Bagi Majalah ‘Elan’ Linda Sarsour adalah salah satu dari 15 wanita paling inspiratif dari Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan. Majalah itu menunjukknya sebagai seorang yang banyak melakukan “aktivisme sosial” yang memberdayakan baik komunitas Arab Amerika dan Afrika Amerika.
Namun, dirinya digambarkan oleh “ahli teror” Steven Emerson sebagai seorang Islamis yang bersimpati dengan kelompok ‘teroris’ seperti Hamas.
Sarsour mengatakan bahwa dia senantiasa blak-blakan berbicara menentang apa yang dia yakini sebagai kejahatan perang yang dilakukan oleh pemerintah Israel, suatu hal yang tidak disukai orang seperti Steven Emerson.
Emerson menjadi berita utama baru-baru ini saat muncul di CNN dengan mengatakan bahwa Birmingham, kota kedua terbesar di Inggris, adalah kota terlarang untuk non-Muslim. Bersama tokoh-tokoh lain seperti Brooke Goldstein, Brigitte Gabriel dan Robert Spencer, dia adalah bagian dari kelompok yang lembaga-lembaga thinktank untuk menyebarkan sentimen anti-Islam (Islamofobia).
Sebuah laporan yang dirilis oleh Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) tahun lalu mengungkapkan bahwa lebih dari $ 119 juta telah disalurkan melalui yayasan dan donor kepada lembaga-lembaga tersebut, yang menawarkan para “ahli” untuk berbicara di televisi nasional dan untuk menyarankan para penegak hukum bersaksi di sidang dan bekerja dengan legislator negara. Lembaga-lembaga itu juga mendapat pendanaan dari kelompok-kelompok pro-Israel.
Menurur Sarsour apa yang dilakukan orang-orang seperti Steven sangat berbahaya di Amerika dimana yang dilakukannya adalah menfitnah Islam dan Muslim. Menurut Sarsour, rata-rata orang Amerika akan mengambil pandangan dari orang-orang semacam Emerson secara serius karena mereka mendapatkan outlet berita utama dan muncul di TV sebagai ahli terorisme. “Outlet berita utama terus memberikan platform bagi orang-orang yang tidak ahli dalam hal apapun yang memungkinkan mereka untuk terus menyebarkan informasi yang salah dan kebodohan dari masyarakat yang fanatik,” kata Sarsour.
Prasangka buruk tersebut memiliki banyak konsekuensi bagi komunitas Muslim di Amerika. “Wanita yang berjilbab akan dikeriksa dan di-skrining setiap kali ke bandara,” kata Sarsour.
Selain media, sistim sekolah juga memberikan kontribusi terhadap sikap anti-Islam di AS, karena tidak ada studi yang mengintegrasikan antara Arab atau Muslim Amerika dalam kurikulum. “Setiap kali ada serangan teroris yang mereka dengar adalah Islam dan terorisme,” katanya. Selain itu, film-film Hollywood sering menggambarkan Arab Amerika sebagai penjahat atau teroris. “Tidak ada yang menggambarkan mereka sebagai pahlawan atau seseorang yang memberikan kontribusi terhadap masyarakat.”
Di 24 negara bagian AS telah ada upaya untuk mensyahkan UU Anti Syariah “yang pada dasarnya akan membatasi Muslim untuk mempraktekkan agama mereka sepenuhnya,” kata Sarsour. Undang-undang seperti itu dirancang untuk melawan “ancaman yang dirasakan bahwa kaum Muslim merusak konstitusi AS dan akan memberlakukan hukum Syariah,” kata sebuah artikel di loonwatch.com.
Yang mengejutkan adalah bahwa para anggota parlemen percaya bahwa mereka bisa mencoba meloloskan UU yang membatasi kebebasan beragama di masyarakat di negara seperti Amerika dan yang lebih mengejutkan adalah tidak ada protes besar dari rakyat Amerika.
Mendapatkan izin untuk membangun sebuah lembaga keagamaan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini sangat sulit dan keterlaluan dan mendapat tantangan.
“Di Amerika Serikat mereka berbicara tentang kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan namun kami mendapat UU yang menentang pembangunan masjid. Orang-orang berbicara tentang kebebasan berbicara seolah-olah itu hanya nilai-nilai Barat.”
Sarsour juga telah meluncurkan hashtag #WhereIsTheSolidarity di mana para pengguna media sosial dapat bersatu untuk membahas solidaritas kelompok kulit hitam dan Arab. Masyarakat Afrika Amerika memiliki keluhan yang serupa dengan Arab Amerika dalam hal bullying, perlakukan oleh para agen penegak hukum, kesalahpahaman dan bias media dan bagaimana mereka diperlakukan dalam sistem sekolah.
Serangan Charlie Hebdo baru-baru ini di Paris tidak diragukan lagi akan memiliki dampak di seluruh dunia. “Kami kembali lagi harus berbicara tentang hubungan Islam dan terorisme dan itu adalah percakapan yang sangat bermasalah,” kata Sarsour. “Setiap kali kami merasa maju beberapa langkah ke depan, kami menemukan diri kami bergerak mundur beberapa langkah karena orang-orang tenggelam dalam percakapan yang tidak bernuansa dan tidak memiliki konteks.”
“Jika seorang pria kulit putih mengebom klinik aborsi kami tidak mengatakan: “Hei, semua orang Kristen silakan berdiri dan kutuk orang kulit putih ini.”
“Tidak pernah ada pembenaran atas pembunuhan orang yang tidak bersalah, tetapi di tempat seperti Perancis orang tidak memiliki kebebasan beragama – Saya tidak bisa memakai jilbab dan belajar di perguruan tinggi negeri, saya tidak bisa memakai jilbab dan bekerja untuk pemerintah. Kami dilarang shalat di luar. Dalam musim panas lalu mereka dilarang melakukan protes pro-Palestina atas Perang Gaza. Anda tidak dapat berbicara tentang kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi dan kemudian memiliki undang-undang yang berdampak kepada komunitas mayoritas Muslim,” pungkasnya.[]
(middleeastmonitor.com, 20/1/2015)