Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) meminta pemerintah memahami terlebih dahulu makna dari radikalis. Sehingga, pemerintah tidak selalu menyudutkan agama sebagai hal yang membawa radikalisme di Indonesia.
Menurut juru bicara HTI, Ismail Yusanto, seharusnya pemerintah lebih memfokuskan masalah besar lainnya dibandingkan dengan isu radikalis. Ia berpendapat masalah liberalisme, kapitalisme dan sekulerisme yang sebenarnya harus dibasmi terlebih dahulu. “Ketiga hal tersebut jelas lebih berbahaya dibandingkan radikalisme,” kata Ismail kepada ROL, Senin (5/1).
Pendapat itu disampaikan Ismail guna menanggapi larangan guru dan dosen agama asing mengajar di Indonesia. Meski pemerintah menunjukkan pelarangan ini ke semua agama, Ismail menduga kuat hal ini ditunjukkan kepada umat Islam.
Dugaan ini karena mayoritas agama yang dianut di Indonesia, yakni Islam. Jadi, Ismail yakin pemerintah ingin menyudutkan umat Islam.
“Seolah-olah agama, terutama umat Islam itu pemberi masalah besar bagi Indonesia,” sebut dia.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indonesia berupaya menangkal radikalisme agama dengan melarang tenaga kerja asing (TKA) untuk kategori profesi guru dan dosen teologi dari semua agama. Kemenaker juga mensyaratkan TKA harus menguasai Bahasa Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Indonesia, M Hanif Dhakiri mengatakan, radikalisme agama apapun harus dicegah. Selain itu, anak-anak Indonesia dapat memperoleh pendidikan agama sesuai dengan kultur Indonesia dan kebhinekaan.
“Kami menutup pintu untuk TKA yang berprofesi guru atau dosen agama maupun teologi. Ini sebagai salah satu upaya kita menghindarkan supaya lembaga agama tidak dijadikan lahan persemaian ide atau kaderisasi,” katanya kepada ROL saat ditemui usai pemaparan kinerja akhir tahun Kemnaker, di Jakarta, Selasa (30/12) sore. (republika.co.id, 6/1/2015)