Soal Jawab: Sebab Anjloknya Harga Minyak Secara Tiba-tiba

سم الله الرحمن الرحيم

Jawab Soal

Sebab Anjloknya Harga Minyak Secara Tiba-Tiba

 

Pertanyaan:

Beberapa media massa hari ini, Rabu 7/1/2015 melansir berita bahwa harga minyak mentah Brent (Brent crude oil) tercatat pada level US$ 49,66 per barel. Harga minyak mentah Amerika (American crude) juga anjlok ke harga US$ 47 per barel. Perlu diketahui bahwa harga minyak pada tahun 2014 telah pernah mencapai US$ 115 per barel di awal musim panas Juni 2014. Kemudian harga minyak kembali turun secara gradual sampai pada awal musim dingin pada akhir Desember 2014 ke level harga US$ 60 per barel. Bahkan harganya terus turun hingga harga minyak mentah Texas (west Texas crude oil) pada level US$ 58,53 per barel. Harga pada minggu pertama Januari 2015 sampai ke level US$ 50 per barel. Artinya harga minyak turun lebih dari 50% dalam waktu lima bulan! Lalu apa sebab anjloknya harga minyak secara tiba-tiba ini? Apa kemungkinan yang ada untuk harga minyak di masa mendatang?

 

Jawab:

Turunnya harga minyak itu memiliki sebab-sebab yang berbeda. Yang paling menonjol adalah faktor ekonomi murni, bebas dari tujuan-tujuan politik… Diantaranya juga ada faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi, semisal kepentingan pemilik faktor politik tersebut…

Adapun faktor ekonomi murni, bebas dari tujuan politik, maka itu mencakup: (meningkatnya penawaran atau menurunnya permintaan…), (ketegangan dan khususnya eskalasi militer di wilayah-wilayah minyak dan sekitarnya…), (spekulasi di pasar minyak dan eksploitasi data-data melemahnya perekonomian negara-negara berpengaruh dalam hal minyak baik ekspor atau impor…)

Adapun faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi ke arah kepentingan negara pemilik aksi politik itu. Misal (bertambahnya produksi atau penawaran sejumlah besar cadangan minyak,namun bukan karena kebutuhan ekonomi), akan tetapi (untuk menurunkan harga dengan tujuan mempengaruhi politik negara-negara pesaing, khususnya negara yang neraca APBN-nya bergantung pada harga minyak), atau (untuk membatasi produksi minyak bebatuan (shale oil) dengan jalan menurunkan harga minyak alami ke batas yang lebih rendah dari biaya produksi minyak bebatuan (shale oil) agar eksplorasi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis).

Dan kami akan memaparkan perkara-perkara ini, kemudian kami simpulkan pada sebab yang lebih rajih seputar anjloknya harga minyak itu:

Pertama, faktor ekonomi murni,bebas dari tujuan politik:

  1. Penawaran dan Permintaan

Minyak sama saja dengan komoditi lainnya. Harganya ditentukan melalui faktor permintaan dan penawaran. Ketika pasar melihat penawaran minyak berlebih, maka harganya turun. Ini terjadi pada kondisi krisis ekonomi melanda negara-negara pengimpor yang menurunkan permintaan,karena melemahnya kemampuan negara yang dilanda krisis itu untuk mengimpor minyak dengan harga tinggi. Maka permintaan minyak pun turun, sehingga harga minyakjuga turun … dan semisal itu pula ketika permintaan minyak melonjak melebihi penawaran, maka harga minyak juga melonjak.

  1. Ketegangan dan meningkatnya tensi secara militer:

Ada juga faktor lain yang mempengaruhi harga minyak, yaitu ekspektasi yakni prediksi pasar minyak, seperti terjadinya kerusakan pasokan akibat perang atau ketegangan di wilayah-wilayah minyak… Dan karena itu, maka ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang merupakan wilayah minyak mungkin menjadi sebab naiknya harga minyak, meski tidak terjadi perubahan dalam hal kuantitas minyak yang ditawarkan atau kuantitas permintaan terhadap minyak. Pasar minyak kadang kala terdorong ke arah naiknya harga minyak jika dikhawatirkan kerusakan pasokan mungkin terjadi. Ketika ketegangan itu mereda maka harga minyak turun dan kembali ke nilai sebelumnya atau ke harga hakiki. Sebagai contoh, seruan perang antara negara Yahudi dan Amerika Serikat dan Iran pada Februari 2012 menyebabkan naiknya harga minyak. Majalah Forbes menyebutkan: “bersamaan dengan naiknya harga minyak sampai ke level tertinggi sejak beberapa tahun, sebagian besar sebabnya adalah kekhawatiran geopolitik dengan diletakkannya Iran di atas meja pergolaan militeristik sekali lagi” (Invasi Iran Akan Mendorong AS ke Resesi, Forbes Februari 2012).

