Oleh: Hafidz Abdurrahman
Negara Kalah dengan Freeport
Di tengah kisruh KPK vs Polri, ternyata Pemerintah menandatangani perpanjangan MoU dengan PT Freeport. Ini dilakukan pada hari Ahad (25/1) oleh Menteri ESDM Sudirman Said bersama Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar, dengan James Robert Moffet, Presiden Direktur PT Freeport McMorran. Sudirman menjelaskan, “Kalau MoU yang berakhir 24 Januari 2015 tidak diperpanjang, kami tidak punya landasan untuk renegosiasi (melakukan kesepakatan ulang, red.).” (Okezone.com, 26/1).
UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diundangkan tahun 2009 telah mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun smelter, atau fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih mineral. UU tersebut melarang ekspor bijih mineral termasuk emas tanpa diolah dulu di dalam negeri. UU tersebut berlaku efektif lima tahun sejak diundangkan, yakni sejak 12 Januari 2014.
UU Minerba itu juga memberikan sanksi bagi perusahaan tambang yang tidak mau membangun smelter. Salah satu sanksinya adalah penghentian kontrak karya. Akan tetapi, PT Freeport hingga UU Minerba itu berlaku efektif belum juga membangun smelter. Sungguh tidak masuk akal. Perusahaan besar seperti PT Freeport tidak bisa membangun smelter. Padahal, waktu yang diberikan sangat panjang, yakni lima tahun sejak UU Minerba diundangkan. Dari situ jelas, PT Freeport bukan tidak mampu, tetapi tidak mau membangun smelter. Ingat, Freeport pun bukan perusahaan yang baru beroperasi kemarin sore.
Anehnya, Pemerintah membiarkan saja ulah PT Freeport itu. Pemerintahan Jokowi justru memperpanjang MoU itu enam bulan hingga Juli 2015 dengan poin-poin tambahan. Di antaranya, PT Freeport diminta menjamin kepastian pembangunan smelter dengan menunjukkan lokasinya. Menurut Dirjen Minerba Kementerian ESDM R Sukhyar (Kompas.com, 24/1), PT Freeport bisa membangun industri di Papua, paling gampang adalah membangun industri hilir berbasis tembaga. Menurut dia, opsi ini lebih mudah ketimbang PT Freeport membangun smelter di Papua. Hanya PT Freeport yang mendapatkan keistimewaan ini. Semua itu membuktikan bahwa Pemerintah begitu meng-‘anak emas’-kan PT Freeport meski harus menyalahi UU.
PT Freeport mengklaim, bahwa perusahaannya pasti membangun fasilitas smelter. PT Freeport lalu menunjukkan nota kesepahaman dengan PT Petrokimia Gresik, Jawa Timur. Namun, menurut Dirjen Minerba, Kementerian ESDM R Sukhyar, nota kesepahaman yang ditandatangani PT Freeport dengan PT Petrokimia Gresik, tidak menunjukkan komitmen PT Freeport (Kompas.com, 22/1).
Ketidakseriusan PT Freeport itu makin jelas saat dengar pendapat dengan DPR pada hari Selasa (27/1) lalu. Sebagaimana yang diberitakan Kompas.com (27/1), saat ditanya oleh anggota DPR apakah sudah ada izin usaha, izin industri atau AMDAL, dan persiapan terkait basic engineering smelter, Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menjawab bahwa ketiga hal itu belum ada. Semua itu menunjukkan bahwa PT Freeport tidak serius akan membangun smelter di Gresik. Anehnya, justru hal itulah yang juga menjadi dasar perpanjangan MoU.
Tampak jelas, perpanjangan MoU tersebut membuktikan ketundukan Pemerintah Jokowi di hadapan PT Freeport yang notabene perusahaan asing. Betapa tidak. Menurut UU No. 4/2009, mestinya kontrak PT Freeport dicabut. Faktanya, PT Freeport justru diberi perpanjangan waktu lagi. PT Freeport juga diizinkan tetap mengekspor bijih mineral tanpa diolah dulu di dalam negeri. Padahal, perusahaan tambang nasional termasuk BUMN sekalipun dilarang mengekspor bijih mineral tanpa diolah dulu di dalam negeri.
PT Freeport Indonesia (PTFI) sengaja mengulur pembangunan smelter untuk memastikan perpanjangan kontrak. PTFI telah mengajukan permintaan perpanjangan kontrak hingga 2031. Untuk memastikan itu, PTFI “menyandera” soal pembangunan smelter. Kompas.com (26/1) menyebutkan, PT Freeport berjanji akan membangun smelter, namun sebagai syaratnya, Pemerintah harus memberikan perpanjangan kontrak hingga 2031. “PTFI akan memulai konstruksi pembangunan smelter ketika kepastian kelanjutan operasi pertambangan sampai dengan 2031 diterima PT Freeport Indonesia.”
Akar Masalah dan Cara Khilafah Menyelesaikan
Di antara masalah yang dihadapi negeri-negeri kaum Muslim saat ini, termasuk Indonesia, adalah privatisasi aset publik atau negara. Hal ini dikarenakan para penguasa negeri-negeri kaum Muslim itu adalah boneka negara-negara Kafir penjajah. Karena ulah merekalah, banyak aset publik dan negara jatuh ke tangan individu, baik asing maupun domestik. Sebut saja, jatuhnya Indosat ke tangan Singapura, tambang emas di Papua ke tangan Freeport Mc Moran, dan masih banyak yang lainnya.
