Noam Chomsky adalah Professor Emeritus Fakultas Linguistik dan Filsafat di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Buku terbarunya berjudul “Masters of Mankind”. Situs pribadinya adalah www.chomsky.info. Tulisan berikut ini adalah opini Chomsky yang dimuat di portal berita CNN (20/1).
Setelah serangan teroris ke Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang termasuk editor dan empat kartunis, dan pembunuhan empat orang Yahudi di swalayan halal Yahudi tidak lama setelahnya, Perdana Menteri Perancis Manuel Valls mendeklarasikan “perang terhadap terorisme, terhadap jihad, terhadap Islam radikal, terhadap semua hal yang merusak persaudaraan, kebebasan, solidaritas.”
Jutaan orang berdemonstrasi mengutuk kekejaman tersebut, semakin dilantangkan oleh paduan suara kengerian di bawah bendera “Saya Charlie”. Tersirat jelas pernyataan kemarahan, yang diungkapkan dengan baik oleh Pemimpin Partai Buruh Israel dan kandidat utama pada pemilu mendatang, Isaac Herzog, yang mengatakan bahwa “terorisme adalah terorisme. Tidak ada dua istilah untuk itu” dan bahwa “semua negara yang mencari perdamaian dan kebebasan (menghadapi) tantangan besar” dari kekerasan yang brutal.
Kejahatan itu juga memicu banjir komentar, mempertanyakan hingga akar serangan yang mengejutkan ini dengan kebudayaan Islam dan mencari cara mengatasi gelombang pembunuhan oleh terorisme Islam tanpa mengorbankan nilai-nilai kita. New York Times menyebut serangan itu sebagai “benturan peradaban”, namun dikoreksi oleh kolumnis harian tersebut Anand Giridharadas, yang mencuit bahwa itu “bukan dan tidak akan pernah menjadi atau berada di antara perang peradaban. Tapi sebuah perang UNTUK peradaban melawan kelompok di luar itu. #CharlieHebdo.”
Keadaan di Paris digambarkan dengan terperinci oleh koresponden veteran Eropa untuk New York Times Steven Erlanger: “Hari dimana sirine, helikopter di udara, kepanikan kantor berita; barisan polisi dan massa yang cemas; anak-anak dipulangkan dari sekolah demi keamanan. Itu adalah, seperti dua peristiwa sebelumnya, penuh darah dan horor di dalam dan sekitar Paris.”
Erlanger juga mengutip seorang wartawan yang selamat yang mengatakan “Semuanya pecah. Tidak ada jalan keluar. Ada asap dimana-mana. Sangat buruk. Orang-orang berteriak. Ini mimpi buruk.” Laporan lainnya bertuliskan “ledakan besar, dan semuanya gelap gulita.” Sebuah keadaan yang oleh Erlanger dilaporkan sebagai “keadaan yang dipenuhi pecahan kaca, tembok yang rusak, kayu yang bengkok, cat yang hangus dan kerusakan emosional.”
Kutipan-kutipan terakhir di atas—seperti yang diingatkan oleh wartawan independen David Peterson—bukan dari peristiwa pada Januari 2015. Tetapi, itu laporan Erlanger pada 24 April 1999, yang kurang menarik perhatian. Saat itu Erlanger tengah melaporkan “serangan rudal” NATO “ke markas stasiun televisi pemerintah Serbia” yang membuat “Radio Televisi (RTV) tidak tayang,” membunuh 16 jurnalis.
“NATO dan pejabat Amerika membela serangan tersebut,” lapor Erlanger, “sebagai sebuah upaya melemahkan rezim Presiden Slobodan Milosevic di Yugoslavia.” Juru bicara Pentagon Kenneth Bacon dalam pernyataannya di Washington mengatakan bahwa “TV Serbia adalah bagian dari mesin pembunuh Milosevic seperti militernya” sehingga menjadi target sasaran yang dibenarkan.
Tidak ada demonstrasi atau letupan kemarahan, tidak ada teriakan “Kami RTV,” tidak ada yang mempertanyakan akar serangan itu dalam kebudayaan Kristen dan sejarah. Sebaliknya, serangan terhadap media itu dipuji. Diplomat AS yang sangat dihormati Richard Holdbrooke, yang saat itu jadi utusan untuk Yugoslavia, mengatakan kesuksesan serangan pada RTV “sangat penting dan, saya kira, adalah perkembangan yang positif,” sebuah pernyataan yang diamini banyak orang.
Ada banyak peristiwa lainnya yang tidak memicu pertanyaan soal kebudayaan barat dan sejarah—contohnya, serangan tunggal terparah di Eropa dalam beberapa tahun terakhir, pada Juli 2011, saat Anders Breivik, seorang ekstremis Kristen ultra-Zionis dan Islamofobik, membantai 77 orang, kebanyakan remaja.
Yang juga diabaikan dalam “perang terhadap terorisme” yaitu sebuah kampanye teroris paling ekstrem di era modern—kampanye pembunuhan global Barack Obama yang mengincar orang-orang yang diduga atau mungkin berniat mencelakai kita suatu hari nanti, dan orang-orang malang yang kebetulan ada di dekatnya. Orang-orang malang ini tidak pernah berkurang, seperti 50 warga sipil yang dilaporkan terbunuh dalam serangan pengeboman (udara) yang dipimpin AS di Suriah Desember lalu, yang jarang dipublikasikan.
Satu orang dihukum terkait serangan NATO ke RTV—Dragoljub Milanovic, direktur umum stasiun TV itu, yang dihukum oleh Pengadilan HAM Eropa selama 10 tahun penjara karena gagal mengevakuasi gedung, seperti disampaikan Komite Perlindungan Jurnalis. Pengadilan Kriminal Internasional untuk Yugoslavia menganggap serangan NATO, menyimpulkannya bukan sebuah kejahatan, walaupun korban sipil yang jatuh “sayangnya banyak, (namun) tak tampak tidak proporsional.”