  1. Spekulasi dan ekploitasi data-data ekonomi:

Data-data ekonomi yang buruk dari beberapa negara yang memiliki hubungan berpengaruh pada minyak, baik ekspor maupun impor, misalnya AS dan Cina, bisa menyebabkan jatuhnya harga minyak, tanpa mempedulikan perubahan penawaran dan permintaan terhadap minyak. Pada kondisi ini, pasar mengawatirkan perlambatan akibat ekonomi. Pasar menafsirkannya bahwa itu merupakan penurunan pasti konsumsi minyak dan berikutnya harga minyak pun turun. Para spekulan mencari prediksi-prediksi pasar untuk menaikkan harga minyak atau menurunkannya untuk mendapat keuntungan. Akibatnya, harga minyak terpengaruh melalui penawaran dan permintaan.

Data-data ekonomi dan spekulasi itu berkaitan dengan sejumlah pemain utama, terdiri dari negara-negara produsen minyak (misal Rusia, Kanada, Arab Saudi … dan lainnya), dan negara-negara importir minyak (misal, Cina, Jepang … dan lainnya), perusahaan-perusahaan multi nasional (misal Exxonmobile, BP … dan lainnya) serta kartel minyak (misal, OPEC, para pedagang minyak yang sudah dikenal dengan nama para spekulan). Semua kelompok itu memiliki kemampuan mempengaruhi harga minyak, baik melalui pengaruh terhadap penawaran dan permintaan, ataupun melalui antisipasi terhadap fluktuasi harga minyak karena spekulasi. Data-data ekonomi dan spekulasi hasil dari terjadinya krisis ekonomi di negara-negara yang memiliki keterkaitan itu bisa dengan kuat mempengaruhi harga minyak.

Kedua, faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi demi kepentingan pemilik aksi politik tersebut.

  1. Isu minyak bebatuan (shale oil)

AS berhasil melampaui Arab Saudi dan Rusia sebagai eksportir minyak terbesar di dunia disebabkan ekstraksi minyak melalui pemecahan batuan sedimen di bawah tanah. Bank of America menyebutkan pada musim panas 2014: “AS akan terus menjadi produsen terbesar minyak di dunia pada tahun ini, melampui Arab Saudi dan Rusia, dalam mengekstraksi energi dari minyak bebatuan (shale oil). Itulah yang membangkitkan perekonomian dalam negeri. Produksi minyak mentah AS, berdampingan dengan cair, dan pemisahan minyak dari gas alam, telah melampaui negara lain pada tahun ini. Produksi minyak AS lebih dari 11 juta barel pada kuartal pertama tahun ini… (“AS menjadi produsen minyak terbesar setelah menyalip Arab Saudi”, Bloomberg, 4 Juli 2014).

Revolusi minyak dan gas bebatuan (shale oil and gas) di AS menyebabkan peningkatan produksi minyak dari 5,5 juta barel per hari pada tahun 2011 menjadi saat ini 10 juta barel per hari. Hal itu bisa menutupi sebagian besar kebutuhannya sehingga impor minyak AS dari Arab Saudi menurun sampai setengahnya yaitu menjadi 878 ribu barel per hari dari sebelumnya 1,32 juta barel per hari.

Akan tetapi masalah minyak bebatuan (shale oil) adalah biaya produksinya mencapai 75 dolar per barel. Sementara biaya produksi minyak alami tidak lebih dari 7 dolar per barel. Ini artinya bahwa negara-negara produsen minyak bebatuan (shale oil) terutama AS akan terpukul jika harga minyak menurun hingga level di bawah biaya produksi itu…

  1. Isu penurunan harga bukan karena kebutuhan ekonomi akan tetapi sebagai bagian dari sanksi terhadap negara pesaing:

Ada dua isu internasional yang memiliki pengaruh dan menjadi perhatian global:

Isu perundingan nuklir Iran dan isu pendudukan Rusia terhadap Krimea. Kedua negara ini neraca APBN-nya banyak bergantung pada ekspor minyak. Ketika harga minyak turun secara tiba-tiba menjadi setengahnya, maka tanpa diragukan lagi akan berpengaruh terhadap politik kedua negara itu terhadap kedua isu tersebut. APBN Rusia, kontribusi minyak dan gas yakni energi sebesar 50%, bahkan beberapa estimasi menyatakan lebih dari itu. Maka Rusia memerlukan agar harga minyak pada level US$ 105 per barel supaya neraca APBN-nya seimbang.

