Rezim Neolib Menambah Daftar Panjang Derita Ibu dan Anak
HTI Press. Jakarta, 21 Desember 2014. Gema Allahu Akbar masih menggema di Tennis Indor Senayan, tempat penyelenggaraan Kongres Ibu Nusantara ke 2, Minggu (21/12/14). Peserta masih menyimak orasi demi orasi para pembicara. Seperti orasi Anggota Dewan Pimpinan Pusat Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Retno Sukmaningrum yang mengambil tema “Indonesia Dalam Cengkeraman Neoliberalisme dan Neoimperialisme”
Retno menuturkan, kebijakan negara dalam cengkeraman neoliberalisme saat ini yang paling menonjol adalah anggaran ketat. Kebijakan ini berupa pengurangan subsidi untuk rakyat. Ketika subsidi dikurangi, harga-harga naik. “Seperti kenaikan BBM kemarin, akibatnya rakyat kesulitan hidup,” tegasnya.
Kebijakan selanjutnya, membuka keran asing masuk menguasai hajat hidup rakyat banyak. Perusahaan-perusahaan asing bisa berinvestasi ke setiap lini kehidupan masyarakat. Terlebih dengan dibukanya pasar bebas ASEAN (MEA) yang akan segera diterapkan. “Kemarin baru saja dinyatakan oleh Menteri BUMN, bahwa direktur BUMN bisa dipimpin orang asing,” ujarnya. Liberalisasi perdagangan ini melanjutkan kebijakan rezim terdahulu.
Sumber daya alam dihabiskan, sumber daya manusia tertutup untuk anak negeri ini. “Yang tersisa adalah kemiskinan,” tegasnya. Ketika miskin, para perempuan dipaksa untuk menanggung beban mencari nafkah. Jadilah anak-anakpun kurang kasing sayang, liar dan berguru pada lingkungan. “Keluarga seperti ini rawan mengalami perceraian. Berdasar data, hingga November 2014 jika dirata-rata ada 1 perceraian per menit,” ujar Retno.
Inilah kondisi Indonesia yang sudah dicengkeram neoliberalisme yang menjajah dengan politik dan ekonominya. “Kita tidak layak hidup dalam cengkeraman kaum kufar ini. Pilihan kita hanya dua, diam adalah sebuah kehinaan, dan melawan adalah kemuliaan. Karena itu kami mengajak ibu untuk melawan keadaan ini,” tegasnya.
Orasi selanjutnya disampaikan Anggota Dewan Pimpinan Pusat Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Hj. Nida Sa’adah,SE. Ak dengan tema “Neoliberalisme Mematikan Fungsi Negara.” Nida mengatakan, semestinya negara berfungsi melindungi dan mengurusi rakyatnya. Negara telah mati, karena tidak berfungsi sebagaimana mestinya. “Dalam Negara neolib demokrasi, negara hanya berperan sebagai regulator dan tidak melayani rakyat,” ujarnya.
Rezim neoliberal melempar tanggungjawab pengurusan rakyat pada pihak swasta, “Negara kehilangan kekuasaan untuk mengatur rakyatnya sendiri. Negara tergantung pada arahan asing seperti PBB, IMF dan Bank Dunia,” urainya.
Akibatnya, negara tidak mampu melindungi dan melayani rakyatnya. Negara kehilangan fungsinya. “Lalu terus muncul kezaliman di masyarakat. Penistaan kemanusiaan terus terjadi. Berbagai kebutuhan hidup semakin mahal dan kualitas hidup merosot tajam,” bebernya.
Dalam kesehatan seharusnya negara yang memfasilitasi, tapi malah rakyat yang disuruh membayar premi. “Juga dalam pendidikan, biaya pendidikan mahal,” ujarnya. Akibatnya kualitas generasi terancam. Seharusnya Negara bisa makmur, tapi kebijakan pangan mengakibatkan harga pangan mahal. Akibatnya banyak yang gizi buruk.
Sumber air berlimpah tapi kekeringan di mana-mana. Pada saat yang sama perusahaan air menyedot air milik rakyat. Migas harus dibeli rakyat dengan harga mencekik. Demikian pula transportasi. Liberalisasi infra struktur membuat sarana transportasi menjadi mahal. Angka kematian di jalan menjadi pembunuh nomor 3 terbanyak.
Persoalan rumah juga demikian. Seharusnya rakyat tinggal di rumah yang sehat dan syar’i. Tapi liberalisasi membuat harga rumah mahal sehingga jutaan KK tinggal di rumah tak layak huni. Rezim neolib menambah daftar panjang derita ibu dan anak melalui gerakan pemberdayaan perempuan. Konsep pemberdayaan ini menipu karena sesungguhnya menghancurkan peran ibu. Ibu dipaksa menjadi mesin pencetak uang dan menjadi sasaran pasar. Perilaku konsumtif tidak terbentuk. Fitrah ibu tercabut karena para ibu telah diperas habis tenaganya. Untuk itu Nida mengingatkan, saatnya ibu menuntut haknya menuju sistem Islam dalam naungan Khilafah.(*)