Ada Kehidupan di Dalam Hukuman Mati

[Al-Islam edisi 740, 2 Rabiuts Tsani 1436 H – 23 Januari 2015 M]

Eksekusi terhadap enam orang terpidana mati dalam kasus narkoba akhirnya dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung pada Ahad (18/1) dinihari lalu. Dari keenam tereksekusi itu lima orang adalah warga negara asing dari Brasil, Malawi, Nigeria, Belanda dan Vietnam. Seorang lagi WNI asal Cianjur Jabar.

Eksekusi itu mendapat reaksi, baik dari dalam maupun luar negeri. Belanda dan Brasil yang memanggil kembali Duta Besarnya di Indonesia untuk konsultasi. Australia tidak setuju hukuman mati dan menekan agar ditiadakan. Perwakilan Tinggi Uni Eropa Frederica Mogherini menyesalkan eksekusi mati itu. Ia menyatakan Uni Eropa menentang eksekusi mati dalam semua kasus dan tanpa pengecualian (Kompas, 19/1).

Di dalam negeri, ketidaksetujuan terhadap hukuman mati muncul dari beberapa kelompok terutama pegiat HAM serta dari beberapa tokoh Katolik dan Kristen. Sebagian beralasan, negara mestinya menjamin hak hidup warganya. Sebagian menilai pelaksanaan hukuman mati menjadi kemunduran bagi Indonesia. Sebagian lain lagi beralasan, eksekusi mati bukanlah solusi yang bisa mengurangi angka kejahatan.

Dukungan Atas Hukuman Mati

Lebih banyak pihak dari masyarakat yang mendukung pelaksanaan hukuman mati, khususnya dalam konteks kejahatan narkoba. Para ulama (Republika, 20/1) menyetujui penerapan hukuman mati bagi pengedar narkotika. Mereka menilai bahwa narkotika memiliki daya rusak yang besar terhadap masyarakat.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas, narkotika dapat merusak dan membunuh hingga ratusan ribu jiwa. “Ini lebih parah dari pembunuhan biasa”.

Sekjen PBNU Masdar F Masudi memandang hukuman mati sebagai wujud keadilan. Apalagi kejahatan narkotika merusak nilai kemanusiaan. “Narkotika itu ibarat seperti membunuh orang dengan skala banyak secara perlahan-lahan,” katanya.

Anwar Abbas dari MUI mengungkapkan, hukuman mati itu adil untuk pengedar narkoba karena mereka telah mencabut hak hidup orang lain. Hakim Agung Artidjo Alkostar mengatakan, hukuman mati merupakan konsekuensi etis, konsekuensi logis dan konsekuensi yuridis bagi kejahatan yang berdampak luar biasa.

Sinyal Ketegasan?

Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, “Kami ingin memberikan sinyal kepada semua pihak bahwa kita tidak main-main dalam memberantas kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika adalah kejahatan luar biasa sehingga harus juga ditangani secara luar biasa.” (Kompas, 19/1).

Menlu Retno LP Marsudi mengatakan, “Kejahatan narkoba yang terjadi di Indonesia sudah luar biasa. Dari transaksi narkoba di kawasan ASEAN saja, sebanyak 43 persennya ada di Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia berada di urutan ketiga negara pemakai terbesar, juga peredaran di seluruh dunia.”

Pakar hukum pidana Indrianto Seno Adji mengatakan, pelaksanaan hukuman mati sebaiknya dilakukan secara cepat, tegas dan lugas.

Menurut Hibnu Nugroho, dosen hukum Unsoed, percepatan eksekusi diperlukan agar jangan sampai orang yang sudah lama diputus tidak segera dieksekusi (Kompas, 19/1).

Perlu diketahui, menurut data yang ditampilkan oleh Republika (19/1), saat ini ada 137 orang terpidana mati yang belum dieksekusi. Dari jumlah itu, sebanyak 69 orang terpidana mati kasus pembunuhan dan perampokan, dua orang terpidana mati kasus terorisme dan sebanyak 66 orang terpidana mati kasus narkoba (39 orang adalah warga negara asing dan 27 orang WNI).

Efek Jera

Hukuman termasuk hukuman mati dalam sistem saat ini boleh jadi tidak akan terlalu efektif untuk menjadi solusi memberantas kejahatan. Pasalnya, sistem lainnya tidak mendukung, bahkan tak jarang turut memunculkan faktor terjadinya kejahatan.

Dalam kasus narkoba, ide kebebasan dan hedonisme yang terus dijejalkan pada benak masyarakat turut menjadi faktor maraknya penggunaan narkoba. Alasan ekonomi kadang membuat orang terlibat peredaran narkoba. Alasan ekonomi itu terjadi akibat sistem ekonomi kapitalisme liberal gagal mendistribusikan kekayaan negeri ini secara merata dan berkeadilan kepada seluruh rakyat.

Bahkan sistem hukum saat ini sendiri tidak padu. Di satu sisi, hukuman mati terhadap pelaku kejahatan pengedaran narkoba diharapkan bisa menekan maraknya kejahatan narkoba. Di sisi lain, sistem hukum yang sama menilai pengguna narkoba tidak mesti dijatuhi hukuman, tetapi cukup direhabilitasi. Hal itu tidak lagi menjadi pencegah orang untuk mengkonsumsi narkoba. Dengan begitu, pasar bagi narkoba akan tetap ada, bahkan cenderung membesar. Jika ada permintaan maka akan ada pihak yang terdorong untuk memenuhi permintaan itu, apalagi jika harganya tinggi. Karena itu hukuman mati terhadap pelaku kejahatan pengedaran narkoba saat ini sulit diharapkan akan bisa efektif menekan angka kejahatan narkoba.