Neraca APBN Iran, kontribusi minyak malah lebih dari itu… Bahkan mencapai lebih dari 80% dari neraca APBN-nya. Iran memandang bahwa harga minyak harus dinaikkan pada level lebih dari US$ 130 per barel agar bisa mengkover proyek dalam negerinya dan bisa membantu para pengikutnya di kawasan. Karena itu, jika harga minyak anjlok sampai pada level ini, maka pasti akan sangat berpengaruh terhadap neraca APBN-nya.

Ketiga, dari paparan sebab-sebab sebelumnya itu maka jelaslah hal berikut:

  1. Faktor ekonomi murni,bebas dari tujuan politik:
  2. Penawaran dan permintaan hampir tidak ada perubahan selama beberapa tahun terakhir, tetapi hanya berubah sedikit yang tidak berpengaruh kepada anjloknya harga. Hingga musim panas lalu, harga minyak global stabil pada level sekitar US$ 106 per barel (minyak mentah West Texas) hampir selama empat tahun. Akan tetapi kemudian harga minyak anjlok, yang tidak bisa ditafsirkan penuh secara ekonomi. Produksi minyak lebih dari 80 juta barel per hari selama satu dekade lalu sejak 2004. Pada akhir 2013, pasar minyak global menghasilkan minyak 86,6 juta barel per hari. Kemudian produksi minyak meningkat. Setelah itu permintaan minyak pun meningkat pada akhir tahun 2013 dan selama kuartal ketiga tahun 2014. Hingga akhirnya penawaran dan permintaan berdekatan. Berdasarkan data yang diberikan oleh IEA (International Energy Agency) pada kuartal ketiga 2014, rata-rata penawaran mencapai 93,74 juta barel dan rata-rata permintaan mencapai 93,08 juta barel (situs IEA). Itu hanya penambahan kecil selama empat tahun yang berpengaruh pada turunnya harga secara gradual beberapa dolar per barel. Akan tetapi tidak mungkin harga minyak itu anjlok menjadi setengahnya selama lima bulan kecuali jika faktor ekonomi itu tidak menjadi faktor utama.
  3. Ketegangan dan eskalasi militer, hal itu juga bukan hal baru bahkan hampir tetap selama empat tahun terakhir… Krisis kawasan tidak meningkat drastis secara tiba-tiba sehingga bisa menyebabkan anjloknya harga minyak secara tiba-tiba. Eskalasi dan ketegangan di kawasan sejak 2011 hingga sekarang terus terjadi hampir-hampir tidak ada yang mengejutkan.

Perlu diketahui bahwa pada dasarnya di tengah terjadinya krisis politik di kawasan dan di dunia akan terjadi kenaikan harga minyak seperti yang terjadi pada sejumlah insiden sejak tahun 1973. Dan sekarang krisis di Ukraina, Suria, Irak dan Libya makin intensif. Maka justru bisa diduga harga minyak akan melonjak menjadi US$ 120 per barel, bahkan bisa sampai US$ 150 per barel menurut beberapa prediksi. Anjloknya harga minyak dalam model seperti ini adalah tidak biasa jika faktor penyebabnya adalah ekonomi saja. Sebab krisis dan perang akan berpengaruh pada jalan pasokan dan berikutnya bisa menurunkan penawaran dan harga pun meningkat, bukannya malah menurun. Jadi ada sebab lain selain faktor ekonomi murni.

