Selain kasus korupsi, kejahatan lain yang patut mendapat perhatian adalah tindak kekerasan dan kejahatan seksual pada anak dan perempuan. Sepanjang tahun 2014, kejahatan ini bukannya surut, malah mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Semakin banyaknya perempuan dan anak-anak yang menjadi korban membuat klaim demokrasi sebagai sistem yang mengusung prinsip egaliter patut diragukan. Di mana-mana demokrasi gagal memberikan jaminan kesetaraan dan perlindungan kepada kelompok masyarakat lemah, termasuk kaum wanita dan anak-anak, termasuk di AS yang disebut kampiun demokrsi. Lebih dari 22 juta wanita di AS pernah mengalami tindak pemerkosaan dalam hidup mereka (National Intimate Partner and Sexual Violence Survey 2010). Berdasarkan perhitungan dari National Crime Victimization Survey pada tahun 2012, setiap 90 detik terjadi satu kekerasan seksual di AS (Bureau of Justice Statistics, U.S. Department of Justice). Ancaman terhadap kaum perempuan bukan saja terjadi di AS, tetapi bisa ditemukan di negara-negara yang mengusung ideologi demokrasi-kapitalisme. Padahal salah satu prinsip yang menjadi jargon demokrasi adalah kesamaan hak, atau egaliter.
Di Tanah Air kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan menjadi persoalan yang belum kunjung tuntas. Alih-alih tuntas, justru kuantitas dan kualitas kekerasan ini mengalami peningkatan. Ini tercermin dari fakta-fakta terbaru yang disampaikan Komnas Perempuan Indonesia pada tanggal 24 November 2014 mengenai jumlah kekerasan terhadap kaum perempuan di Indonesia.
Sepanjang 2013, tercatat 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan, 16.403 kasus ditangani oleh 195 lembaga layanan dan 263.285 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama (data BADILAG). Angka ini mengalami peningkatan sebanyak 4.336 kasus dari tahun 2012. Bila dihitung, dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 2.995 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal, yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan darah atau kekerabatan (ayah, kakak, adik, paman, kakek), perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.
Dari total 7.548 kasus kekerasan di ranah publik, 2634-nya adalah kasus kekerasan seksual; dua jenis kasus terbanyak adalah 1.074 kasus perkosaan dan 789 kasus pencabulan. Kekerasan seksual di ranah komunitas pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
Setali tiga uang dengan kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak juga mengalami peningkatan. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dalam acara menyambut 25 tahun konvensi hak anak dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebut Indonesia gawat darurat. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA, mengatakan meski Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak anak dari PBB selama 24 tahun, kekerasan anak meningkat. Dari tahun 2014, laporan soal kekerasan anak yang masuk dari Januari-September mencapai 2.726 kasus.
Berdasarkan data dari Komnas PA tercatat tahun 2012 sebanyak 52 persen, tahun 2013, 62 persen dan kemudian pada September 2014 itu 58 persen. Hal ini merupakan peningkatan karena baru masuk bulan September saja sudah mencapai angka demikian.
Kejahatan seksual adalah yang paling dominan menimpa anak. Kasus pedofilia di Sukabumi dengan pelaku Emon dengan jumlah korban mencapai puluhan, lalu terakhir di TK Jakarta International School (JIS) yang sampai sekarang penyidikannya masih berlangsung. KPAI menjelaskan lebih dari 50 persen kejahatan terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual. Kejahatan itu terjadi di 34 provinsi, 179 kabupaten. Data yang lebih spesifik tergambar dalam empat tahun terakhir. Tahun 2010, Komnas PA mencatat ada 2046 laporan kasus kekerasan anak yang masuk. Sebanyak 42 persen di antaranya adalah kasus kejahatan seksual atau sekitar 859 kasus.
