Pengantar:
Setelah empat tahun berlalu, ‘Arab Spring’ menyisakan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, ‘Revolusi Arab’ ini tampak jelas mengarah pada kegagalan. Memang, revolusi sukses menumbangkan sebagian rezim Arab yang rata-rata otoriter dan kejam seperti Ben Ali di Tunisia, Qaddafi di Libia dan Mubarak di Mesir. Namun, rezim baru pengganti mereka tidaklah lebih baik. Bahkan di Mesir, al-Sisi tidak kalah otoriter dan kejam dibanding Mubarak.
Pertanyaannya: Mengapa ‘Arab Spring’—yang notabene revolusi massa—gagal? Mengapa pula demokrasi sebagai jalan perubahan pasca revolusi pun menuai kegagalan yang sama? Apa faktor penyebabnya? Bagaimana pula jalan yang benar menurut Islam dalam menciptakan perubahan? Itulah di antara beberapa pertanyaan yang penting untuk dijawab.
Untuk itu, kali ini Redaksi mewawancarai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (DPP HTI), KH Hafidz Abdurrahman untuk mengetahui realitas ‘Arab Spring’ yang sebenarnya, dan bagaimana seharusnya umat ini melakukan perubahan sesuai dengan tutunan Islam. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Ustadz melihat kondisi Revolusi Arab saat ini, berhasil atau gagal?
Secara umum bisa dikatakan belum berhasil. Meski demikian, ada satu hal yang harus dicatat, bahwa secara umum sambutan umat Islam di wilayah tersebut memenuhi seruan Khilafah jauh lebih kuat ketimbang seruan yang lain. Bahkan Mursi pun, saat kampanye, harus menyatakan dukungan kepada Khilafah. Jujur saja, inilah yang membuat Barat dan negara kafir penjajah mengalami ketakutan luar biasa.
Ada yang mengatakan bahwa kegagalan Revolusi Arab itu adalah kegagalan Islam?
Tidak. Justru Revolusi Arab ini gagal karena tidak menggunakan Islam. Islam hanya digunakan untuk menarik simpati umat. Islam tidak benar-benar digunakan untuk memerintah. Contoh terbaik adalah kasus Mursi di Mesir. Kemenangannya didukung oleh Ikhwanul Muslimin dan Salafi. Namun, saat ia berkuasa, bukan Islam yang digunakan untuk memerintah. Dengan kata lain, yang sampai ke tampuk kekuasaan adalah orang Islamnya, bukan Islam itu sendiri.
Revolusi Arab pada akhirnya mengambil jalan demokrasi seperti Tunisia, Mesir, Yaman, namun semuanya gagal. Mengapa dengan jalan demokrasi gagal?
Karena demokrasi bukanlah metode yang diajarkan Islam untuk meraih kekuasaan. Demokrasi itu sendiri menganut trias politika. Ada kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan kata lain, kekuasaan dalam sistem demokrasi tidak bulat di tangan satu orang atau lembaga. Karena itu kemenangan meraih kekuasaan eksekutif tidak identik dengan kemenangan mutlak atas seluruh kekuasaan. Belum lagi banyaknya lembaga yang masing-masing mempunyai kekuasaan.
Semuanya ini memustahilkan kekuasaan yang diraih melalui demokrasi bisa mengantarkan pada terwujudnya pemerintahan Islam, yakni Islam benar-benar memerintah. Justru, dengan fakta seperti ini, yang terjadi adalah kompromi karena tidak adanya kekuasaan tunggal. Akibatnya, sisa-sisa rezim lama pun masih tetap ada.
Dengan begitu, perubahan yang benar-benar menyeluruh dan mendasar, sebagaimana yang diharapkan oleh aktivis revolusi tersebut jelas hanya mimpi, dan tidak pernah ada karena jalannya salah.
Bagaimana dengan jalan kekerasan bersenjata seperti yang terjadi di Libya, Suriah dan Irak? Mungkinkah berhasil?
Jalan kekerasan bersenjata di Libya dan Irak juga gagal. Bahkan hingga saat ini, Libya dan Irak belum bisa mewujudkan kestabilan politik dan ekonomi. Mengenai Suriah, barangkali dikecualikan dari dua wilayah sebelumnya. Pasalnya, Revolusi Suriah ini unik, berbeda dengan wilayah yang lain. Ini karena faktor keislamannya serta kesadaran rakyatnya yang lebih baik terhadap arah revolusi yang ada.
Kelemahan satu-satunya Revolusi Suriah adalah banyaknya milisi dan brigade bersenjata yang dibentuk secara tiba-tiba dan terbuka. Siapapun bisa bergabung di dalamnya. Akibatnya, terjadilah infiltrasi di dalam tubuh milisi dan brigade tersebut. Ditambah dengan munculnya Tanzhim ISIS, dengan klaim Khilafahnya. Akibatnya, di dalam internal tubuh pejuang revolusi terjadi konflik. Situasi ini digunakan oleh Rezim Bashar untuk menyusun kekuatannya kembali dengan bantuan Rusia, Cina, AS, Irak, Iran dan Turki.
Hanya saja, Revolusi Suriah ini tidak bisa dianggap gagal karena sampai saat ini masih terus bergolak. Dukungan rakyat Suriah terhadap Khilafah juga sangat kuat. Jadi, masalahnya terletak pada Ahlun-Nushrah di sana, bersedia atau tidak memberikan nushrah-nya kepada Hizbut Tahrir sehingga Khilafah berdiri.
Apakah benar tujuan revolusi itu yang penting rezim tumbang dan berganti? Jika tidak, lalu bagaimana?