  1. Spekulasi dan eksploitasi data-data ekonomi. Sejak tahun 2008 ketika krisis ekonomi pada puncaknya dan berbagai masalah tidak stabil ternyata harga minyak tidak memburuk akan tetapi justru membaik. Karena itu, bisa dikatakan bahwa faktor ekonomi murni bukan menjadi sebab utama anjloknya harga minyak yang anjlok hingga 50 persennya dari level harga lima bulan sebelumnya.
  2. Faktor politik untuk menggerakkan ekonomi demi kepentingan pemilik faktor politik itu:
  3. Isu minyak bebatuan (shale oil):

Biaya ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) antara 70 – 80 dolar per barel. Dengan menggunakan teknik modern untuk mengekstrak minyak, biaya itu bisa turun sampai pada level 50 – 60 dolar per barel. Perusahaan IHS (sebuah perusahaan research) meyakini bahwa biaya produksi per barel minyak bebatuan (shale oil) telah turun dari 70 dolar per barel ke 57 dolar per barel pada tahun lalu, karena orang-orang perminyakan telah mempelajari mekanisme menggali sumur secara cepat dan mengeluarkan lebih banyak minyak (“The Senate versus Shale Oil”, The Economist, 6 Desember 2014). Karena itu, anjloknya harga minyak menjadi 50 atau 40 dolar per barel membuat ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis. Bahkan seandainya harga minyak anjlok ke level 60-70 dolar per barel sekalipun, ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) masih belum ekonomis sebab keekonomian itu menuntut adanya selisih yang sesuai antara biaya dan harga jual.

Karena itu, tidak adanya penurunan produksi OPEC atau lebih tepat tidak adanya penurunan produksi Arab Saudi adalah termasuk sebab (anjloknya harga minyak)… Sudah diketahui bersama bahwa Amerika mengeksploitasi produksi minyak bebatuan (shale oil) disebabkan naiknya harga minyak alami di atas 100 dolar per barel. Karena itu, anjloknya harga minyak alami membuat produksi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis.

Harga minyak alami bisa menanggung penurunan harga minyak dan masih tetap ekonomis, sebab biaya produksinya tidak melebihi 7 dolar per barel.Sementara pada saat yang sama minyak bebatuan (shale oil) biaya produksinya mencapai sepuluh kali lipat dari biaya itu, seperti yang baru saja kami sebutkan. Atas dasar itu maka bagaimanapun harga minyak alami itu turun maka masih tetap ekonomis. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali an-Nu’aimi, “bahwa OPEC tidak akan mengurangi produksinya sampai seandainya harga minyak mentah di pasar global anjlok hingga ke level US$ 20 per barel sekalipun” (Aljazeera, 24/12/2014). Ia menjelaskan bahwa “porsi OPEC dan demikian juga Arab Saudi tidak berubah sejak beberapa tahun lalu, yaitu sekitar 30 juta barel per hari diantaranya 6,9 juta barel berasal dari produksi Saudi. Sementara produksi di luar OPEC terus meningkat”.

Seperti sudah diketahui bersama, pemerintahan di Arab Saudi di bawah raja Abdullah sekarang memiliki hubungan yang kuat dengan Inggris. Atas dasar itu kita bisa mengatakan bahwa perhatian Arab Saudi untuk tidak menurunkan jumlah produksi dan menekan OPEC dalam hal itu adalah masih dalam cakupan politik Inggris yang bersepakat dengan Arab Saudi untuk mempengaruhi produksi Amerika atas minyak bebatuan (shale oil).

  1. Amerika mengetahui orientasi ini di dalam OPEC dengan pengaruh dari Arab Saudi yang memiliki peran besar di OPEC. Apalagi, OPEC telah melakukan pertemuan di pusatnya di Wina pada 27/11/2014 dan anggota OPEC tidak sepakat untuk menurunkan produksi untuk menguatkan harga. Hal itu karena Arab Saudi menolak penurunan produksi. Mereka menyebutkan bahwa mereka bisa menyelaraskan diri dengan penurunan harga dalam jangka pendek. Ketika Amerika mengetahui hal itu, maka John Kerry,menteri luar negeri AS,melakukan kunjungan ke Arab Saudi pada 11/9/2014 bertemu dengan Raja Arab Saudi, Raja Abdullah, di istana musim panasnya dalam sebuah kunjungan yang tidak direncanakan sebelumnya. Meskipun media massa menyebutkan sebab lain selain minyak untuk kunjungan itu, namun berbagai indikasi yang ada menunjukkan bahwa topik kunjungan tersebut adalah minyak dan harga minyak… Setelah kunjungan itu sendiri Arab Saudi mulai menambah produksi minyaknya lebih dari 100 ribu barel per hari selama sisa bulan September. Pada minggu pertama November Arab Saudi menurunkan harga minyak jenis Arab Light sebesar 45 cent per barel. Hal itu lantas mendorong harga minyak terus turun cepat dari harga US$ 80 per barel. Pejabat senior di kementerian luar negeri Amerika menegaskan bahwa pasokan minyak global dibahas dalam pertemuan itu.

