Dua Serangan Berbahaya pada Keluarga Muslim Asia Tenggara
Keluarga Muslim di Asia Tenggara seperti di Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina Selatan dan Thailand Selatan menghadapi dua serangan berbahaya secara simultan, yakni serangan identitas dan pemikiran; serta yang kedua adalan serangan sosial ekonomi.
1. Serangan Identitas dan Pemikiran
Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang disebut-sebut sebagai a global epicenter of cultural diversity, yaitu kawasan dengan tingkat heterogenitas budaya yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan Asia Tenggara potensial terhadap masalah kerawanan identitas. Dengan kata lain, Muslim di Asia Tenggara rentan menghadapi rekayasa pembentukan identitas, begitupun bangunan keluarga Muslim.
Meski Indonesia telah meratifikasi CEDAW tahun 1980, Malaysia 1995, dan Brunei 2006, namun sebenarnya tingkat keragaman di Asia Tenggara juga menjadi hambatan bagi implementasi CEDAW. CEDAW kerap dianggap sebagai konsep “asing” atau “barat” yang bertentangan dengan nilai-nilai dan sistem keyakinan Asia. Oleh karena itu CEDAW kemudian lebih dibahasakan / diartikulasikan menjadi isu hak asasi manusia daripada menjadi soal pilihan politik atau budaya, atau keinginan individual agar bisa masuk pada masyarakat Asia Tenggara yang plural.
Namun demikian upaya liberalisasi hukum-hukum keluarga Muslim di negeri-negeri Asia Tenggara tidak pernah surut dan telah dilakukan sejak tahun 1971 oleh Indonesia, Malaysia juga Brunei melalui pembaruan perundang-undangan. Termasuk upaya berani yang nyeleneh dari kelompok liberal di Indonesia untuk melakukan counter terhadap hukum keluarga Muslim yang dikenal dengan CLDKHI tahun 2004. Di Malaysia kelompok feminisnya lebih militan dan salah satu contoh fenomenal upaya mereka adalah Kongress Musawah di Kuala Lumpur yang digawangi oleh SIS (Sisters in Islam)- sebuah kelompok feminis garis keras di Malaysia, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara. Pertemun ini menghasilkan rekomendasi yang mengandung spirit CEDAW, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik, serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut’ah.
Kelompok-kelompok feminis Islam seperti SIS di Malaysia, Rahima, Fahmina di Indonesia dll berkolaborasi dengan kelompok HAM Perempuan seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM di Indonesia mereka terus melakukan propaganda negative untuk memojokkan Syariat Islam. Syariat atau hukum Islam dicitrakan menghambat kesetaraan dan mendiskriminasi perempuan. Hukum Islam dalam masalah rumah tangga seperti kewajiban istri taat kepada suami, perlakuan suami “menghukum” istri yang tidak taat (nusyuz) dan poligami dipropagandakan sebagai bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan. Padahal tindak kekerasan terjadi karena kelemahan dan kebodohan umat islam sendiri yang mengabaikan hukum hukum islam, mengabaikan hak dan kewajiban antar suami-istri.
Di sisi lain upaya pencitraan secara sistematis oleh jaringan media dan lembaga internasional juga terus dilakukan pada penerapan Syariah di Aceh, perda-perda Syariah di beberapa propinsi Indonesia, hukum pidana Islam di Brunei, juga Malaysia. NGO feminis, Media-media Barat dan lembaga-lembaga internasional tidak pernah berkedip mencari-cari kesalahan penerapan Syariah khususnya yang berkaitan dengan perempuan
2. Serangan Sosial Ekonomi
Realitas kawasan Asia Tenggara yang negara-negaranya memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pasar domestik yang kuat, dimana kedua faktor ini dibutuhkan oleh Barat yang tengah berupaya memulihkan krisis ekonominya.Negara- negara di ASEAN menjadi primadona dunia dalam investasi dan perdagangan global, khususnya oleh negara-negara Barat, kerena itulah rezim-rezim perdagangan bebas semakin menggurita di kawasan ini seperti ASEAN dan APEC.
Bukan hanya kemiskinan dan penghisapan kekayaan, namun rezim kanker seperti ASEAN dan APEC ini juga akan menghancurkan peradaban dan bangunan keluarga Muslim. Karena rezim ini adalah pemuja sekulerisme dan penggila pertumbuhan ekonomi yang akan memperlakukan masyarakat Muslim tidak lebih seperti mesin ekonomi penghasil uang yakni sebagai pasar dan buruh murah. Sedangkan urusan agama, moral, martabat, keharmonian social setiap komponen masyarakat jelas akan diabaikan. Mari belajar dari jejak kerusakan yang telah mereka ukir di negeri-negeri mereka sendiri, dimana mereka telah mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kemunduran moral dan peradaban. Pembangunan pesat senantiasa diiringi dengan krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, meluasnya kriminalitas, kekerasan terhadap perempuan dan anak, tingginya angka bunuh diri, hingga anjoknya angka kelahiran dan pernikahan akibat massifnya pelibatan perempuan sebagai angkatan kerja. Astaghfirullaah
Sindrom yang sama cepat atau lambat akan dialami oleh masyarakat Muslim Asia Tenggara, jika para pemimpinnya terus membebek pada Barat dan ikut menerapkan perjanjian perdagangan bebas yang jelas-jelas merupakan rezim penjajah sekaligus kanker yang menggerogoti masyarakat Muslim Asia Tenggara. Munculnya bentuk-bentuk keluarga yang tidak lagi berada pada koridor Islam, semacam bentuk keluarga urban dimana suami istri bekerja, sementara pengasuhan anak diserahkan pada pembantu atau sekolah, bentuk keluarga migran yang anggota keluarganya hidup jauh terpisah, atau bentuk keluarga single parent akibat hubungan tanpa pernikahan, dan sebagainya.
Apa yang harus kita lakukan?
Pencerdasan jelas perlu dilakukan kepada kaum Muslimah – karena dalam pandangan Islam, perempuan adalah pusat peradaban. Kaum Muslimah memegang peranan penting dalam mempertahankan keluarga dan sekaligus identitas Islam masyarakat Muslim. Masyarakat yang sehat bisa dicapai jika kaum Muslimah sadar di mana posisinya yang tepat dan kembali meraih posisi itu. Posisi utama perempuan adalah sebagai pendidik generasi masa depan. Ibu yang cerdas, beriman dan sadar akan tugas utamanya, akan melahirkan generasi-generasi pejuang yang akan memperbaiki kondisi umat Islam.
Pada saat yang sama, diupayakan pengokohan fungsi keluarga muslim, agar menjadi keluarga-keluarga yang tegak atas dasar ketaatan kepada Allah, menjadikan syari’at Islam sebagai standar sehingga setiap keluarga muslim mampu berfungsi sebagai mesjid, madrasah, rumahsakit, benteng pelindung dan kamp perjuangan yang siap melahirkan generasi pejuang dan pemimpin umat, yang berkualitas mujtahid sekaligus mujahid. Kesemuanya itu diarahkan untuk mewujudkan masyarakat taat syariat, dimana pemikiran, perasaan dan aturan masyarakatnya diikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, yakni Islam.
Fika Komara
Anggota Divisi Muslimah
di Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir