Setahun JKN, Terbukti Tak Sekedar Persoalan Teknis
Oleh: Rini Syafri (Ko. Lajnah Mashlahiyah DPP MHTI)
Pendahuluan
Pada awal pelaksanaan asuransi wajib Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijanjikan pemerintah tidak akan ada lagi sadikin (sakit jadi miskin), tidak akan ada lagi yang ditolak rumah sakit. Namun meski setahun berlalu, 1 Januari 2015 genap setahun JKN diterapkan, janji indah itu tak kunjung jadi kenyataan. Pengamatan penulis terhadap pemberitaan sejumlah media massa nasional dan daerah, cetak dan elektronika selama setahun dan pengamatan langsung di salah satu rumah sakit rujukan tingkat provinsi menunjukan hal tersebut. Hanya untuk mendapatkan kartu tanda kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masyarakat harus antri berdesak-desakan hingga berhari-hari. Tidak sedikit harus membayar mahal pelayanan kesehatan meski sudah membayar premi wajib, ditelantarkan rumah sakit, ditolak dengan berbagai alasan, dipulangkan meski masih membutuhkan perawatan intensif, bahkan ada yang dibuang.
Pemerintah dan pihak terkait bersikukuh ini semua hanyalah persoalan teknis. Terlihat dari respon pemerintah (Menteri Kesehatan) saat masyarakat antri mengular untuk mendapatkan kartu tanda kepesertaan BPJS Kesehatan. Pemerintah hanya meminta BPJS Kesehatan menambah loket dan agar melakukan pendaftaran di tingkat RT/RW, bukannya menggratiskan pelayanan kesehatan terbaik sebagaimana mestinya (Lihat: Menkes Minta BPJS Atasi Antrean Mengular di RS (Liputan6.com, 22 April 2014).
Setahun semestinya lebih dari cukup untuk mengatasi persoalan teknis. Kenyataannya waktu puluhan tahun persoalan mahalnya biaya berobat, ketersedian pelayanan yang jauh dari memadai hingga buruknya akses terhadap pelayanan kesehatan tetap tidak teratasi. Seperti di Inggris (United Kingdom), Australia, Jerman, Netherland, New Zealand, dan Kanada. Negara-Negara yang selama puluhan tahun menerapkan konsep UHC, Universal Health Coverage (cakupan kepesertaan asuransi kesehatan wajib bagi semua). Hal ini ditunjukkan penelitian Schoen dan kawan-kawan (Schoen, C., Osborn, R., Doty, M.M., Bishop, M., Peugh, J., dan Murukutia, N. Toward Higher-Performance Health Systems: Adults’ Health Care Experiences In Seven Countries, 2007. Health Aff. November, 2007, 26 (6), 717-734). Demikian pula penelitian Olah, Gaisano, dan Hwang, yang membuktikan betapa sulitnya akses masyarakat miskin Toronto Canada terhadap pelayanan kesehatan primer. Penelitian ini dipublikasi oleh The Canadian Medical Association Journal, April 2, 2013, 185(6), dengan judul The effect of socioeconomic status on access to primary care: an audit study.
Bukan Sekedar Persoalan Teknis
Bila dicermati secara seksama konsep prinsip JKN, UHC neoliberal itu sendiri yang berpotensi mencederai hak pelayanan kesehatan publik.
Pertama, komersialisasi pelayanan kesehatan. Yaitu masyarakat harus membeli pelayanan kesehatan yang semestinya diperoleh secara gratis dari pemerintah dengan kualitas terbaik. Ditandai keharusan masyarakat membayar premi wajib sebagai pra syarat memperoleh pelayanan kesehatan. Pelayanan yang lebih baik disiapkan BPJS Kesehatan melalui skema CoB (Coordination of Benefit). Kerja samanya dengan sejumlah perusahaan asuransi lain yang menyediakan plafon pelayanan lebih tinggi dengan syarat harus membayar lagi premi. Pada akhirnya pelayanan kesehatan hanya untuk yang beruang.
Kedua, Pemerintah hanya regulator. Tanggung jawab dan wewenang pentingnya sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan diserahkan pada BPJS Kesehatan. Lembaga publik asuransi wajib, yang dikelola di atas prinsip-prinsip bisnis. BPJS Kesehatan atas nama undang-undang dapat memaksa masyarakat agar membayar premi, dan hanya menanggung biaya pengobatan bagi masyarakat pembayar premi sesuai ketentuan BPJS Kesehatan. Sementara model pelayanan yang diberikan berjalan di atas sejumlah prinsip-prinsip yang mengedepankan keuntungan, mengabaikan aspek kemanusiaan yang justru sangat dibutuhkan untuk mempercepat kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien. Prinsip-prinsip tersebut adalah premi wajib yang dipopulerkan dengan sebutan gotong royong, case mix funding (pembayaran tagihan dengan sistem paket), penggajian dengan kapitasi dan referral system (pelayanan berjenjang/rujukan).
Konsep premi wajib (out of pocket), yang dipromosikan akan mengatasi bencana finansial (financial catastrophe), justru menimpakan beban finansial ganda pada masyarakat. Disamping harus membayar premi wajib masyarakat juga harus mengeluarkan biaya tidak sedikit saat sakit. Potensi beban financial ganda tersebut terletak pada sejumlah aspek berikut, yaitu: adanya plafon (batasan) pelayanan; terbatasnya ketersediaan pelayanan bagi pasien BPJS Kesehatan oleh provider BPJS Kesehatan (rumah sakit), karena selain tidak memadainya jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan juga karena tuntutan tatakelola neolib termasuk rumah sakit pemerintah yang mengedepankan perhitungan bisnis; kebutuhan mendapatkan pelayanan yang lebih baik demi kesembuhan dan keselamatan jiwa. Bagi masyarakat miskin kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau yang hampir miskin, ketiadaan biaya di tengah sistem pelayanan JKN yang minimalis ini sering berujung pada sakit yang kian parah bahkan kehilangan nyawa.
Konsep pembayaran tagihan dengan sistem paket (case mix funding) INA CBGs (Indonesia Case Based Groups) dan kapitalisasi telah berbuah pahit. Sejumah pasien dipulangkan oleh rumah sakit padahal masih membutuhkan perawatan. Hal yang sebenarnya sudah bisa diprediksi. Karena pembayaran tagihan rumah sakit oleh pihak BPJS Kesehatan bukan berdasarkan riil kebutuhan perawatan yang harus diterima pasien. Tetapi rata-rata kebutuhan perawatan sejumlah orang dengan diagnosis penyakit yang sama atau hampir sama. BPJS Kesehatan, dengan alasan efisien dan efektif, jelas akan menetapkan aspek yang lebih menguntungkannya seperti waktu perawatan yang lebih pendek. Sementara rumah sakit sekalipun rumah sakit pemerintah juga harus mencari pemasukan. Resiko pemulangan pasien sebelum sembuh akan semakin besar karena sistem kesehatan hanyalah industri yang digerakan oleh uang, seperti yang kita saksikan saat ini. Potensi bahaya serupa juga terdapat pada konsep penggajian kapitasi.
Konsep pelayanan berjenjang (referral system) dijanjikan akan meningkatkan kualitas pelayanan karena penumpukan pasien pada fasilitas kesehatan tingkat rujukan (rumah sakit) justru menambah panjang catatan penderitaan masyarakat. Tidak memadainya ketersediaan faskes (fasilitas kesehatan) dan nakes (tenaga kesehatan) serta batasan plafon mengharuskan pasien BPJS setidaknya antri 6-8 jam bahkan lebih untuk memperoleh pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan lanjutan (rumah sakit). Ini belum lagi kesulitan mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas dan dokter keluarga. Bagaimanapun referral system telah mengabaikan prinsip yang sangat penting, yaitu ketepatan dan kecepatan penegakan diagnosis dan pengobatan.
Demikianlah fakta konsep UHC , JKN yang semakin menegaskan matinya fungsi Negara dalam sistem politik demokrasi neoliberal, memudarkan dedikasi dan idealisme nakes serta memperpanjang penderitaan masyarakat. Bagaimanapun baiknya penerapan konsep-konsep tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Karena persoalannya justru pada konsep neoliberal itu sendiri.
Atas semua itu, menjadi sangat urgen bagi pemerintah dan semua fihak terkait berfikir ulang untuk melanjutkan kebijakan JKN, dan menggantinya dengan kebijakan jaminan kesehatan khilafah yang sohih.