Ketika dia tidak berhasil meyakinkan Arab Saudi untuk menurunkan produksinya, dia membahas isu tersebut dari sisi yang lain. Dia mengekspresikan persetujuan atas penurunan harga dan bahwa hal itu akan berpengaruh pada Rusia yang menduduki Krimea dan juga berpengaruh pada Iran dalam konteks pembicaraan nuklir. Dia berpandangan bahwa kedua justifikasi itu akan mendapatkan keridhaan dari Arab Saudi. Akan tetapi dia meminta agar penurunan harga itu pada batas US$ 80 per barel. Dan tampak bahwa Arab Saudi setuju atas hal itu atau menampakkan persetujuan. Surat kabar Inggris The Times pada edisi 166/10/2014 menyebutkan bahwa “Arab Saudi telah mengambil posisi yang diperhitungkan dengan hati-hati terhadap dukungannya untuk menurunkan harga minyak ke level US$ 80 per barel sehingga membuat ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) tidak ekonomis. Satu hal yang bisa membuat Amerika Serikat kembali mengimpor minyak dari Arab Saudi dan mengeluarkan gas bebatuan (shale gas) dari pasar”. Ungkapan ini tumbuh dari posisi Inggris di belakang Arab Saudi dalam menghadapi Amerika yang bekerja menggiatkan perekonomiannya sampai lepas dari dampak-dampak krisis finansial meski merugikan dan memukul pihak lain. Sudah diketahui bersama bahwa rezim Abdullah Ali Saud sekarang ini loyal kepada Inggris.

Amerika Serikat memperlihatkan persetujuan kepada Arab Saudi, dari sisi persetujuan atas penurunan harga. Begitu juga, AS memperlihatkan kepada Eropa bahwa tuduhan Eropa bahwa Amerika tidak memberikan tekanan serius terhadap Rusia karena menduduki Krimea dan tidak menekan Iran secara serius pada isu energi nuklir… AS memperlihatkan kepada Eropa bahwa tuduhan itu tidak benar dengan bukti persetujuannya untuk menurunkan harga minyak yang berpengaruh pada neraca APBN kedua negara itu (Rusia dan Iran)… Kemudian AS membuat senang sebagian oposisi Rusia. Jauh sebelumnya, pada Maret lalu miliarder Goerge Soros mengusulkan kepada pemerintah Amerika sarana untuk menghukum Rusia karena menggabungkan semenanjung Krimea, yaitu dengan jalan menurunkan harga minyak… Begitulah, Kerry berusaha memperlihatkan persetujuannya terhadap penurunan harga akan tetapi pada batas tertentu, kemudian mengelabui Eropa dan oposisi Rusia bahwa Amerika serius dalam menolong Ukraina melawan Rusia, berlawanan dengan realita sebenarnya…

Akan tetapi, untuk pertama kalinya Amerika mendapati dirinya tidak berhasil. Angin berhembus tidak seperti yang diharapkan oleh perahu. Penurunan minyak terjadi sampai ke level US$ 60 per barel hanya dalam beberapa bulan saja, sebab Arab Saudi berkeras untuk tidak menurunkan produksinya, bahkan Arab Saudi justru meningkatkan produksinya. Semua ini melahirkan reaksi di pasar minyak seperti yang sudah diketahui berupa pengaruh aspek-aspek tertentu terhadap harga pasar.