Sistem Islam Efektif Mengatasi Kejahatan

Sistem Islam sebagai satu kesatuan akan efektif mengatasi masalah kejahatan di masyarakat. Pertama: Islam mewajibkan negara untuk tanpa henti membina keimanan dan ketakwaan rakyat. Keimanan dan ketakwaan itu akan menjadi faktor pencegah sangat efektif dalam diri seseorang yang bisa mencegah dia dari melakukan kejahatan apapun bentuknya.

Kedua: Sistem ekonomi Islam akan bisa mendistribusikan kekayaan negeri secara merata dan berkeadilan kepada seluruh rakyat. Jika ada yang luput oleh mekanisme ekonomis, maka Islam mewajibkan pemenuhan kebutuhan pokok dijamin melalui mekanisme non-ekonomis. Islam mewajibkan negara mewujudkan hal itu. Dengan begitu, alasan ekonomi tidak lagi menjadi faktor yang orang melakukan kejahatan.

Ketiga: Jika dengan semua itu masih ada orang yang melakukan tindak kriminal, maka sistem sanksi (‘uqubat) Islam akan menjadi palang pintu terakhir yang efektif. Sanksi hukum Islam akan efektif memberi efek jera yang bisa mencegah terjadinya kejahatan. Dalam kasus narkoba, Islam dengan tegas mengharamkan narkoba. Orang yang mengkonsumsi narkoba berarti telah melakukan kemaksiatan atau tindakan kriminal. Ia bisa dijatuhi sanksi ta’zir yang jenis dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau qadhi. Bagi pengedar narkoba, sanksi ta’zir-nya lebih berat, bahkan bisa sampai hukuman mati dengan memperhatikan tingkat dan dampak kejahatan itu bagi masyarakat.

Dalam kasus pencurian, Islam menetapkan hukuman potong tangan sampai pergelangan tangan jika memenuhi syarat-syaratnya. Untuk kejahatan perampokan dan begal jalanan yang bisa menimbulkan teror di masyarakat, hukumannya adalah hukuman mati atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bertimbal-balik atau dibuang dari negeri (QS al-Maidah [5]: 33), sebagaimana yang dirinci di dalam sistem ‘uqubat Islam. Untuk kasus pembunuhan yang tidak disengaja, sanksinya adalah membayar diyat (denda) berupa seratus ekor unta. Untuk pembunuhan disengaja, sanksinya adalah qishash (dibalas bunuh) kecuali dimaafkan oleh ahli waris korban dan dia harus membayar diyat.

Allah SWT menjelaskan bahwa di balik sanksi-sanksi hukuman yang keras itu ada kehidupan bagi masyarakat.

]وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[

Di dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179)

 

Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, menjelaskan, “Di dalam pensyariatan qishash terdapat hikmah besar untuk kalian, yaitu kehidupan bisa bertahan dan terlindungi. Sebab, jika seseorang tahu pembunuh itu akan dibunuh, maka ia akan tercegah dari perbuatan itu. Artinya, dalam yang demikian ada kehidupan bagi jiwa-jiwa manusia.”

Asy-Syaukani dalam Fath al-Qadîr mengatakan, “Seruan ini diarahkan kepada orang yang berakal sebab merekalah orang-orang yang melihat akibat-akibat dan membentengi apa yang mengandung bahaya nantinya. Adapun orang bodoh dan ceroboh, dalam potret kemarahannya dan keberaniannya yang mendidih, tidak melihat akibat dan tidak memikirkan perkara yang akan datang.”

Sifat memberi efek jera—yang bisa mencegah orang untuk melakukan kejahatan—bukan hanya dimiliki oleh hukuman qishash saja, melainkan ada pada seluruh sanksi hukuman dalam Islam. Efek jera ini akan efektif, sebab pelaksanaan eksekusi atas sanksi itu dilakukan secara cepat, tidak tertunda lama sejak diputuskan dan tidak berlarut-larut. Dalam Islam, vonis yang dijatuhkan pun harus segera dieksekusi. Kasih sayang terhadap pelaku tidak boleh menghalangi pelaksanaan hukum Allah SWT. Dengan dekatnya waktu pelaksanaan vonis dan eksekusi maka masyarakat jelas masih ingat pelaku itu dihukum atas kejahatan apa. Efek jera atas kejahatan serupa pun kuat terbentuk. Efek jera ini makin efektif karena Islam mensyariatkan pelaksanaan sanksi hukuman itu tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi harus dilakukan secara terbuka, bisa disaksikan oleh masyarakat, sebagaimana yang diharuskan dalam pelaksanaan hukuman bagi orang yang berzina (QS an-Nur [24]: 2).

Namun, harus diingat bahwa semua kebaikan itu hanya bisa terealisasi manakala seluruh sistem Islam termasuk sistem sanksi ‘uqubat diterapkan secara total. Hal itu akan bisa diwujudkan melalui penerapan syariah secara total di bawah sistem Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah yang mestinya segera dan mendesak diwujudkan oleh kaum Muslim saat ini. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam

Tokoh partai politik pendukung Pemerintah mendominasi keanggotaan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang dilantik Presiden Joko Widodo, Senin (19/1), di Istana Negara Jakarta. Hal ini membuat pemilihan anggota Wantimpres dinilai sarat politik akomodasi (Kompas, 20/1).

  1. Politik akomodasi adalah bagian integral dari politik demokrasi, sebab parpol jadi penentu siapa yang bisa jadi presiden. Tanpa parpol, Jokowi tak bisa jadi presiden.
  2. Lengkap sudah, Wantimpres banyak diisi petugas partai, klop dengan presiden yang juga petugas partai.
  3. Makin banyak janji yang tak terbukti. Sudah saatnya rakyat sadar diri dari tipu-tipu politik demokrasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*