Refleksi Pendidikan 2014 : Pendidikan Nasional Makin Liberal

Selama tahun 2014, pendidikan nasional masih sarat dengan isu yang memprihatinkan. Di antaranya adalah: masalah penerapan kurikulum 2013 yang tergesa-gesa dan terakhir ditunda karena dinilai tidak matang; konten materi K-13 yang terlihat liberal, terbukti dengan adanya materi pacaran sehat dalam Penjaskes; munculnya tindakan amoral di lingkungan sekolah; masih adanya kekerasan di lingkungan kampus/sekolah; akses pendidikan yang belum merata; kualitas guru serta jumlahnya yang belum mumpuni; dll.

Penerapan Kurikulum 2013 menuai pro-kontra. Apalagi pelaksanaannya penuh carut-marut (buku pelajaran ybelum menyebar, kompetensi guru tidak memadai, proses penilaian menyulitkan, dan sebagainya). Pemerintah, melalui Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan Anies Baswedan, lalu memutuskan penerapan Kurikulum 2013 dilakukan secara bertahap. Dikutip dari Detiknews.com, Anis menyatakan, “Kita tetap jalankan Kurikulum 2013, tapi bertahap sampai dengan 2020 di semua sekolah. Saya tidak batalkan, kita terapkan secara bertahap.”

Kurikulum di Indonesia berulang mengalami perubahan. Tak kurang dari sembilan kali berganti. Hal menarik dan terjadi untuk pertama kalinya, di era pemerintahan Jokowiadalah, Indonesia menggunakan dua kurikulum secara bersamaan, yaitu Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Adanya dua kurikulum ini menunjukkan ketidakseriusan negara dalam mempersiapkan konsep pendidikan anak bangsanya. Banyak komentar negatif terkait hal ini. Belum lagi KTSP 2006 terlihat hasilnya, sudah berganti yang baru. Bahkan ada daerah yang belum sempat menerapkan KTSP 2006 sama sekali.

Meski berganti berulang, semua kurikulum yang pernah diterapkan hakikatnya sama saja; sama-sama sekular dan liberal. Hanya saja pada kurikulum 2013 aspek scientific approach (pendekatan ilmiah) lebih menonjol daripada kurikulum-kurikulum sekular sebelumnya, seperti CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006. Semakin menonjolnya aspek pendekatan saintifik pada Kurikulum 2013, kian mengentalkan ruh sekularisme-liberalisme dalam kurikulum dasar menengah. Akibatnya, kurikulum pendidikan rentan ditumpangi—bahkan ada ruang yang persiapkan—materi pelajaran dan tujuan pendidikan yang akan memuluskan agenda neoliberal di negeri ini. Contoh: gagasan sinkretisme, materi kesehatan reprodukusi liberal, out put pendidikan yang siap dieksploitasi untuk kepentingan neo-liberal neo-imperialis.

Pengembangan kurikulum ini juga kental dengan penyesuaian dengan selera pasar. Sebagai contoh, Indonesia akan segera menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), namun yang disiapkan Pemerintah lebih pada persiapan peserta didik sebagai pelaku teknis dalam menghadapi tantangan tersebut. Diprediksi, sekolah vokasi akan diperbanyak ke depan. Jika hal tersebut terjadi, kita hanya akan menyediakan para pekerja yang bergerak di bidang teknikal, tidak pada bidang konsep atau pengambil kebijakan.

Latar belakang adanya K-13 ini akibat rendahnya hasil PISA dan TIMSS (suatu program penilaian pelajar internasional). Indonesia mencoba mengikuti pola pendidikan negara yang memiliki peringkat tinggi sesuai standar program tersebut. Namun, negara-negara yang memiliki peringkat tinggi kering dari segi spiritualnya. Contoh di Korea, sebanyak 139 peserta didik Korea Selatan bunuh diri sepanjang tahun 2012 (tekanan ujian menyebabkan peserta didik bunuh diri di Korsel, www.bbc.co.uk, 20/8/2013). Contoh lain di Jepang. Di sana terdapat kerendahaan karakter dan kepribadian generasi (bunuh diri tinggi, gang motor, seks bebas, dll) (www.raymercer.net/japan.four-trends-among-japanese-youth. 30/12/2009).

Padahal pendidikan itu ditujukan untuk membina dan membentuk kepribadian generasi yang baik, shalih dan mempunyai ilmu dan keterampilan untuk disumbangkan bagi kebangkitan umat. Dalam konteks pendidikan Islam, politik pendidikan Islam menetapkan bahwa dasar dari seluruh pendidikan adalah akidah Islam yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa.

Karena itu, kebijakan Pemerintah menerapkan kurikulum sekular liberal, tak terkecuali kurikulum 2013, sama saja dengan menggadaikan potensi intelektual dan kesucian jiwa generasi bangsa ini kepada Barat penjajah. Jika Pemerintah benar-benar tulus me-ri’ayah (melindungi dan menyelamatkan generasi bangsa ini), semestinya yang diterapkan kurikulum yang sahih, yaitu kurikulum Khilafah. Kurikulum ini memuat sejumlah prinsip yang berasal dari Allah SWT, Zat Yang Mahatahu, Mahabenar lagi Mahabijaksana.

Tak hanya pada aspek konten, liberalisasi pendidikan juga terjadi pada tatakelola layanan jasa pendidikan. Pendidikan kini diposisikan sama dengan barang ekonomis lainnya. Layanan pendidikan dijadikan lahan bisnis yang subur. Semakin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan Pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Akhirnya, MBS hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini diperburuk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang neo-liberl. BHMN sendiri membawa dampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.

Pada tataran praktis pun, pendidikan nasional dihadapkan pada persoalan yang bersumber dari lemahnya peran pengawasan Pemerintah. Hal itu tampak jelas dari munculnya sejumlah buku (LKS) Lembar Kerja Siswa untuk SD di beberapa sekolah yang memuat teks atau ilustrasi yang tidak pantas untuk murid-murid SD; keterlibatan sejumlah murid dalam perbuatan asusila di lingkungan sekolah dan tindak kekerasan; serta berbagai kejadian yang sangat menyesakkan dada seperti kasus pelecehan seksual di sekolah internasional JIS, terpaparnya sepuluh murid SD di Situbondo dengan HIV/AIDS, dan sebagainya.

Alhasil, lingkungan sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman dalam pembentukan pribadi anak didik. Sayangnya, semua bertindak setelah semua itu terjadi. Itu pun dengan tindakan yang tidak berbasis pada akar persoalan.

Alhasil, harus ada kesadaran penuh untuk mengubah format pendidikan Indonesia dengan kebijakan pendidikan Islam yang melandaskan segala sesuatunya pada ketentuan Allah SWT, Sang Pencipta manusia.

WalLahu a’lam bish-shawab. []

One comment

  1. Semoga masyarakat segera sadar. terimakasih artikelnya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*