Keempat, adapun yang mungkin terjadi sekarang:

  1. Ada kesulitan harga akan kembali ke level sebelumnya.
  2. Akan tetapi, penurunan harga yang terus berlanjut akan berpengaruh pada kedua pihak:
  3. Terhadap Arab Saudi, dan Eropa yang ada di belakangnya khususnya Inggris. Sebab neraca APBN Arab Saudi tahun ini telah mengalami defisit sebesar 145 miliar Riyal Saudi dari anggaran belanja sebesar 860 miliar Riyal, yakni defisit sekitar 40 miliar dolar. Hal itu disebabkan turunnya harga minyak. Ini berpengaruh terhadap proyek-proyeknya di dalam negeri. Dan yang lebih penting lagi adalah apa yang menimpa ekspor Inggris ke Arab Saudi khususnya senjata disebabkan turunnya neraca APBN Arab Saudi dan defisit yang terjadi itu. Ekspor Inggris ke Arab Saudi tahun 2012 mencapai 7,5 miliar Pounsterling. Ditambah lagi investasi korporasi-korporasi Inggris yang mencapai sekitar 200 korporat dengan nilai sekitar 11,5 miliar Poundsterling dalam satu tahun. Semua itu akan terpengaruh oleh menurunnya kemampuan finansial Arab Saudi disebabkan turunnya harga minyak… Khususnya neraca pemerintah Arab Saudi 89 persen pemasukannya berasal dari ekspor minyak. Karena itu, terus berlanjutnya penurunan harga minyak akan berpengaruh dari aspek ini…
  4. Dari aspek lain, berlanjutnya penurunan harga minyak berpengaruh pada produksi Amerika atas minyak bebatuan (shale oil). Hal itu karena naiknya harga minyak pada tahun-tahun lalu membuat Amerika melakukan investasi miliaran dolar dalam ekstraksi minyak bebatuan (shale oil) di Amerika. Tampaknya hal itu berhasil sehingga menambah 4 juta barel minyak per hari sejak tahun 2008. Dan ini berpengaruh pada produksi minyak global.

Turunnya harga minyak akan menggiatkan perekonomian Amerika. Akan tetapi, kehilangannya dari perdagangan minyak bebatuan (shale oil) lebih besar dari itu. Tidak mudah bagi Amerika membiarkan Eropa, Saudi dan OPEC menghancurkan investasi Amerika.

  1. Berdasarkan hal itu, maka Amerika berusaha menggunakan teknik modern untuk menurunkan biaya produksi minyak bebatuan (shale oil) sehingga menjadi ekonomis meski harga minyak turun sekarang ini. Ini bukan perkara mudah, khususnya jika harga minyak terus turun. Tampaknya penurunan harga minyak belum akan berhenti. Hari ini 7/1/2015 dilaporkan harga minyak turun di bawah US$ 50 per barel… Bisa jadi, Amerika akan menyasar langsung Arab Saudi, lalu Amerika merekayasa beberapa krisis untuk Arab Saudi dan membuat defisit neraca APBN Arab Saudi meningkat sehingga Arab Saudi terpaksa menurunkan produksi minyaknya kemudian harga minyak pun meningkat… Atau bisa jadi, Amerika akan meringankan pemicuan krisis untuk Inggris di Yaman dan Libya dengan kompensasi Inggris menekan Arab Saudi sehingga Arab Saudi menurunkan produksi minyaknya dan berikutnya OPEC menurunkan produksinya sehingga harga minyak kembali naik lagi … karena salah satu dari ketiga faktor itu memerlukan strategi bahkan konspirasi… Atas dasar itu, krisis turunnya harga minyak akan terus menjadi obyek konflik, harga minyak akan terus berfluktuasi naik turun mengikuti pergolakan kekuatan atau mengikuti transaksi-transaksi kompromi berdasarkan metode kapitalisme…

Kelima, politik internasional sedang berada dalam turbulensi dan berguncang. Belum keluar dari satu krisis sudah masuk ke krisis berikutnya. Semua itu akibat rusaknya sistem kapitalisme yang mendominasi di dunia yang memang secara internal mengandung krisis internasional. Hal itu menciptakan kesempitan hidup bagi masyarakat khususnya dan untuk sistem internasional secara umum… Semua kerusakan, perusakan, kesengsaraan dan derita ini akan terus berlanjut selama sistem kapitalisme tetap mendominasi. Semua krisis-krisis ini tidak akan berhenti kecuali dengan solusi sistem Rabbani yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya , yaitu sistem Khilafah Rasyidah yang secara inheren mengandung keadilan dan ketenteraman bagi siapa saja yang berteduh di bawah naungannya.

﴿وَيَقُولُونَ مَتَى هُوَ قُلْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَرِيبًا﴾

“Mereka berkata: “Kapan itu (akan terjadi)?” Katakanlah: “Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat.” (TQS al-Isra’ [17]: 51)

 

16 Rabiul Awal 1436 H

07 Januari 2015 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_42758

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*