Konferensi Pers Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kampanye Global ‘Women And Shariah: Separating Fact From Fiction’
Jakarta, 13 Februari 2015/ 24 Rabiul Akhir 1436 H
Konferensi Pers Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Kampanye Global ‘Women And Shariah: Separating Fact From Fiction’
Bertempat di Mina Meeting Room, Hotel Madinah Banda Aceh Jum’at 13 Februari 2015 Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyelenggarakan Konferensi Pers sebagai bagian dari Kampanye Global ‘Women And Shariah: Separating Fact from Fiction’
Perbincangan seputar perempuan dan syariat selalu mengundang perhatian. Salah satu yang krusial adalah tentang relevansi penerapan syariat bagi kemajuan dan kesejahteraan perempuan. Terlebih, tantangan global partisipasi perempuan di ranah publik telah menghasilkan dampak luar biasa pada corak kehidupan masyarakat khususnya di negeri-negeri muslim semacam Indonesia.
Semangat mengantisipasi dinamika persoalan publik dengan melibatkan pijakan moral dan sebagian ajaran Islam di ranah kebijakan –biasa disebut Perda Syariah dan Qanun Syariah- malah melahirkan sejumlah kontroversi. Diantaranya adanya anggapan bahwa terdapat 342 Perda diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas, 265 langsung menyasar perempuan, 76 tentang pakaian perempuan, 124 tentang prostitusi dan pornografi, 27 tentang pemisahan ruang publik, 19 menggunakan istilah khalwat dan mesum dan 35 terkait jam malam, (VOA, 25 agusts 2013). Ada tuduhan bahwa penerapan syariah akan melahirkan pelanggaran HAM, merugikan dan mengamputasi hak-hak kaum perempuan.
Serangan terhadap syariah pun terus digaungkan secara terencana dan sistematis, di dalam negeri hingga dunia internasional. Bahkan monsterisasi terhadap syariah juga terjadi dalam beragam bentuknya. Targetnya, umat Islam khususnya kaum perempuannya akan phobia terhadap Islam dan meninggalkan pelaksanaan syariat untuk mengatur kehidupannya.
Merespon kondisi ini dan menyadari tanggung jawab imani setiap muslim untuk menjadikan syariat sebagai sumber hukum bagi kehidupannya, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
- Akar penyebab kontroversi dan dilemma penerapan Perda dan Qanun Syariat adalah penerapan syariat secara lokal dan parsial dalam bingkai sistem hukum demokrasi dan pengkultusan terhadap nilai HAM serta kebebasan yang sekuler. Pemberlakuan syariat dalam sistem sanksi semisal hukuman cambuk bagi pelaku zina tanpa pemberlakuan sistem sosial (Nidzam Ijtima’iy fil Islam) dan sistem ekonomi Islam (nidzam Iqtishadiy fil Islam) oleh negara hanya melahirkan celah tuduhan kelemahan dan ketidakadilan penerapannya. Karena sejatinya syariat Islam adalah hukum Allah yang akan melahirkan keadilan, keagungan dan kemuliaan bila dipraktikkan sesuai dengan metode yang ditetapkanNya yakni secara kaffah bagi manusia (kaaffatan lin naas)
- Standar HAM dan ide kebebasan tidak layak dan tidak boleh dipakai untuk menilai penerapan Syariah Islam, karena ini akan mengantarkan pada konsekuensi yang berbahaya; yakni Syariat Islam yang merupakan hukum Allah akan selalu berada pada posisi subordinat, lebih rendah sedangkan ide HAM, kebebasan dan Demokrasi yang merupakan hukum buatan manusia selalu berada superordinate alias lebih tinggi daripada hukum Allah.
- Selayaknya kaum muslim menyadari bahwa serangan massif terhadap syariat akan terus berlangsung terutama oleh kalangan yang berkepentingan menjaga hegemoni politik dan penjajahan ekonomi atas negeri muslim ini, salah satunya melalui issue perempuan. Karenanya kita membutuhkan kembali tegaknya Khilafah Islamiyah sebuah sistem pemeritahan Islam yang akan menerapkan syariat secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupandan memberlakukannya untuk seluruh wilayah kekuasaan Islam tanpa kecuali.
Khilafah Islamiyah terbukti telah mewujudkan kehormatan, kemuliaan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Bahkan sejarah nusantara yang menjadi bagian dari khilafah Utsmani telah melahirkan masa keemasan bagi negeri ini. Diantaranya, Perempuan Aceh berabad-abad merasakan bagaimana Syariat Islam memuliakan mereka, membesarkan kiprah mereka dan menjamin kehormatan mereka. Sehingga nama-nama besar Muslimah Aceh seperti Laksamana Hayati dan Cut Nyak Dien adalah sedikit contoh dari sekian banyak tokoh Muslimah yang memiliki peranan besar dalam berkiprah di masyarakat, sama sekali jauh dari gambaran terkekang dan terdiskriminasi seperti yang sering dinarasikan media Barat.
Dalam kaitan itu, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia mengundang partisipasi aktif tokoh-tokoh se nusantara dan masyarakat Aceh khususnya untuk menghadiri Konferensi Perempuan dan Syariah “Mengakhiri Serangan Terhadap Syariah” yang akan diselenggarakan Sabtu, 7 Maret 2015 di AAC Dayan Dawood, Banda Aceh.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci (QS ash-Shaff [61]: 08).”
Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Iffah Ainur Rochmah
HP : +628111131924
Email: iffahrochmah@gmail.com