Sungguh Allah swt telah mengingatkan dalam QS Ibrahim (14): 26, yang artinya,”Dan perumpamaan kalimat yang buruk (konsep yang salah, batil) seperti pohon yang buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”
Tentang hasil survei yang menunjukkan 81% peserta BPJS Kesehatan puas dengan kinerja BPJS Kesehatan (Kompas, 30 Desember 2014), dengan memperhatikan konsep prinsip JKN dan variabel yang diteliti, bukanlah menunjukkankesejahteraan kebijakan JKN. Tetapi bukti bahwa masyarakat semakin terbiasa dengan haknya yang terampas dan abainya pemerintah terhadap tanggungjawabnya. Disamping menunjukkan keberhasilan pemerintah dan pihak terkait mengubah persepsi dan perasaan masyarakat sesuai konsep neolib UHC, JKN.
Konsep Shohih Jaminan Kesehatan Khilafah Yang Menyejahterakan.
Konsep shohih jaminan kesehatan yang menyejahterakan hanyalah berasal dari Allah swt Zat Yang Maha Sejahtera. Terpancar dari aqidah Islam, mengalir dari telaga kebenaran Al Quran dan As Sunnah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Konsep prinsip tersebut hanyalah berpotensi menyejahterakan setiap individu masyarakat. Konsep prinsip tersebut diantaranya adalah:
Pertama, pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik yang dijamin langsung pemenuhannya oleh Negara. konsep ini tidak saja meletakkan dinding yang tebal antara pelayanan dengan dan aspek komersial, tetapi juga terlarang dikomersialisasikan. Ditegaskan Rasulullah saw, yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapai keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”. (HR Bukhari). Ini dalil kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik. Sedangkan perbuatan Rasulullah saw memanfaatkan dokter yang dihadiahkan kepada beliau untuk kemashlahatan publik menunjukkan pemenuhan pelayanan kesehatan langsung oleh Negara.
Kedua, Negara bertanggungjawab dan berwewenang sepenuhnya dalam pengelolaan pelayanan kesehatan dalam rangka menjamin pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat. Tidak dibenarkan tanggung jawab dan wewenang penting ini didistribusikan kepada masyarakat dan korporasi atau kuasi korporasi seperti BPJS Kesehatan. Negara adalah penyelenggara langsung, tidak dibenarkan hanya sebagai regulator, sementara operator dan providernya institusi bisnis. Rasulullah saw menegaskan yang artinya, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Bukhari).
Ketiga, Anggaran bersifat mutlak. Artinya baik ada maupun tidak ada tersedia kekayaan Negara untuk pembiayaan penyelenggaraan pelayaan kesehatan wajib diadakan Negara. Karena jika tidak akan berbuah kemudharatan, yang semestinya di cegah Negara. Bahkan Negara pihak yang paling bertanggung menghilangkannya. Meski hanya pada satu orang, karena amat Allah swt berfirman, yang artinya “..Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia maka seakan-akan dia telah memeliharakehidupan semua umat manusia…” (TQS Al Maaidah: 32).
Keempat, Puskesmas dan rumah sakit pemerintah, demikian juga institusi pendidikan pemerintah termasuk perguruan tinggi pencetak tenaga medis merupakan institusi perpanjangantangan fungsi raa’in. Sehingga apapun alasan tidak dibenarkan berstatus sebagai institusi bisnis. Termasuk terlarang di- BLU/D dan atau berstatus PTN BH (pada pendidikan tinggi).
Kelima, kendali mutu mengacu pada tiga strategi utama, administrasi yang simple, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh personal yang kapabel. Yang demikian karena Rasulullah saw telah bersabda, artinya, “Sesungguhnya Allah swt telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu….”. (HR Muslim).
Keenam, kekuasaan bersifat sentralisasi, administrasi bersifat desentralisasi.Penerapan konsep – konsep prinsip jaminan kesehatan khilafah tersebut, melalui penerapan sistem kehidupan Islam secara kaafah (totalitas) yang konstruktif terhadap upaya preventif meniscayakan terwujudnya pelayanan kesehatan yang Available (semua pelayanan kesehatan yang dibutuhkan mudah diperoleh, continuous (selalu tersedia); dan accessible (lokasi mudah dijangkau).
Allah swt berfirman dalam QS Ibrahim (14): 24 dan 25, yang artinya,”Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan c abangnya menjulang ke langit; (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan izin Rabnya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.”. Allahu A’lam. []