Soal Jawab: Makna Manthiqul Ihsas dan Ihsasul Fikriy

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fikriyun”

Jawaban Pertanyaan: Makna Manthiqul Ihsas dan Ihsasul Fikriy

Kepada Dhuha Ghufron

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Yang terhormat al-‘alim syaikhuna al-amir Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah: saya punya pertanyaan problematik di dalam buku at-Takattul al-Hizbiy. Disitu dinyatakan kata “mukhlishan” dalam kalimat: “sampai seandainya ia ingin untuk tidak menjadi mukhlis, ia tidak kuasa atas yang demikian”. Lalu apa artinya? Demikian juga saya mohon penjelasan makna “manthiq al-ihsâs” dan “ihsâs al-fikriy”.

Terima kasih banyak dan semoga Allah membalas Anda yang lebih baik dengan al-Khilafah pada masa Anda dan Anda menjadi imam kami, amin.

Muhammad Dhuha dari Indonesia. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

 

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullâh wa barakatuhu.

Tampaknya Anda maksudkan dengan pertanyaan Anda adalah teks berikut dari buku at-Takattul al-Hizbiy halaman 25-26:

(Dan yang demikian itu bahwa penginderaan yang mengantarkan kepada pemikiran di dalam Hizb, pemikiran ini di tengah umat bersinar diantara berbagai pemikiran dan menjadi salah satu dari pemikiran-pemikiran di tengah umat itu. Pada awalnya paling lemah sebab paling akhir kelahirannya dan paling baru keberadaannya. Pemikiran ini belum mengkristal sama sekali. Belum ada suasana untuknya. Akan tetapi, dikarenakan pemikiran itu hasil manthiq al-ihsâs, yakni pemahaman hasil dari kesadaran yang bersifat penginderaan (al-idrâk al-hissiy), maka ia mewujudkan penginderaan bersifat pemikiran (ihsas al-fikriy) yakni mewujudkan penginderaan yang jelas hasil pemikiran yang mendalam. Maka –tentu saja- ia menyinari orang yang bertabiat dengannya dan menjadikannya seorang yang mukhlis, sampai seandainya ia ingin untuk tidak menjadi seorang yang mukhlis, ia tidak kuasa atas yang demikian) selesai.

Dan pertanyaan Anda pun tentang makna manthiqul ihsas dan ihsasul fikriy serta kenapa pemikiran ini menjadikan pengembannya seorang yang mukhlis.

Bagian besar dari pertanyaan Anda itu ada jawabannya di buku Mafâhîm Hizbut Tahrir. Di dalamnya dijelaskan makna manthiq al-ihsâs dan makna ihsâs al-fikriy. Di buku Mafâhîm halaman 58-59 dinyatakan sebagai berikut:

(Tidak boleh sama sekali memisahkan perbuatan dari pemikiran atau dari tujuan tertentu atau dari iman. Sungguh di dalam pemisahan ini –betapapun kecil- ada bahaya terhadap perbuatan itu sendiri, terhadap hasil-hasilnya, dan kelangsungannya. Karena itu, tujuan tertentu itu harus menjadi pemahaman yang jelas bagi setiap orang yang berusaha berbuat hingga ia memulainya.

Dan merupakan keniscayaan manthiq al-ihsâs merupakan asas. Yakni hendaknya pemahaman dan pemikiran itu keduanya merupakan hasil dari penginderaan bukan dari semata asumsi-asumsi untuk masalah-masalah khayali. Dan hendaknya penginderaan terhadap fakta itu berpengaruh di dalam otak, bersama informasi awal ia mewujudkan gerakan otak yang berupa pemikiran. Inilah yang merealisasi kedalaman dalam berpikir dan merealisasi hasil dalam perbuatan. Manthiq al-ihsâs mengantarkan kepada ihsâs al-fikriy yakni kepada penginderaan yang dikuatkan oleh pemikiran yang ada pada diri manusia. Karena itu, penginderaan para pengemban dakwah misalnya, setelah pemahamannya adalah lebih kuat dari penginderaan mereka sebelum itu) selesai.

