KPK vs Polri: Karut Marut Peradilan Hingga Moral Hazard para Penegak Hukum

KPK Vs Polrioleh Abu Muhtadi, Lc

“Drama” penegakan hukum di bumi Nusantara kembali digelar. Dengan tema kisruh KPK-Polri Jilid 2, sukses menyita perhatian publik. Tidak seperti kasus Cicak versus Buaya jilid 1, yang saat itu menunjukkan dukungan terhadap KPK lebih kuat, kisruh KPK-Polri kali ini terasa lebih menegangkan. Kedua belah pihak sama-sama menggunakan kartu “AS” untuk melawan seterunya, tanpa malu-malu meski kasus itu terbilang sudah cukup lama.

Penetapan BG sebagai tersangka langsung dilakukan KPK pasca pencalonan BG sebagai Kapolri. Ia dijerat kasus pidana penerimaan hadiah dan janji saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Mabes Polri 2003—2006. Sejurus setelah penetapan itu, semua ketua KPK, BW, Pandu Praja, dan Zulkarnain dilaporkan ke polisi. Bahkan, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri. BW dituduh mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat Kalteng di MK. Akan tetapi, itu terjadi pada 2010 lalu. Selain itu, Abraham Samad, selaku Ketua KPK, juga diberondong berbagai isu.

Kisruh yang terjadi ini, untuk kesekian kalinya membuktikan betapa Politik ‘Saling Sandra’, semakin hari semakin kental dan nyata terjadi. Penegakan hukum sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Kelemahan dan kasus hukum pihak lain lantas dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan masing-masing. Celakanya lagi, hal itu tak sekedar melibatkan para politisi belaka, melainkan para penegak hukum sendiri—dalam hal ini KPK dan Polri.

Inilah buah dari sistem demokrasi yang mahal dan menghalalkan segala cara. Alih-alih mengurusi urusan rakyat, para pejabatnya sibuk dengan kepentingan diri dan para cukongnya. Pada gilirannya, hilangnya moralitas dan etika dalam penegakan hukum pun menjadi sebuah keniscayaan.

Penegakan Hukum dalam Islam

Kisruh sepeti di atas sulit dibayangkan dapat terjadi bila sistem Islam ditegakkan. Ada seperangkat sistem Islam yang memastikan penegakan hukum bisa berjalan. Pertama, kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang bersifat fardiyyah (individual). Ketentuan ini berlaku dalam semua level kepemimpinan, termasuk dalam hal bepergian sekalipun. Dalam Sunan Abu Dawud diriwayatkan dari sahabat Abu Said al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمرُوا أَحدَ هُم

 “Apabila tiga orang keluar dalam sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya sebagai pimpinan.”

Dalam Musnad Ahmad ada riwayat dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُوا بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ إِلاَّ أَمَّرُوا أَحَدَهُمْ

 “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah padang pasir kecuali mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin.” 

Kata ‘ahad’ dalam kedua hadis di atas adalah ‘adad (bilangan) yang dapat ditarik mafhum-nya. Artinya, kepemimpinan dalam Islam haruslah dipegang oleh satu orang, tidak boleh lebih. Dalam hal kepemimpinan negara, seorang Khalifah tidak bisa disetir oleh pihak manapun, baik dalam hal kebijakan hukum, termasuk dalam hal menentukan pejabat dan para pembantunya. Karena itu, syarat menjadi seorang Khalifah harus merdeka. Kepemimpinannya pun juga tunggal, bukan kolektif kolegial.

Berbeda dengan sistem demokrasi, konsep pembagian kekuasaan sering kali mengerdilkan kekuasaan presiden. Terlebih dengan kenyataan bahwa presiden bukan hanya harus bertanggung jawab kepada DPR, melainkan dia harus tunduk kepada kepentingan para cukong, baik para Kapitalis maupun cukong politik yang memopulerkannya. Inilah yang sangat kental dalam kisruh pencalonan BG.