Di samping privatisasi aset publik dan negara ini hukumnya haram—kepemilikan terhadap masing-masing aset ini telah ditetapkan oleh Allah; kepemilikan umum sebagai hak publik, dan kepemilikan negara sebagai hak negara—, juga karena kepemilikan ini tidak boleh diubah, kecuali dengan izin yang diberikan oleh hukum syara’. Selain itu, keharaman privatisasi ini juga datang dari aspek yang menyebutkan bahwa penguasaan asing terhadap aset ekonomi suatu negeri, khususnya negeri Muslim, bertujuan untuk mengokohkan penguasaan mereka terhadap negeri tersebut. Ini sama dengan membuka pintu bagi kaum Kafir untuk menguasai kaum Muslim. Jelas hukumnya haram (TQS. An-Nisa’ [04]: 141).
Karena itu, begitu Khilafah berdiri, seluruh bentuk kebijakan seperti ini akan dinyatakan batal demi hukum. Meskipun, kebijakan ini melibatkan individu atau negara lain. Sebabnya jelas, kebijakan ini terang-terangan telah melanggar hukum syara’. Selain itu, syarat-syarat yang ditetapkan dalam berbagai perjanjian ini merupakan syarat-syarat yang menyalahi hukum Islam. Dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat, yang tidak ada dalam Kitabu-Llah. Tiap syarat yang tidak ada dalam Kitabu-Llah, maka batal, meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq, dan syarat Allah lebih kuat.” (Lihat, al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, hadits no. 29615)
Dengan dibatalkannya kebijakan privatisasi ini, maka konsekuensinya, perusahaan publik atau negara yang dikuasai oleh individu, akan ditata ulang oleh Khilafah berdasarkan hukum syara’. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak harus dibubarkan, tetapi cukup diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun pasti berubah, dari milik privat menjadi milik publik dan negara. Perusahaan-perusahaan itu sekarang bentuknya menggunakan perseroan saham (PT Terbuka)—yang jelas diharamkan dan harus diubah—, maka nantinya aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing individu yang berhak. Akan tetapi, dikarenakan akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja, sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka.
Ditambah lagi, karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Karena bukan merupakan hak milik mereka, maka harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka ketika PT Terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan privat tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan privat. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya—setelah dibatalkan—tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya.
Dengan dinormalkannya kembali perusahaan publik dan negara berdasarkan hukum Islam, maka negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak dalam mengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung running atau tidak, bergantung tingkat urgensitas perusahaan tersebut. Jika menyangkut layanan publik, tentu sangat urgen, sehingga tidak boleh berhenti. Misalnya, seperti PLN, Telkom, PAM, Tol, dan lain-lain. Jika dengan pengembalian saham milik privat tadi menyebabkan perusahaan tidak berjalan, maka Khilafah boleh saja untuk sementara tidak mengembalikan saham tersebut, tentu dengan kerelaan pemiliknya. Akan tetapi, jika bisa dan terpaksa, maka Khilafah bisa menyuntikkan dana dari sumber lain. Begitu seterusnya hingga layanan publik ini tidak terganggu.
Jika sebelumnya perusahaan ini untung, sebagaimana kasus Indosat, Freeport, dan lain-lain, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos harta haram, sebab, ini merupakan keuntungan dari PT Terbuka dan merupakan keuntungan yang didapatkan individu dari harta milik publik dan negara, tentu statusnya haram. Keuntungan yang haram ini menjadi halal ketika sudah di tangan Khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya.
Cara Khilafah Membersihkan
Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan publik dan negara ini juga menjadi sapi perah bagi partai, penguasa, dan antek-anteknya. Mereka semuanya ini korup. Karena itu, Khilafah juga akan membersihkan mereka semua dari perusahaan publik dan negara tersebut. Mereka saat ini banyak yang duduk sebagai komisaris dan direksi. Maka, dengan dinormalkannya perusahaan tersebut mengikuti hukum syara’, jabatan komisaris dan direksi seperti saat ini tidak lagi ada. Dengan begitu, mereka semua akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan publik dan negara tersebut.
Harta yang mereka dapatkan dengan cara yang haram itu juga akan disita sebagai harta haram, yang bukan menjadi hak mereka. Setelah itu, dikembalikan ke kas negara dan dimasukkan dalam pos harta haram. Khilafah juga bisa menelusuri aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi, partai, atau penguasa sebelumnya. Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka, terlebih menyangkut hak publik dan negara, bisa diusut dan dituntut.
Berkaitan hal ini, dengan tegas Nabi SAW telah menyatakan, “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum, tanpa kerelaannya, maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya (yang telah dikeluarkannya)” (HR. al-Bukhari dan Abu Dawud dari Rafi’ bin Khadij, hadits no. 3403). Meskipun konteks hadits ini terkait dengan tanah dan pemanfaatan tanah tanpa izin atau tanpa kerelaan pemiliknya, tetapi hadits yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. Termasuk kasus yang telah disebutkan di atas.
Oleh karena itu, melalui cara seperti ini, seluruh aset umat akan bisa dikembalikan kepada pemiliknya, baik kepada negara maupun publik. Dengan argumen yang sama, apa yang telah mereka ambil dari keuntungan perusahaan tersebut juga bisa diambil kembali, karena memang bukan merupakan hak mereka. Begitulah, cara Khilafah membersihkan perusahaan publik dan negara tersebut dari partai, pejabat dan orang-orang korup tadi.
Wallahu a’lam.