Selasa (16/12), publik Inggris (terutama warga Pakistan di Inggris) dikejutkan oleh peristiwa horor yang terjadi di Peshawar, Pakistan. Di antara serangan paling berdarah dan mengejutkan yang dilakukan oleh Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP) dalam beberapa tahun ini, sekelompok orang memasuki Army Public School di ibukota provinsi Khyber Phaktun Khuwa (KPK) dan melepaskan tembakan secara membabi buta.
Tembak menembak terjadi beberapa saat setelah Komando Militer tiba di sana. Akibatnya, anak-anak sekolah berlarian ketakutan untuk menyelamatkan hidup mereka. Adegan ini pun disiarkan langsung oleh saluran televisi Pakistan. Pengepungan itu berakhir beberapa jam kemudian dengan jumlah korban tewas 141 orang, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak sekolah yang tidak bersalah.
Tidak ada kata-kata yang dapat membenarkan hal ini dan kebencian terhadap tragedi ini layak dinyatakan dengan tegas. Tidak ada pula wacana kontekstual yang dapat melegitimasi tindakan ini dan mereka yang bertanggung jawab harus diseret ke pengadilan.
Sayangnya, peristiwa tersebut dibutuhkan untuk memfokuskan perhatian media dunia dan masyarakat atas realitas kehidupan sehari-hari penduduk Pakistan Utara. Nasib para pengungsi Pakistan—mengingat akronim IDP (Internally Displaced Persons atau Pengungsi Dalam Negeri) yang dipakai oleh media Pakistan—tidak pernah diberitakan oleh media dunia dan para ahli karena sikap kemarahan moral yang pilih kasih. Angkatan Bersenjata Pakistan memulai operasi pembersihan besar-besaran yang dinamakan Zarb-e-Azb—ironisnya adalah nama pedang Nabi Muhammad SAW—dengan menyerang Wilayah Utara untuk melenyapkan orang-orang yang diduga teroris TTP. Operasi ini telah mengakibatkan mengungsinya ratusan ribu orang, perusakan tanah dan rumah mereka, dan pembunuhan ratusan orang, yang mengejutkan tidak satupun dari mereka dilaporkan sebagai warga sipil yang tidak bersalah. Setiap orang waras akan bisa melihat keburukan yang dialami penduduk setempat.
Sayangnya, hal ini merupakan realitas yang dapat dihindari. Pemerintah Pakistan, yang dipimpin oleh tentara, adalah penyebab utama rantai peristiwa yang mengarah kepada pembantaian ini. Mereka melakukan operasi atas perintah dan tekanan yang berulang dari AS, yang terjebak dalam lumpur di Afghanistan. Amerika telah menandai tahun 2014 sebagai tahun penarikan militer mereka dari Afghanistan, setelah gagal mengalahkan gerakan perlawanan Taliban di sana. Mereka telah menghadapi meningkatnya serangan dan tekanan dari kekuatan-kekuatan itu, yang dianggap telah dikalahkan pada tahun 2002 dengan “deklarasi kemenangan” oleh George Bush. Seperti AS dan para sekutunya yang telah ketahui, ada kenyataan pahit mengapa wilayah ini disebut “Kuburan bagi para Imperium (Graveyard of Empires)”. Penyerang demi penyerang, penakluk demi penakluk, dan tentara demi tentara telah mencoba memadamkan semangat gigih rakyat Pakhtun, namun gagal. Selama dua abad terakhir ini saja, Kerajaan Inggris, Uni Soviet, dan sekarang AS gagal melakukan upaya ini. Dalam konteks ini, AS memerintahkan tentara Pakistan untuk melakukan beberapa tekanan yang mereka hadapi, dengan menyerang wilayah itu dan rute pasokan serta fasilitas pelatihan Timur Taliban dari perbatasan Pakistan-Afghanistan. Operasi ini adalah bentuk pelaksanaan proposal Amerika, dengan menyewa tentara Pakistan untuk bisa menyerang tepat pada waktunya sehingga dapat mengatur opini publik dalam mendukung langkah itu.
Akan tetapi, dampak yang ada sangat dirasakan rakyat Pakistan, terutama wanita dan anak-anak yang dipandang sebagai target balasan sah oleh tentara Pakistan. Apakah pemerintah Pakistan tidak menyadari sejarah wilayah ini dan rakyat Pakhtun? Mengapa mereka menempatkan penduduk lokal dalam melakukan tawar-menawar berbahaya dengan pasukan NATO? Yang mengherankan, mengapa tidak ada yang siap untuk membahas kenyataan ini? Konteksnya dapat ditarik kembali kepada pengkhianatan Musharraf yang memungkinkan Amerika mendapatkan akses tidak terbatas ke tanah Pakistan, pangkalan militer, infrastruktur, dan individu, termasuk orang-orang seperti Dr. Afia Siddiqui. Ini seperti menabur benih yang telah tumbuh menjadi sebuah pohon yang besar dengan buah yang pahit yang kita sekarang dipaksa untuk merasakannya.
TTP tidak ada sebelum Pakistan bergabung dengan Perang Melawan Teror. Tidak ada bom bunuh diri, penembakan di sekolah, masjid, dan serangan terhadap para imam atau penargetan terhadap infrastruktur militer yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini. Lalu mengapa kita tidak menyalahkan para penjahat ini karena memicu Pakistan masuk ke dalam api ini, bukan hanya secara sempit berfokus kepada para pembunuh ceroboh yang melakukan tindakan keji?
Tahun lalu, dalam beberapa minggu, drone-drone Amerika menyerang dua Madrasah, yang menewaskan 70 hingga 80 anak-anak dalam dua serangan. Diduga target serangannya adalah Ayman Al-Zwahiri, kepala Al-Qaeda. Tidak mengherankan, dia bukan salah satu dari korban itu. Di mana media Barat dengan kemarahan yang serempak atas kekejaman ini? Mengapa pembunuhan orang-orang tidak berdosa ini tidak mendapat tanggapan keras dari tentara Pakistan atau pernyataan dari pemerintah? Apakah mereka adalah makhluk yang lebih rendah dari manusia, tidak merasa bersalah bahkan kepada anak-anak? Adalah suatu kebodohan untuk percaya bahwa media Barat peduli tentang kematian anak-anak Muslim, hingga yang benar pun adalah sikap politis.
Anak-anak Palestina dibunuh, dipukuli, dipenjara, namun dibantah memilik martabat sebagai manusia. Akan tetapi, Barat dan juga medianya mendukung pendudukan sang pembunuh, Israel, atas pernyataan “hak untuk membela diri”. Media barat juga mendukung para biksu Buddha yang telah melakukan kekejaman yang jauh lebih besar dan kematian terhadap umat Islam Rohingya yang tidak bersalah di Burma selama beberapa bulan. Ketika banyak anak-anak Muslim yang menjadi syahid dan terdapat jutaan pengungsi di Suriah, media Barat lebih fokus pada ISIS.
Tentara Pakistan terus menjadi “sekutu kuat” dari Amerika meskipun bukti tersebar luas atas keterlibatan CIA, Blackwater, dan lain-lain dalam operasi dengan panji-panji kebohongan, kematian, kehancuran dan pendanaan yang licik di seluruh Pakistan selama beberapa tahun.
Ada banyak sudut pandang untuk wacana ini. Luka terbuka yang ditimbulkan oleh para penjahat keji di APS dapat memberikan saat yang tepat untuk melakukan introspeksi dan analisa. Haruskah Pakistan terus menanggung beban perang yang dimulai, suatu malapetaka yang dieksekusi oleh imperium Amerika Serikat, ketika mereka relatif aman karena letaknya yang ribuan mil jauhnya? Mengapa rakyat Pakistan merasa diteror dan takut di jalan-jalan hanya untuk memastikan bahwa pasukan pendudukan NATO dapat tidur dengan tenang di Afghanistan? Haruskah pemerintah Pakistan memulai operasi pembalasan untuk menargetkan orang-orang yang tidak puas yang melakukan serangan ini? Padahal operasi terakhir menjadi penyebab langsung dari kekejaman yang terjadi?
Para penyerang itu menyatakan bahwa mereka menargetkan sekolah itu karena sekolah tersebut dijalankan oleh dan untuk militer Pakistan, sebagai pembalasan atas “kegiatan kriminal” mereka di Pakistan Utara. Namun, hari ini tentara Pakistan telah melancarkan serangan udara yang baru di daerah yang sama, yang menewaskan 57 “teroris”. Hebatnya, mereka begitu tepat melakukan pembunuhan yang ditargetkan, bahkan dari udara, bahwa tidak satupun dari para korban yang telah dilaporkan sebagai warga sipil yang tidak bersalah oleh media Pakistan. Tidak ada media Barat, pemerintah, atau komentator jaringan sosial yang akan meratapi hilangnya nyawa dan pertumpahan darah. Adalah tidak masuk akal untuk menolak mengambil pelajaran dari sejarah. Amerika akan meninggalkan wilayah itu. Pakistan akan harus berurusan dengan akibatnya. Berhentilah menyerang orang-orang yang tidak akan lupa atau memaafkan kejadian ini selama beberapa generasi. Mengutip pernyataan Albert Einstein berkenaan dengan tindakan yang menyesatkan seperti itu, “Kegilaan: melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda”. Hentikan pertumpahan darah atau kita akan, dan saya harap saya salah, bisa mengutuk kekejaman lain dan melupakan pemerintahan Pakistan sebagai arsitek dari respon tersebut.
(rz)