Kedua, Islam menjamin tidak adanya tumpang tindih kewenangan. Hal ini nampak dalam kategori peradilan dalam Islam, yakni sesuai obyek masing-masing yang hendak diadili, yaitu qadha’ khushumat, hisbah, dan madzalim [al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 62-93 dan 285-308]. 

Qadha’ khushumat (peradilan sengketa), yang mengadili sengketa di tengah masyarakat. Di sana ada pihak penuntut—yang menuntut haknya—dan terdakwa sebagai pihak yang dituntut. Peradilan ini membutuhkan mahkamah (ruang sidang). Sedangkan Qadha’ hisbah, yang mengadili pelanggaran hukum syara’ di luar mahkamah, bukan karena tuntutan pihak penuntut, tetapi semata-mata karena pelanggaran. Seperti pelanggaran lalu lintas, parkir di jalan raya, penimbunan barang, penipuan harga (ghabn) dan barang (tadlis), dan lain-lain. Adapun Qadha’ madzalim, yang mengadili sengketa rakyat dengan negara, dan atau penyimpangan negara terhadap konstitusi dan hukum.

Ketiga kategori peradilan ini, masing-masing mempunyai hakim. Seluruh lembaga ini kemudian dipimpin oleh seorang Ketua Hakim, yang lazim disebut Qadhi al-Qudhat. Jabatan ketua hakim ini pertama kali dibentuk oleh Khalifah Harun as-Rasyid, yang diserahkan kepada Qadhi al-Qudhat Abu Yusuf (182 H/798 M), mujtahid mazhab Hanafi, yang terkenal dengan karyanya, al-Kharaj [Dr. ‘Isham Muhammad Sabbaru, Qadhi al-Qudhat fi al-Islam, hal. 9].

Berbeda dengan sistem demokrasi saat ini, sama-sama kasus yang berbau korupsi, namun penyidikannya bisa dilakukan oleh lembaga yang berbeda-beda. Di sinilah kepentingan politik sarat menjadi penentu penuntasan sebuah kasus, seperti yang kita saksikan selama ini.

Ketiga, Islam menjamin kepastian hukum. Sistem peradilan Islam hanya satu. Islam juga tidak mengenal adanya pembagian jenjang pengadilan. Oleh karena itu, dalam sistem peradilan Islam tidak dikenal istilah pra-peradilan, peradilan banding, maupun kasasi. Keputusan seorang qâdhî (hakim) pada suatu perkara bersifat tetap. Keputusannya tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dibatalkan, meski oleh Khalifah (kepala negara) sekalipun. Peradilan Islam adalah institusi yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum dan keputusannya bersifat mengikat. Perlu diketahui, bahwa setiap keputusan hukum—yang ditetapkan oleh qâdhî—di dalam ruang sidang peradilan merupakan hukum Allah atas perkara tersebut bagi si terdakwa. Hukum Allah bagi dirinya—dilihat dari sisi pelaksanaannya—tidaklah berbilang, tetapi hanya satu.

Setelah putusan itu ditetapkan tidak seorang pun yang berhak membatalkannya. Dalam hal ini berlaku kaidah ushul:

اَلإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِمِثْلِهِ

“Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain yang serupa”

 Dalam shigah (redaksi) yang lain:

الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ

“Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain

Al-Imam An-Nawawiy menyatakan bahwa kaidah ini merupakan kaidah yang disepakati oleh ulama ushul. Beliau menyatakan, “Mereka (para ulama ushul bersepakat) atas kaidah ini, saya tidak tahu ada ulama yang menyelisihinya[An-Nawawiy, Adab al-Fatwa Wa al-Mufti Wa al-Mustafti, hal. 36]. Kaidah ini adalah kaidah kulliyah, yang prakteknya, jika ada seorang mujtahid memberikan fatwa atau memutuskan perkara di pengadilan, lalu ia berpendapat lain setelah fatwa itu disampaikan atau setelah putusan ditetapkan, maka pendapatnya yang kedua tidak menggugurkan fatwa dan putusan sebelumnya. Begitu pun jika ada mujtahid lain yang memiliki pandangan (ijtihad) yang berbeda dengan pendapatnya. Maka pendapat mujtahid lain itu tidak dapat menggugurkan keputusan hukum yang telah ditetapkan di masa lalu.