Sesungguhnya manthiq al-ihsâs itu berarti seseorang mengambil pemikiran setelah penginderaannya secara langsung terhadap fakta dan menelaahnya, bukan melalui jalan talaqqiy (menerima) dan talqin (pengajaran/instruksi) yang tidak dipastikan kebenarannya. Dan tentu saja itu bukan dari jalan asumsi-asumsi untuk masalah-masalah khayali. Jadi manthiq al-ihsâs berarti pemikiran yang bersandar pada penginderaan secara langsung. Manthiq al-ihsâs lebih kuat dan lebih kokoh dari yang lain sebab berhubungan dengan penginderaan secara langsung. Kesadaran seseorang tentang sejauh mana kemerosotan dan keterbelakangan yang menimpa Afrika, yang dia peroleh melalui informasi yang ia terima, kesadarannya itu berbeda jauh dari kesadarannya terhadap kemerosotan ini, pada saat ia melakukan kunjungan ke Afrika dan menelaah langsung fakta di sana. Melalui penelaahan itu, ia sampai kepada kesimpulan terhadap Afrika yang ada dalam kondisi terbelakang dan mundur.

Adapun ihsâs al-fikriy (penginderaan intelektual) maka itu kebalikan ihsâs ash-sharf (penginderaan murni), yaitu ia mengindera fakta tanpa memiliki pemikiran yang berkaitan dengan fakta ini. Jika pada dirinya ada pemikiran dan ia mengindera fakta tersebut setelah pemikiran itu sampai kepadanya, maka penginderaannya dan pemahamannya terhadap fakta tersebut tanpa diragukan lagi adalah lebih kuat dan lebih kokoh dari penginderaannya yang murni yakni penginderaannya sebelum adanya pemikiran tersebut. Jadi sampainya penginderaan setelah adanya pemikiran berkaitan dengannya disebut ihsâs al-fikriy. Misalnya, persepsi seseorang terhadap fakta Afrika setelah pengetahuannya tentang makna kemerosotan dan pemahamannya tentang perbedaan antara kemerosotan dan kebangkitan, adalah lebih kuat dari persepsinya terhadap fakta Afrika sebelum ia mengetahui secara intelektual (pemikiran) atas makna kemerosotan dan kebangkitan. Penginderaannya tentang betapa mengerikannya eksploitasi Barat kafir terhadap Afrika dan perampokan Barat terhadap kekayaan Afrika menjadi lebih kuat setelah ia mengetahui secara pemikiran mengenai politik negara-negara Barat terhadap Afrika, penginderaannya itu lebih kuat dari penginderaannya tentang eksploitasi tersebut sebelum adanya pengetahuan ini. Karena itu, syabab Hizbut Tahrir di Afrika mengindera merosotnya masyarakat di sana dan betapa mengerikannya eksploitasi negeri mereka. Penginderaan mereka jauh lebih banyak dari orang lain karena pemahaman mereka terhadap makna kemerosotan dan penelaahan mereka terhadap politik negara-negara imperialis terhadap negeri mereka dan pengetahuan mereka terhadap kerakusan negara-negara ini. Sedangkan orang lain, maka penginderaan mereka terhadap hal itu adalah lebih lemah, bahkan sebagian dari mereka tidak memperhatikannya.

Pemikiran transformatif yang dicapai oleh partai ideologis terjadi melalui manthiq al-ihsâs yang mengantarkan kepada hasil-hasil yang benar dan jujur. Darinya lahir ihsâs al-fikriy yang menjadikan pengembannya memandang fakta dan menginderanya secara benar dan jujur. Karena itu, pemikiran ini tanpa diragukan lagi mewujudkan pemahaman-pemahaman yang benar pada pemiliknya. Dia tidak berhenti pada batas informasi-informasi teoritik. Jadi pengemban pemikiran ini memahami hakikat-hakikat perkara. Maka ia tidak mampu kecuali menjadi orang yang mukhlis dan jujur seperti pemikiran yang ia emban. Ia tidak mampu menipu dirinya sendiri dan membisikinya bahwa faktanya berbeda dengan apa yang ia lihat. Akan tetapi ia memandang fakta menurut hakikatnya. Ia mengetahui solusi menurut hakikatnya. Sehingga ia tidak kuasa kecuali menjadi seorang yang mukhlis, selama ia adalah pengemban pemikiran ini.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

15 Shafar 1436 H

07 Desember 2014 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_41993

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*