Sejumlah media melaporkan adanya “perbedaan terkait penolakan Dewan Keamanan terhadap draft untuk mengakhiri pendudukan,” setelah “Amerika Serikat menggunakan hak veto sebagai anggota tetap Dewan.” Inggris abstain. Yordania dan Prancis menyayangkan kegagalan untuk mencapai konsensus. Adapun Komisaris Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa menekankan perlunya untuk melanjutkan perundingan di bawah kepuasan Israel.” (Aljazeera.net, 31/12/2014).
*** *** ***
Menempatkan konstelasi kekuatan global dan entitas Zionis terkait draft resolusi dalam konteksnya yang benar tentu memerlukan penelaahan terhadap visi dan tujuan dari berbagai pihak terkait solusi damai:
1) Pandangan Zionis.
“Keamanan” dan “normalisasi” merupakan dua kata kunci bagi pandangan Yahudi. Sebab, entitas Zionis melalui langkah damai yang ia tempuh ingin mencapai keamanan bagi tentara dan warga pemukimannya, melakukan penetrasi ekonomi ke pasar-pasar Arab, dan menghapus hambatan emosional masyarakat agar menerima entitas mereka di wilayah Palestina. Entitas Zionis tidak siap untuk sungguh-sungguh melepas setiap kedaulatan meskipun kepada pihak ketiga internasional (sampai kapan pun), terutama pandangan ekspansionis Partai Likud yang terus bermimpi berekspansi, bukan penarikan riil. Oleh karena itu, entitas Zionis tidak akan pernah melangkah di luar batas-batas dua kata kunci tersebut, betapapun besarnya “suara perdamaian” diserukan.
2) Pandangan Amerika.
Dalam hal keamanan, pandangan Amerika sejalan dengan pandangan Yahudi. Amerika dalam banyak kesempatan—melalui pernyataan para pejabat tinggi dan presiden Amerika—mengungkapkan bahwa “keamanan Israel adalah keamanan Amerika.” Namun, Amerika ingin mengurangi posisi “Israel” hingga batas-batas tertentu, terutama setelah mengokohkan visi Amerika terhadap solusi dua negara, juga Amerika sebagai pembawa pesawat ingin terus maju membela kepentingannya di Samudra Islam. Pada saat yang sama, Amerika memperlakukan “Israel” seperti perlakuan seorang ayah terhadap anaknya yang manja. Oleh karena itu, Amerika tidak akan menekannya dengan serius, dan menerima semua kontroversinya, apalagi kontroversi pimpinan Partai Likud, seperti Netanyahu. Pada saat yang sama, Amerika ingin mempertahankan semua kontrol solusi ada dalam kekuasaannya saja. Karena itu Amerika tidak akan membiarkan solusi Eropa berpengaruh melalui lembaga-lembaga internasional, kecuali jika Amerika memiliki kekuasaan di dalamnya.
3) Usaha-usaha Eropa.
Eropa telah menerima visi Amerika yang memutuskan solusi dua negara sejak pembentukan Komite Kuartet. Ini menyusul publikasi “peta jalan” Amerika pada tahun 2003 ketika Eropa menemukan ruang untuk mobilitas di dalamnya. Saat itu Eropa, Rusia dan PBB terlibat dalam mobilitas solusi bersama dengan Amerika. Dengan demikian, Eropa berjalan di belakang mobilitas Amerika sehingga akan selalu gagal setiap kali Eropa mencoba untuk menyibukkan Amerika dengan kasus-kasus lainnya.
Secara politik sangat jelas bahwa draft resolusi Palestina yang diajukan itu tidak keluar dari visi Amerika, yaitu “solusi dua negara”, dan tidak akan menabrak ketentuan-ketentuan untuk mencapai keamanan entitas Yahudi. Akan tetapi, yang dibuat Eropa, meskipun ada pihak ketiga internasional untuk menjaga keamanan, itu tetap tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan penuh yang diinginkan oleh “Israel”.
Jadi, tidak mungkin memasarkan penolakan Amerika-Israel terhadap resolusi, bahwa itu untuk mendukung resolusi “nasional”. Akan tetapi, pemahaman yang tepat untuk penolakan harus tidak keluar dari konteks visi ekspansionis Partai Likud, dan penolakan kedaulatan apapun selain Yahudi, serta arogansi Amerika terhadap pengaruh kekuatan global, serta gagalnya setiap gerakan internasional apapun jika bukan Amerika penggeraknya. Amerika akan membiarkan entitas Yahudi untuk melakukan kontroversi dengan bebas, seperti seorang ayah yang membebaskan anak-anaknya yang manja. Namun, akhirnya Eropa menyerah pada arogansi Amerika, dan mengikuti mobilitasnya yang baru.
Sungguh, merupakan aib yang memalukan bagi orang yang menganggap dirinya sebagai pemimpin gerakan “pembebasan nasional”, sementara ia memasarkan penolakan ini dalam konteks memasarkan sejumlah langkah konsesi yang dipimpin oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) selama beberapa dekade lamanya, dengan pura-pura buta terhadap fakta-fakta politik, dan pandangan-pandangan kolonialisme terkait masalah Palestina.
Masalah Palestina adalah masalah politik yang berdimensi militer. Oleh karena itu tidak mungkin menemukan solusi yang sebenarnya, melalui forum-forum internasional, atau resolusi-resolusi internasional; dan tidak pula dengan berjalan terengah-engah dalam koridor Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga menjadi sekadar serangan-serangan romantis “donquichotisme” yang mereka yang bergelar pemimpin bukan pada tempatnya. [Dr. Maher Al-Jabari/Sumber: Hizb-ut-tahrir.info, 2/1/2015].