Dengan kata lain, tidak ada perbedaan dalam penerapan kaidah ini, baik pendapat yang menyelisihi putusan itu berasal dari mujtahid yang menetapkan putusan tersebut atau mujtahid lain. Bahkan jika pendapat yang menyelisihi itu berasal dari mujtahid lain, maka penerapan kaidah di atas lebih utama (aula bi ‘adami an-naqdi) [Lihat, Dr. ‘Iyad Ibnu Namiy a-Salmiy, Ushul Fiqh Al-ladzi Laa Yasa’ul Faqiha Jahluh, hal. 321]. Adapun dalam kasus-kasus yang belum diputuskan hukumnya (fil haal), atau kasus-kasus yang terjadi di masa mendatang (fil mustaqbal), maka keputusan diambil berdasarkan pendapat mujtahid (baik ia sebagai seorang qhadi atau mufti) yang baru.

Dasar kaidah ini adalah ijma’ sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibn Ash-Shobagh, bahwa Abu Bakar as-Shiddiq RA mengadopsi hukum dalam beberapa persoalan, lalu ‘Umar ibn al-Khattab Ra pada masa pemerintahannya mengadopsi hukum yang berbeda dengan kebijakan Abu Bakar RA, dengan tidak membatalkan putusan hukum (al-qadha) Abu Bakar pada kasus-kasus yang sudah ditetapkan (hukumnya) pada masanya. Hal ini didengar dan disaksikan oleh para sahabat, tanpa ada seorangpun yang mengingkarinya, padahal seandainya hal itu bertentangan dengan syariat niscaya sahabat yang lain pasti mengingkarinya. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan mereka, bahwa ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain yang serupa.

Hal yang sama juga terjadi pada masa kekhilafahan ‘Umar sendiri, beliau menetapkan keputusan yang berbeda dalam masalah al-musyarrokah. Ketika seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris, yaitu suami, ibu, dua orang atau lebih saudara atau saudari dari ibu, satu orang atau lebih saudara laki-laki sekandung (‘ashobah). Dalam keputusan (al-qadha’) pertama ‘Umar menetapkan, bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian, karena hartanya telah habis dibagi untuk as-habul furud (ibu, suami, dan saudara-saudara se-ibu). Namun, dalam keputusannya yang kedua (dalam kasus yang sama, meski orangnya berbeda) ‘Umar menetapkan, bahwa saudara sekandung bersama dengan saudara-saudaranya se-ibu mendapatkan bagian yang sama dari sepertiga tarikah (harta waris). Ketika dia ditanya, “Wahai Amirul Mukminin, sungguh engkau telah menetapkan sebuah keputusan hukum yang berbeda dengan keputusanmu pada tahun lalu,” Umar menjawab, “Itu adalah apa yang kami putuskan pada waktu itu, dan ini adalah apa yang kami putuskan hari ini.” Ini juga didengar dan disaksikan oleh para sahabat tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Imam as-Suyuti memberi ta’alil (alasan), bahwa dengan kaidah ini maka kepastian hukum akan terjamin dan proses pengadilan akan terhindar dari masyaqah (kisruh) akibat bertele-telenya putusan pengadilan [Lihat: al-Imam as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, hal. 185].

