Meski Indonesia menjadi negara kedua setelah Singapura yang menyatakan siap menghadapi implementasi perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), namun Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini menilai tidak akan memberikan manfaat yang besar karena negeri yang kaya sumber daya alam dan manusia ini tidak menyiapkan strategi.
“Karena kalau mau membikin kerja sama kan harus ada strategi. Kita komitmennya terlalu besar sementara persiapannya terlalu kecil, terlalu minimal. Akibatnya, kalau cuma membesarkan kue ekonomi, iya. Tetapi apakah itu memberikan manfaat yang lebih besar? Tidak,” tegasnya seperti dilansir Media Umat Edisi 142: 2015, Indonesia Dijual, Jum’at (11-24 Rabiul Awal 1436H/2-15 Januari 2015M).
Celakanya, perjanjian MEA dibuat sejak 2003, mau diimplementasikan 2020. Sekarang ini malah dimajukan akhir 2015. Jadi, Indonesia sendiri berusaha untuk mempercepat implementasi ini. Padahal daya saing Indonesia di Asean sudah mulai defisit, kalau untuk jasa secara global pun Indonesia defisit. “Jadi apakah dengan MEA akan semakin defisit atau tidak? Kalau Indonesia tidak menyiapkan daya saing, maka dengan adanya MEA, perdagangan makin tinggi, investasi makin tinggi, ya sangat mungkin kalau defisitnya semakin lebar,” ungkapnya.
Karena sekarang, sebelum MEA ini diimplementasikan, untuk rumah tangga saja sudah menggunakan produk produk impor. Untuk industri, Indonesia juga menggunakan lebih banyak produk impor dibanding produk sendiri. Artinya, produk kita tidak memiliki daya saing, karena kemampuan daya saing itu tidak pernah dibangun. Sehingga nanti ketika MEA diberlakukan, bukan hanya tarif bea masuknya yang dihilangkan. Tetapi juga kebijakan lain, seperti kebijakan investasi, pajak, cukai, sehingga produk produk tersebut semakin mudah masuk ke Indonesia.
“Sementara kita belum mendorong daya saing produk produk dalam negeri. Melihat tren defisit perdagangan menunjukkan bahwa produk produk kita itu jauh lebih tidak kompetitif. Penyebabnya bukan karena produk kita jelek. Produk kita kualitasnya sama tetapi harganya jauh lebih mahal. Bisa jadi pula produk kita lebih murah tetapi kualifikasinya tidak masuk. itulah yang umumnya terjadi,” beber Hendri.
Hendri pun mencontohkan bawang putih. Indonesia sudah bisa memproduksi bawang putih. Kualitasnya bawang putih kita bukan tidak baik tetapi tidak diberi ruang pasar. Pasar bawang putih itu sudah diisi bawang putih impor dari Cina akibat kebijakan perdagangannya longgar, dan biaya produksi dalam negeri lebih tinggi.
Bawang putih Cina lebih murah karena mereka ada dukungan yang banyak sekali dari negaranya. Misalnya, pertanian bawang putih disokong dengan penerapan teknologi yang jauh lebih canggih, diberi subsidi juga untuk airnya, dibantu subsidi juga untuk listriknya. Sehingga mereka bisa memproduksi lebih banyak dengan lebih cepat dan biaya produksi lebih murah. Sehingga Cina bukan hanya menguasai pasar dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri termasuk Indonesia.
“Alih alih melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan negara Cina bagi industri dalam negerinya. Pada pertemuan di Bali, kita malah tidak mendukung India untuk mempertahankan subsidi tetapi kita justru mendukung lawan lawan India untuk segera menghapuskan subsidi. Pencabutan subsidi itu bukan hanya di bawang putih tetapi di semua sektor. Tidak ada pembelaan, tidak ada strategi, keberpihakannya tidak ada, akhirnya selama berpuluh puluh tahun lama lama daya saingnya menjadi sangat rendah,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo
tolak MEA, karena akan semakin menyengsarakan rakyat. MEA=LIBERALISASI