“Hanya dengan sistem khilafah sajalah, penjajahan yang telah mencengkeram Indonesia itu dapat dihentikan,” tandasnya.
Banyak orang tak bisa menangkap pelajaran atas kerusakan yang terjadi di negeri ini. Kebanyakan mereka menduga bahwa penyebab semua ini adalah pemimpin yang tidak kapabel. Walhasil, faktor sosok kepemimpinan nasional dianggap sebagai solusi.
Hasilnya? Tak berubah. Pergantian rezim demi rezim dilakukan. Namun hasilnya tak berubah. Malah, kini kian parah. Jokowi yang dianggap sederhana dan merakyat, justru lebih tega menindas rakyat dibandingkan rezim sebelumnya. Subsidi BBM dicabut saat ia baru beberapa hari berkuasa.
Padahal, menurut Dwi Condro Triono, Ketua DPP HTI, sumber masalah keterpurukan yang melanda negeri Muslim terbesar di dunia ini adalah dipilih dan diterapkannya ideologi kapitalisme untuk mengatur negara ini.
Salah satu perwujudan dari penerapan ideologi kapitalisme itu, lanjutnya, adalah terjadinya proses liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ini tidak hanya terjadi di masa rezim terakhir, tapi juga sudah terjadi sebelumnya.
Ini bisa dibuktikan dengan lahirnya berbagai produk UU yang sangat liberal, seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU Perbankan, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pendidikan, UU Kesehatan dsb. Semua produk UU liberal itu lahir pasca tumbangnya rezim Orde Baru.
Legitimasi Demokrasi
Berbagai peraturan perundangan yang liberal itu tidak muncul dengan sendirinya. Memang, ada draft UU yang disusun oleh kalangan asing. Namun, itu tidak akan lahir jika wakil rakyat tidak mengesahkannya.
Faktanya, perundang-undangan berbau asing itu justru mendapat legitimasi oleh wakil rakyat (DPR) yang merepresentasikan rakyat. “Semua produk UU itu telah dilegitimasi oleh proses politik demokrasi yang dikendalikan dan didanai oleh korporasi asing,” kata Dwi Condro.
Melalui proses demokrasi inilah, pihak asing bermain. Mereka menggunakan kekuatan politik dan ekonominya untuk menyetir kalangan wakil rakyat demi melegitimasi produk UU. Hanya saja semuanya berjalan dengan sangat halus dan dikemas sedemikian rupa sehingga tampak produk UU itu logis dan cocok bagi pembangunan Indonesia ke depan.
Melalui legitimasi UU inilah korporasi asing masuk. Mereka aman beroperasi di Indonesia karena dilindungi oleh UU.
Sebagai contoh, UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pasal 21 dan kemudian digantikan dengan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 7, sama-sama menjamin bahwa pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Kalimat di dua UU itu hampir persis.
Pasal 7: (1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Kemudian di ayat selanjutnya, pemerintah menyatakan berhak memberikan kompensasi/ganti rugi sesuai asas hukum internasional jika memang ada nasionalisasi. Jika ada perselisihan antara negara dan perusahaan asing maka dibawa ke arbitrase.
Dengan aturan itu, bagaimana perusahaan asing tidak nyaman berusaha di Indonesia. Tidak akan ada nasionalisasi. Posisi negara sangat lemah.
Produk UU PMA ini merupakan hasil campur tangan asing di awal era Orde Baru. Lahirnya UU ini bersamaan dengan masuknya Freeport ke Indonesia dan ditandatanganinya wilayah konsesi bagi Freeport di Papua.
UU yang lainnya pun memiliki karakter yang sama. Ada UU Sumber Daya Alam, UU Migas, UU Minerba, UU Ketenagalistrikan, dll. Semua menjerat negeri ini termasuk penguasanya untuk tunduk pada sistem ekonomi liberal yang telah dilegalkan melalui proses demokrasi.
Maka di era rezim Jokowi, pencabutan subsidi BBM misalnya, sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU Migas yang disusun di era Megawati. Privatisasi BUMN juga diatur oleh UU. Listrik dijual dengan harga pasar juga amanat UU. Walhasil, liberalisasi ini karena sistem di negeri ini menganut sistem kapitalisme liberal.
Solusi Sistemik
Dwi Condro mengemukakan, bukan hal mudah untuk mengatasi problem ini. Sebab, permasalahannya sudah sangat sistemik. Maka, untuk dapat menyelesaikannya diperlukan solusi yang sistemik, yaitu dengan mencabut akar ideologi kapitalisme yang sudah menancap kuat di negeri ini, kemudian diganti dengan ideologi yang berasal dari pencipta manusia, yaitu Islam.
Sistem yang dapat menjalankan ideologi Islam secara utuh dan menyeluruh (kaffah) itu dikenal dengan sebutan: sistem khilafah. “Hanya dengan sistem khilafah sajalah, penjajahan yang telah mencengkeram Indonesia itu dapat dihentikan,” tandasnya.
Ia menjelaskan, salah satu keistimewaan khilafah adalah dapat menerapkan sistem ekonomi Islam secara utuh. Dalam sistem ekonomi Islam, pengaturan terhadap kepemilikan harta kekayaan yang ada di seluruh negara ini telah jelas, yaitu dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Dalam kepemilikan umum misalnya, yang meliputi berbagai tambang yang besar, minyak, gas, batubara, uranium, sumberdaya hutan, air, listrik, dsb, harus dikelola oleh negara untuk kemudian didistribusikan kepada rakyat sebagai pemiliknya yang hakiki.
Nah, menurutnya, kepemilikan umum tersebut tidak boleh dikuasai oleh swasta, apalagi swasta asing. Oleh karena itu, jika kekhilafahan itu tidak ada, maka pengaturan ekonomi Islam yang sangat terperinci dan adil tersebut hanya menjadi teori yang akan menghiasi kitab-kitab fiqh umat Islam saja. Sebaliknya, jika kekhilafahan itu ada, maka keadilan dan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat akan dapat terjamin dengan sempurna.[] joy/emje
Sumber: Tabloid MediaUmat