Perbandingan kasus-kasus ini membantu kita memahami kutukan terhadap New York Times dari pengacara hak sipil Floyd Abrams yang terkenal dengan pembelaannya yang luar biasa terkait kebebasan berekspresi. “Ada waktunya untuk menahan diri,” tulis Abrams, “tapi di saat terjadi serangan paling mengancam jurnalisme yang pernah diingat, (editor the Times) sebaiknya menunjukkan dukungan terhadap kebebasan berekspresi dengan terlibat di dalamnya” dengan mempublikasikan kartun Charlie Hebdo yang mengejek Muhammad sebagai pemicu serangan.
(catatan redaksi: New York Times adalah satu-satunya koran besar di AS yang tidak menampilkan gambar sampul edisi terbaru Charlie Hebdo)
Abram memang benar dengan menggambarkan serangan Charlie Hebdo sebagai “serangan paling mengancam jurnalisme yang pernah diingat.” Alasan penggunaan konsep “yang pernah diingat,” sebuah kategori yang dengan teliti dimaksudkan untuk menunjukkan kejahatan mereka terhadap kita, namun dengan sangat hati-hati mencoba mengecualikan kejahatan kita terhadap mereka—yang terakhir ini bukanlah kejahatan, namun sebuah pertahanan yang mulia terhadap nilai-nilai tinggi, yang terkadang tidak sengaja dicitrakan dengan tanpa cacat.
Ini bukan tempat untuk mempertanyakan soal apa yang “dipertahankan” saat RTV diserang, tapi pertanyaan sangat informatif.
Banyak ilustrasi lainnya untuk “yang pernah diingat.” Salah satunya adalah serangan Marinir di Fallujah pada November 2004, salah satu kejahatan paling buruk AS dan Inggris dalam invasi ke Irak.
Serangan itu dibuka dengan dikuasainya Rumah Sakit Umum Fallujah, sebuah kejahatan perang besar terlepas dari bagaimana pelaksanaannya. Kejahatan ini dilaporkan secara mencolok di halaman depan New York Times, dihiasi dengan foto yang menggambarkan bagaimana “pasien dan pegawai rumah sakit dikeluarkan dari ruangan oleh pasukan bersenjata dan diperintahkan duduk atau berbaring di lantai sementara tentara mengikat tangan mereka di belakang.” Pendudukan rumah sakit itu dipuji dan dibenarkan: tindakan itu “mematikan apa yang disebut aparat sebagai senjata propaganda militan: Rumah Sakit umum Fallujah, dengan aliran laporan korban sipilnya.”
Terbukti, ini bukanlah serangan terhadap kebebasan berekspresi, dan tidak masuk kualifikasi “yang pernah diingat.”
Ada pertanyaan lainnya. Seseorang secara alami akan bertanya bagaimana Perancis menegakkan kebebasan berekspresi dan prinsip suci “persaudaraan, kebebasan, solidaritas.”
Contohnya, apakah Undang-undang Gayssot, yang berkali-kali diterapkan, memberikan negara hak untuk menentukan fatwa Kebenaran Historis dan menghukum para pembangkang dari fatwa tersebut? Dengan mengusir keturunan para pelaku Holocaust (Roma) untuk diadili di Eropa Timur? Dengan perlakuan menyedihkan terhadap imigran Afrika Utara di pinggiran kota Paris tempat teroris Charlie Hebdo menjadi jihadis? Saat jurnal pemberani Charlie Hebdo memecat kartunis Sine dengan alasan komentarnya bernada anti-semit? Banyak pertanyaan lain yang akan dengan cepat muncul.
Semua orang dengan mata yang terbuka akan dengan cepat menyadari hal-hal lainnya yang hilang. Mereka yang paling menonjol yang menghadapi “tantangan besar” dari kekerasan brutal adalah warga Palestina, sekali lagi selama serangan kejam Israel terhadap Gaza pada musim panas 2014, yang membunuh banyak wartawan, terkadang saat berada di mobil yang terpampang jelas tanda pers, bersama dengan ribuan warga lainnya, sementara penjara luar ruangan yang dijalankan Israel, sekali lagi menjadi puing dengan alasan yang runtuh seketika saat dilakukan pemeriksaan.
Pertanyaan yang juga diabaikan adalah pembunuhan tiga jurnalis lagi di Amerika Latin pada Desember, sehingga jumlahnya tahun lalu menjadi 31. Di Honduras saja ada lebih dari sepuluh wartawan yang terbunuh pada kudeta militer tahun 2009 yang diakui Amerika Serikat (tapi sedikit negara lainnya), mungkin Honduras pasca-kudeta merupakan juaranya pembunuhan jurnalis per kapita. Tapi sekali lagi, ini bukan dianggap serangan terhadap kebebasan berekspresi yang pernah diingat.
Tidak sulit menjabarkannya. Contoh yang sedikit ini menggambarkan prinsip yang sangat umum yang diterapkan dengan dedikasi dan konsistensi yang mengagumkan: semakin banyak kita menyalahkan kejahatan musuh, semakin besar kemarahannya; semakin besar tanggung jawab untuk kejahatan tersebut, sehingga semakin banyak yang kita bisa lakukan untuk menghentikannya. Namun semakin sedikit perhatiannya, maka akan cenderung dilupakan dan muncul penolakan.
Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, ini bukanlah perkara “terorisme adalah terorisme. Tidak ada dua istilah untuk itu”. Jelas ada dua istilah untuk kasus ini: Mereka versus kita. Dan bukan hanya terorisme.(cnnindonesia.com, 21/1/2015)