Tahun 2011, ada 2426 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ke Komnas PA. Sebanyak 58 persen di antaranya adalah kasus kejahatan seksual atau 1047 kasus. Tahun 2012, ada 2637 kasus kekerasan anak yang masuk ke Komnas PA. Sebanyak 62 persennya adalah kasus kejahatan seksual atau sekitar 1637 kasus. Tahun 2013, Komnas PA mencatat ada 3339 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan, 52 persen di antaranya adalah kejahatan seksual; atau sekitar 2070 kasus. Tahun 2014, dari bulan Januari sampai September, ada 2626 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan. Sekitar 237 kasusnya pelakunya anak di bawah umur.
Indonesia juga disinyalir telah menjadi tempat tujuan wisata kaum pedofil mancanegara. Diduga kuat ada semacam event organizer yang mengelola wisata seks bagi kaum pedofil ini. Bali dan Lombok banyak menjadi tujuan wisata kaum pedofil.
Tak bisa dipungkiri bahwa maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah dampak dari liberalisme nilai-nilai sosial. Pornografi yang semakin deras ke tengah masyarakat telah mendorong bagi banyak orang melakukan kejahatan seksual. Kaum perempuan sekarang tidak lagi merasakan keamanan, bahkan di tempat umum dan keramaian sekalipun. Beberapa kali pelecehan seksual terjadi di tengah keramaian seperti angkutan umum, pasar. Anak-anak juga semakin tak terlindungi, bahkan dari perbuatan kawan sebayanya sendiri! Beberapa kasus tindak pemerkosaan justru dilakukan oleh teman sepermainan dan masih duduk di bangku SD.
Salah satu faktor timbulnya kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah maraknya situs-situs porno di internet. Pemerintah sendiri sudah berusaha memblokir situs-situs porno. Menurut pengakuan Tifatul Sembiring, Menkominfo di era SBY, kementeriannya sudah memblokir 1 juta situs porno. Usaha ini patut diapresiasi karena belum pernah dilakukan kementerian sebelumnya. Namun, Tifatul mengakui jumlah situs porno di dunia maya terlalu banyak. Ada 3 miliar, prakiraannya. Situs porno pun seperti tak kenal mati. Diblokir satu, tumbuh seribu. Situs-situs itu hanya berganti nama atau bermunculan lagi yang baru.
Sulitnya memberangus pornografi juga tak lepas dari pembelaan kaum liberalis terhadap konten pornografi. Dengan dalih kebebasan berekspresi, kebebasan perilaku dan kebebasan seni dan budaya, pornografi terus diproduksi. Film-film yang membawa konten pornografi terus dibuat dan ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia. Sikap publik terhadap pornografi dan pelakunya juga semakin permisif. Sejumlah selebritis yang terlibat skandal video porno tetap disambut oleh publik. Media massa khususnya televisi juga seperti tak mengacuhkan lagi cacat moral yang dilakukan oleh mereka. Padahal sejumlah kasus video mesum dan pelecehan seksual di kalangan remaja terjadi setelah mereka menonton video skandal tersebut.
Sanksi bagi pelaku kejahatan tersebut juga menjadi persoalan. Pada tahun 2012, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di era SBY, Linda Gumelar mengeluhkan hukuman bagi pelaku pemerkosa anak terlalu ringan. Ini yang diduga turut memicu maraknya kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan.
Melihat tren penanganan kasus kejahatan ini, tampaknya masih sulit bagi kaum wanita dan anak-anak mendapatkan rasa aman. Demokrasi dan sistem hukumnya tidak menunjukkan keberpihakan kepada kelompok masyarakat lemah seperti perempuan dan anak-anak. Meningkatnya jumlah kejahatan ini adalah bukti meyakinkan kegagalan demokrasi dan liberalisme memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Selain itu liberalisme telah menciptakan masyarakat bak hidup di dunia binatang. Siapa yang kuat akan menindas yang lemah. Bahkan lebih buruk lagi dari dunia hewan karena kerap pelaku kejahatan seksual adalah orang terdekat, kerabat bahkan orangtua sendiri kepada anak-anaknya. WalLahu a’lam. []