Keempat, Islam mengajarkan bahwa setiap kasus hukum tidak boleh ditangguh-tangguhkan, sehingga tidak terjadi penumpukan kasus, apa lagi dijadikan alat untuk menjatuhkan pihak lain. Dalam kasus persengketaan (al-khusumat), Islam mewajibkan kepada penuntut untuk segera mendatangkan saksi dan kepada yang dituntut untuk bersumpah, bila kasus yang diajukan kepadanya tidak benar. Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لَوْ يُعْطَى الناَّسُ بِدَعْوَاهُمْ لادَّعَى قَوْمٌ دِمَاءَ قَوْمٍ وَأَمْوَالَهُمْ، وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى المُدَّعِي، وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

 “Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka (semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim) harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)” [HR. al-Baihaqi, dan lain-lain]

Adapun dalam hal pelanggaran syariah atau hak jama’ah yang tidak ada penuntutnya, syari’at mewajibkan kepada qadhi untuk segera memutusnya, bahkan tidak perlu menunggu ruang sidang, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Abu Hurairah RA menuturkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ. قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

 “Rasulullah SAW melewati seonggok makanan, lalu beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan makanan itu dan jari-jari beliau sampai pada bagian yang basah, maka beliau bersabda, “Apa ini, wahai pemilik makanan?”  Pemilik makanan itu berkata, “Terkena hujan, ya Rasulullah.”  Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau letakkan di atas makanan supaya orang melihatnya. Siapa yang menipu maka ia bukan bagian dari golongan kami.” [HR. Muslim].

Dari hadis ini, jelas bahwa Rasulullah SAW meluruskan pedagang yang melakukan kekeliruan dan menghalangi (mencegah) penipuan, langsung di tempat kejadian. Sebab, itu merupakan hak umum, pelanggaran yang terjadi bisa membahayakan publik secara umum.  Termasuk dalam kasus yang membahayakan hak-hak umum adalah kasus korupsi yang tidak ada penuntutnya, maka penegak hukum, dalam hal ini qhadi hisbah, wajib bertindak cepat dalam menyelesaikannya.

Kelima, Islam tidak hanya mengatur mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para pemangkunya dengan berbagai kriteria yang ekstra ketat. Selain kriteria Muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu, dan adil [al-Kasani, Bada’i as-Shana’i, Juz VII/2-4], untuk jabatan tertentu, seperti Qadhi Qudhat dan Qadhi Madzalim, misalnya, tidak boleh dijabat oleh perempuan, karena merupakan bagian dari pemerintahan, dan atau bersentuhan langsung dengan pemerintahan. Untuk Qadhi Madzalim harus  mujtahid [Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam].

Lebih dari itu, ada kriteria umum yang harus dimiliki oleh semua hakim, yakni kelayakan dan ketakwaan. Islam menetapkan akhlak para qadhi, antara lain harus berwibawa, menjaga muru’ah (harga diri), tidak banyak berinteraksi dengan orang, senda gurau dengan mereka, menjaga ucapan dan tindak tanduknya [‘Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’, hal. 55]. Para qhadi dipilih dari orang-orang   yang tegas tetapi tidak kasar, lembut tetapi tidak lemah, cerdas, sadar, tidak lengah dan tertipu ketika memutuskan, bersih hatinya, wara’, bijak, jauh dari sikap tamak, baik terhadap materi maupun jabatan. [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/21].

Keenam, Islam juga menetapkan hukum-hukum tertentu terhadap para penegak hukum, agar ia benar-benar dapat berkonsentrasi dalam menjalankan tugasnya, seperti larangan mendapatkan hadiah, larangan menyibukkan diri dalam aktivitas yang bisa melalaikan tugasnya, termasuk berbisnis dan sejenisnya, dll. [as-Samnani, Raudhatu al-Qudhat, Juz I/658]. 

Ketujuh, jika seluruh kriteria, mekanisme, dan pintu di atas telah ditutup, tetapi praktik suap masih juga terjadi, maka hanya sanksi yang keras dan tegaslah yang bisa menghentikan mereka. Karena itu, Islam pun menetapkan sanksi ta’zir kepada mereka yang melakukan suap , baik penyuap (ar-rasyi), penerima suap (al-murtasyi) maupun perantara (ar-ra’is bainahuma)-nya. Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشْ بَيْنَهُمَا

“Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara tindak suap-menyuap.” [HR. Ahmad].

