga internasional.
Dari UU no 25/2007 tentang Penanaman Modal sangat jelas merupakan hasil kolusi dengan kepentingan asing. Dalam Bab V tentang perlakuan terhadap penanaman modal jelas-jelas disebutkan negara akan memberikan perlakuan yang sama. Lebih liberal dari negara liberal sekalipun karena tidak disertai escape clause sebagai langkah pengamanan kepentingan dalam negeri. UU ini pun mempersulit nasionalisasi. Kalaupun dilakukan, pemerintah memberikan kompensasi dengan harga pasar. Kalau tidak tercapai penyelesaian dilakukan melalui arbitrase. Bukankah ini jelas untuk kepentingan asing?
Walhasil semua kejahatan liberalisasi ini justru dilegalkan oleh negara! Muncullah korupsi yang paling berbahaya yang dilakukan justru oleh negara, yang dalam istilah Amin Rais disebut State Capture Corruption. Korupsi yang justru dilakukan oleh negara dengan legal lewat koalisi kotor dengan pemilik modal.
Disinilah seruan Hizbut Tahrir untuk menegakkan Khilafah dan menerapkan syariah Islam menjadi sangat penting sebagai solusi. Hanya dengan menerapkan syariah Islam, berbagai bentuk penjajahan yang merugikan ini bisa dihentikan. Allahu Akbar. (Farid Wadjdi)