Kado Pil Pahit Jokowi Untuk Rakyat Indonesia Di Awal Tahun
Pemerintah Indonesia per 1 Januari 2015 resmi mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, sehingga harganya mengikuti mekanisme pasar. Sementara BBM diesel atau Solar diberikan subsidi tetap (fixed subsidy) Rp 1.000/liter, dan sisanya mengikuti harga pasar atau keekonomian. (www.detikfinance).
Jadi, disadari atau tidak oleh masyarakat Indonesia, komoditas energi harganya telah dilepas ke mekanisme pasar. Harganya pun bisa naik turun sesuai dengan harga di pasar dunia. Jika saat ini harga minyak dunia turun maka harga BBM masih bisa berkisar dibawah angka Rp.10.000,00/liter. Tapi jika harga minyak dunia mengalami kenaikan, maka rakyat Indonesia harus membeli BBM dengan harga sekitar Rp.11.000,00 sampai Rp.12.000,00 per liternya, atau bisa juga lebih tergantung harga pasar minyak internasional.
Banyak masyarakat yang tidak menyadari akan hal ini. Contohnya seperti seorang pengendara sepeda motor yang diwawancarai detikfinance, beranggapan bahwa harga BBM ini akan terus bertahan rendah. “Oh jadi ini nggak tetap Rp 7.600 ya? Nggak tahu saya. Saya pikir akan seterusnya.”
Padahal harga pasar minyak di dunia sangat fluktutatif karena pasca krisis di sektor non-riil di belahan Barat, minyak juga dijadikan komoditas transaksi di lantai bursa. Naik-turunnya harga minyak tidak semata-mata karena pengaruh faktor permintaan konsumen dan penawaran produsen. Tetapi dipengaruhi oleh transaksi spekulasi (gambling/perjudian) yang terjadi di lantai bursa.
Sungguh, ini adalah langkah pemerintah yang sangat kejam dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Dan juga melanggar prinsip ekonomi syariah. Kebijakan ini semakin menunjukkan bahwa kerja yang dilakukan kabinet Jokowi adalah untuk kepentingan korporat, bukan untuk kepentingan rakyat.
Semestinya , sebagai seorang muslim, Jokowi mendengarkan nasehat yang telah dikemukakan, bahwa dalam prinsip ekonomi syariah, minyak bumi adalah jenis harta yang menjadi milik umat (rakyat). Bukan milik negara. Akibatnya, negara tidak bisa berkilah bahwa negara bisa melakukan apa saja dalam pengaturan migas karena itu adalah kewenangannya.
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺷﺮﻛﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﺜﻠﺚ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﻜﻼﺀ ﻭﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺛﻤﻨﻪ ﺣﺮﺍﻡ ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ ﻳﻌﻨﻰ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﺠﺎﺭﻯ[1]
Diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ummat Islam berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api. Memungut bayaran untuk itu haram hukumnya”. Abu Sa`id mengatakan: “Yang dimaksud dengan air adalah air mengalir”.
Migas termasuk dalam harta milik rakyat, karena karakternya yang sama dengan api, atau karena kesamaan kriteria sebagai barang kebutuhan mendasar yang dibutuhkan banyak orang.
Dalam pengaturan ekonomi syariah, posisi negara justru sebagai pihak yang bertanggung jawab aktif mengelola migas..Negara bekerja keras mulai dari proses eksplorasinya, sampai dengan pendistribusiannya ke masyarakat. Karena itu adalah tanggung jawabnya.
Negara dilarang mengambil keuntungan dari pengelolaan migas, karena itu bukan miliknya. Negara diharuskan mengembalikan proses pengelolaan migas kepada rakyat sebagai pemilik sejatinya, dalam bentuk pembagian gratis, penjualan dengan harga murah, atau pengalokasian keuntungan ke dalam berbagai pos kebutuhan massal.
Melepas harga BBM ke harga pasar dunia, dibarengi dengan melepas proses eksplorasi migas ke korporat asing, ditambah lagi dengan mempersilahkan para korporat asing berjualan migas di Indonesia, adalah proses perampokan migas secara sempurna yang telah dilakukan pemerintah ini terhadap rakyatnya sendiri.
Sebagai negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya cadangan migas yang telah diberikan Allah swt dalam jumlah besar terhadap negeri ini, dikelola dengan prinsip ekonomi syariah. Agar bisa membawa kebaikan untuk semua. Muslim dan non muslim akan menjalani kehidupan yang lebih baik dalam pengaturan Syariah Islam. Proses itu membutuhkan pula perubahan mendasar pada sistem kenegaraan saat ini, yang sudah semestinya berganti dari format negara demokrasi, berubah menjadi tata politik kenegaraan Khilafah Islam. []
[1] Mushnaf Ibnu Abi Syaibah, juz V,(t.p.: t.t.), 391.