Tahun 2014 Pemerintah mulai memberlakukan Undang-undang No. 4 tentang Mineral dan Batubara tahun 2009. UU tersebut antara lain berisi aturan mengenai pembatasan luas wilayah pertambangan, peningkatan royalti, pemurnian di dalam negeri dan pelepasan sebagian saham secara bertahap. Semangat dari UU tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pertambangan.
Meskipun demikian, dalam kenyataannya, Pemerintah tetap saja tidak mampu membuat perusahaan di sektor pertambangan tunduk pada aturan tersebut. Hingga akhir tahun ini Pemerintah masih harus bernegosiasi dengan sebagian besar perusahaan pertambangan khususnya yang berskala besar seperti Freeport dan Newmont. Bahkan Newmont sempat mengajukan gugatan ke arbitrase internasional untuk memprotes kebijakan Pemerintah tersebut meskipun belakangan mencabut gugatan tersebut.
Namun demikian, penerapan UU tersebut tidak dimaksudkan untuk mengambil-alih pengelolaan sektor pertambangan di negara ini. Pasalnya, jumlah saham yang harus dilepas juga minimal 51 persen. Itu pun dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi yang alot. Bahkan untuk Freeport, hanya disepakati maksimal 30%. Hingga saat ini, sebanyak 90,6% kepemilikan saham Freeport Indonesia dikuasai perusahaan asal Amerika Serikat (AS), yaitu Freeport McMoran. Sisanya, sebanyak 9,4% dipegang oleh Pemerintah Indonesia.
Selain itu, sebagian saham yang dilepas tersebut tidak hanya dapat dibeli oleh Pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, namun juga oleh swasta nasional. Padahal perusahaan swasta nasional sendiri dapat saja dijual dan dikendalikan oleh asing. Dalam kasus divestasi Newmont, pengurangan kepemilikan saham perusahaan tersebut justru jatuh ke tangan swasta dan bukan kepada Pemerintah. Pasalnya, dana yang dimiliki oleh pemerintah Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat sangat minim sehingga ditunggangi oleh perusahaan milik Bakrie dalam PT Multi Daerah Bersaing (MDB) untuk menguasai 24 persen saham perusahaan tersebut.
Celakanya, mekanisme pelepasan saham perusahaan tambang tersebut diberlakukan sebagaimana proses divestasi saham pada umumnya. Pemerintah harus membeli saham-saham perusahaan swasta tersebut yang nilainya lumayan besar. Nilai 20 persen saham Freeport, misalnya, ditaksir mencapai US$4 miliar atau sekitar Rp 48 triliun. Angka ini tentu sangat besar jika harus ditebus oleh Pemerintah.
Besarnya nilai aset perusahaan-perusahaan tambang tersebut sebagian besar berasal dari klaim cadangan yang mereka kuasai. Klaim atas aset tersebut menjadi modal bagi para investor untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan ataupun pasar modal. Cadangan bijih PT Freport yang siap ditambang saat ini sekitar 2,6 miliar ton. Setiap satu ton bijih hasil olahan bisa menjadi 7,9 kg tembaga dan 0,93 gram emas (Detikfinance, 12/03/2012). Dengan demikian, potensi kandungan emas tersebut dari cadangan tersebut bisa menghasilkan 2.418 ton emas. Jika harga emas sebesar Rp 500.000 pergram, maka nilai cadangan tersebut mencapai Rp 1.209 triliun. Adapun nilai tembaganya, dengan harga Rp 78.420 perkilogram, dapat mencapai Rp 1.611 triliun. Dengan demikian nilai kotor cadangan bijih perusahaan tersebut mencapai Rp 3.009 triliun. Tak heran jika perusahaan asal AS tersebut sangat berambisi untuk memperpanjang kontraknya hingga 2041.
Kuatnya dominasi asing juga masih terjadi di sektor migas. Meskipun pemerintahan telah berganti, harapan agar pengelolaan sektor migas dikelola secara maksimal oleh BUMN juga sangat tipis. Pertamina hingga saat ini tetap tidak mendapatkan prioritas dalam mengelola ladang-ladang minyak dan gas, baik pada blok-blok baru maupun pada blok-blok yang telah habis masa kontraknya. Untuk kasus Blok Mahakam, misalnya, Pemerintah masih gamang untuk menjadikan Pertamina sebagai satu-satunya operator tunggal blok yang saat ini dikelola oleh Total E&P dan Inpex yang kontraknya berakhir tahun 2017. Padahal Pertamina menyatakan sangat siap untuk mengelola blok tersebut. Menurut Total E&P, pada tahun 2017, sisa cadangan gas diblok tersebut sebesar 2-2,5 triliun kaki kubik dan minyak sebanyak 50 juta barel. Jika harganya masing-masing komoditas itu sebesar US$10/mmbtu dan US$70/barel, dengan kurs Rp12,000/US$, maka nilai cadangan tersebut mencapai Rp 280 triliun. Beberapa kalangan bahkan menilai cadangan pada blok tersebut jauh lebih besar dari angka tersebut.
Kembali pada Islam
Apa yang dialami oleh Pertamina juga terjadi pada BUMN lain seperti PT Bukit Asam dan PT Antam, PT Perkebunan Nusantara dan Perhutani. Meskipun mereka dituntut untuk menghasilkan laba besar dan menyetor deviden kepada Pemerintah, mereka tidak mendapatkan prioritas dan dukungan dalam berinvestasi. Pada saat yang sama, pemerintah yang baru, sebagaimana rezim-rezim sebelumnya, terus mengobral negara ini dengan memberikan kesempatan yang luas kepada investor asing untuk memanamkan modalnya termasuk menggarap sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam. Akibatnya, sektor-sektor tersebut kian didominasi oleh swasta termasuk asing (lihat tabel). Semua ini terjadi lantaran negara telah menjadikan sistem kapitalisme sebagai basis dalam pengelolaan ekonomi.
Produksi Komoditas Sektor Pertambangan Indonesia, 2012
Komoditas |
Swasta | BUMN | Total | ||
Volume | Persentase | Volume |
Persentase |
||
Gas Bumi (TSCF) |
2.5 |
85% | 0.5 | 15% | 3.0 |
Minyak Mentah (ribu barel per hari) | 709.7 | 83% | 150.0 | 17% | 859.7 |
Batubara (juta ton) | 370.7 | 96% | 15.3 | 4% | 386.0 |
Emas (ton) | 66.4 | 96% | 2.9 | 4% | 69.3 |
Nikel (juta ton) | 26.8 | 74% | 9.4 | 26% | 36.2 |
Tembaga (juta ton) | 2.4 | 100% | 0.0 | 0% | 2.4 |
Sumber: BPS, Kementerian ESDM, PT Bukit Asam, PT Antam
Kondisi tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Sumberdaya alam yang potensinya melimpah merupakan milik umum yang harus dikelola secara profesional dan transparan oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada publik. Dengan demikian potensi pendapatan yang dapat diraup negara akan lebih besar dibandingkan dengan sistem saat ini yang hanya mengandalkan penerimaan dari pajak dan royalti. Dana-dana yang melimpah tersebut, dalam jangka panjang, cukup untuk mendanai berbagai pelayanan publik yang selama ini dikomersilkan oleh negara seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan energi listrik dan gas. Di bawah Kekhilafahan Islam, semua itu akan jadi kenyataan.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. []