Revolusi itu bukan hanya menumbangkan atau mengganti rezim. Yang terpenting dalam revolusi adalah perubahan menyeluruh tehadap tatanan kehidupan. Karena itu, tujuan revolusi umat Islam harus diarahkan pada perubahan rezim dan sistemnya; bukan hanya perubahan rezim, sementara sistemnya tetap.
Untuk merealisasi tujuan itu berarti harus dipersiapkan dua hal yaitu bagaimana meraih kekuasaan dan bagaimana memerintah setelah kekuasaan diraih?
Benar. Pertama: terkait dengan metode untuk meraih kekuasaan. Kedua: metode memerintah. Metode yang pertama ini disebut sebagai metode dakwah. Adapun metode kedua adalah metode memerintah dan itu tak lain adalah Khilafah.
Dalam hal meraih kekuasaan itu, prasyarat apa saja yang harus ada?
Pertama: tentu kekuasaannya harus utuh, tidak parsial. Jika tidak, kekuasaan yang ada tidak akan bisa digunakan untuk memerintah. Kedua: konsekuensi dari kekuasaan yang bersifat utuh dan tidak parsial ini menentukan metode apa dan bagaimana yang bisa digunakan untuk meraihnya. Karena itu satu-satunya metode yang sahih dan terbukti berhasil adalah metode Nabi Muhammad saw., yaitu thalab an-nushrah (menggalang dukungan para pemilik kekuasaan, red.).
Thalab an-nushrah itu tidak bisa berjalan dengan baik tanpa dukungan yang lain. Karena itu dibutuhkan dukungan para ulama, yang mempunyai basis massa riil di tengah-tengah umat; dukungan para intelektual (pakar), yang biasanya digunakan oleh penguasa untuk menjadi stempel; juga dukungan media massa yang menjadi corong perubahan dan kebijakan.
Dalam upaya meraih kekuasaan, bagaimana seharusnya hal itu dilakukan menurut tuntunan Islam?
Dengan melakukan kontak, baik secara pribadi (ittishal fardi) maupun terbuka (ittishal jamahir), kepada ahlu an-nushrah serta berbagai pihak yang bisa menjadi pendukung baik dari kalangan ulama, intelektual maupun media massa.
Jika sudah meraih kekuasaan tentu selanjutnya memerintah, apa yang harus ada dan dipersiapkan untuk itu?
Setidaknya ada dua. Pertama: SDM yang mumpuni. Kedua: sistem yang komprehensif mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum, dan lain-lain. Semuanya harus tergambar dengan jelas dan benar.
Dua hal ini, yaitu ketersediaan SDM yang mumpuni dan amanah serta sistem Islam sebagai pengganti sistem kufur sebelumnya, merupakan hasil kerja yang serius dan panjang. Karena itu dua hal ini harus diupayakan jauh sebelumnya. Bahkan menyiapkan dua hal ini membutuhkan energi yang luar biasa.
Menyiapkan SDM yang mumpuni, berkepridian Islam yang tangguh dan amanah, adalah pekerjaan berat; bukan sehari dua hari. Dibutuhkan penempaan yang luar biasa; bahkan tidak jarang harus keluar-masuk penjara. Semuanya ini merupakan jalan terjal dalam menempa SDM yang mumpuni, ikhlas, berkepribadian Islam yang tangguh dan amanah serta memiliki kesadaran politik yang tinggi. Tanpa SDM seperti ini, pasti revolusi yang sudah berhasil mengantarkan Islam ke tampuk kekuasaan akan gagal.
Namun, SDM yang mumpuni, tanpa ketersediaan sistem Islam yang komprehensif, jelas dan benar, juga akan berujung pada kegagalan; bahkan tidak jarang justru merusak citra Islam itu sendiri.
Jika demikian, agar revolusi seperti itu berhasil terealisasi, di tengah umat Islam harus ada kelompok yang memenuhi semua itu. Adakah kelompok itu sekarang? Jika ada, bisakah dikatakan bahwa kelompok itu adalah jaminan suksesnya revolusi hakiki kaum Muslim?
Alhamdulillah, saat ini di tengah umat ada Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologikan Islam. Politik adalah aktivitasnya. Hizbut Tahrir didirikan untuk memenuhi seruan Allah SWT dalam rangka mengembalikan kembali kehidupan Islam yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw., dengan cara menegakkan Khilafah.
Hizbut Tahrir telah menyiapkan SDM-SDM yang luar biasa serta sistem Islam yang hendak digunakan untuk memerintah. Tidak hanya itu, Hizbut Tahrir juga berjuang untuk meraih dukungan umat, dengan membangun opini umum yang lahir dari kesadaran umum tentang Khilafah ini. Dengan begitu, umatlah yang akan mendukung perjuangannya, menjaga dan mempertahankannya, setelah Khilafah tersebut berdiri.
Hizbut Tahrir juga berkerja siang-malam untuk mewujudkan sekelompok Ahlun-Nushrah yang mempunyai keyakinan dan benar-benar tulus untuk memberikan dukungan terhadap dakwah serta mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Saad bin Muadz kepada Rasulullah saw. Semua ini ada dan jumlahnya sangat banyak. Dari sini, kemenangan dan kesuksesan itu bukanlah sesuatu yang mustahil, dan sulit.
Dengan begitu revolusi ini tidak membutuhkan dukungan Barat, para penguasa yang menjadi antek mereka. Yang dibutuhkan hanya keyakinan kepada Allah dan kebenaran Islam, serta terikat sepenuhnya pada hukum-hukum-Nya. Inilah yang akan menjamin kesuksesan perubahan yang dilakukan. []