Dalam kitab as-Sunan al-Arba’ah, diriwayatkan sebuah hadis dari Buraidah RA. Dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: اِثْنَانِ فِي الناَّرِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فيِ الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي الْنَّارِ

 “Hakim itu ada tiga (macam), dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di dalam surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum dengan kebenaran itu dan berbuat zalim dalam menetapkan hukum, maka dia berada di dalam neraka. Seorang hakim yang tidak mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum bagi orang lain dengan kebodohannya, maka dia berada di dalam neraka.”

Terakhir, apabila kasus-kasus hukum itu, ternyata hanya sekedar rumor berita dusta semata, maka Islam telah memperingatkan umat Islam dari dosa an-namimah (menyebarkan berita dusta) dan al-ghibah (membicarakan keburukan orang lain). Terlebih bila itu dilakukan oleh penguasa demi urusan harta dan kekuasaan. Allah SWT menyatakan banyak sekali ancaman dan peringatan-Nya yang tegas dalam al-Quran. Di antaranya, Allah SWT berfirman,

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ، الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ، كَلاَّ لَيُنبَذَنَّ فيِ الْحُطَمَةِ، وَمَآأَدْرَاكَ مَاالْحُطَمَةُ، نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ، الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الأَفْئِدَةِ، إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ، فيِ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ..

 “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung . Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu (yaitu) api (disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (naik) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” [TQS. al-Humazah: 1-9]

Para pengumpat dan pencela, jika mereka yang menyebarkan berita dusta, diancam oleh Allah SWT dengan azab neraka yang sangat pedih. An-Nâr (api) dalam ayat ini disifati dengan sifat-sifat yang seharusnya membuat orang beriman gentar. Pertama, Allah menyandarkan api tersebut langsung kepada dirinya yang Maha Perkasa dan Maha Berat siksaannya, ‘Narullah (apinya Allah), bukan api yang dinyalakan oleh anak kecil atau tukang pandai. Kedua, Dia menyifati dengan sifat al-iqâdah/al-muqdah (dinyalakan), yang berati panas api tersebut senantiasa seperti pertama kali ia dinyalakan yang kayu bakarnya tidak pernah habis. Ketiga, Dia menyifati api tersebut sifat al-ithila’ a’lal afidah (menembus hingga ke hati), menembus bukan seperti tusukan pisau melainkan menyebar seperti cahaya matahari di saat terbit (at-thulu’), yakni dari arah depan, belakang, samping, atas dan bawah tubuhnya. Keempat, Dia menyifati api tersebut sifat al-ishodah/mu’shodah (menutup/mengunci), orang yang di azab di dalamnya seperti orang yang berada di sebuah ruangan sehingga dia tidak bisa keluar atau seperti dipresto yang mengumpulkan hawa panas di dalamnya. Kelima, tidak cukup dengan sifat-sifat itu, Dia pun menutupnya dengan kalimat, ‘fî amadin mumaddadah’ (sedang mereka itu, ia diikat pada tiang-tiang yang panjang). Dalam ruangan tertutup itu, penghuninya pun tidak bebas, mereka diikat dalam sebuah tiang yang bukan sembarang tiang, melainkan tiang yang panjang. Dalam arti, andai saja mereka bisa melonggarkan ikatannya, namun mereka tak bisa lari ke mana-mana karena, tiang ikatannya sangat panjang yang dipanjangkan oleh Allah SWT. ‘na’udzuillahi min dzalik.

Pendek kata, Islam telah datang dengan segenap sistem yang paripurna untuk menyelesaikan persoalan hukum dan peradilan serta menjamin kemaslahatan bagi umat manusia. Akan tetapi, semua itu tak mungkin bisa diraih kecuali Islam diterapkan secara total dalam sebuah Negara Khilafah. Wallahu a’lam[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*