Kekalahan KPK dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan ibarat lonceng kematian bagi lembaga antirasuah tersebut. Kedigjayaan KPK dalam menyeret tersangka korupsi mulai dipertanyakan.
Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan bila penetapan tersangka bisa di-praperadilan-kan, maka akan banyak pihak yang menyerang KPK.
Sementara itu Ketua DPP Partai Gerindra Arief Poyuono juga mengatakan bahwa KPK sudah ‘game over’. Malah ia yakin bahwa putusan itu adalah bukti KPK sering melakukan praktek kriminalisasi. Arief percaya perilaku pejabat pejabat KPK selama ini mengunakan KPK sebagai alat untuk mengambil kekuasaan serta dipengaruhi oleh elit-elit politik untuk menghancurkan lawan lawan politiknya.
Kekalahan KPK juga diperparah dengan cacat etika sejumlah pimpinannya termasuk sang Ketua Abraham Samad. Samad diduga bermain politik dalam pemilu capres-cawapres lalu bersama PDIP. Selain kini kepolisian Makassar telah menetapkannya sebagai tersangka pemalsuan dokumen. Ditambah lagi rumor kedekatannya dengan beberapa orang wanita menambah buram potret KPK sebagai lembaga antikorupsi.
Sejarah Panjang Melawan Korupsi
Korupsi memang menjadi penyakit akut di Indonesia semenjak kemerdekaan. Begitu parahnya, Bung Hatta pada tahun 70-an itu mengatakan bahwa di Indonesia korupsi sudah menjadi budaya. Indonesia pun belum pernah mengalami era gemilang pemberantasan korupsi semenjak era kemerdekaan hingga dibentuknya KPK.
Di masa Orde Lama beberapa kali dibentuk lembaga anti korupsi dan pemberantasan korupsi. Presiden Soekarno pernah membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh A.H Nasution, lalu diubah menjadi Operasi Budhi. Tapi sikap perlawanan yang diberikan para pejabat pemerintah dengan berbagai alasan teknis dan konstitusional membuat dua lembaga itu gagal menjalankan tugasnya dan akhirnya dibubarkan. Lalu dibentuklah Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Tapi perjalanan perlawanan melawan korupsi di tanah air akhirnya masuk jalur lambat dan akhirnya mati.
Pada masa Orde Baru pemerintahan Presiden Soeharto juga membentuk lembaga anti korupsi, Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Namun rezim Orde Baru yang mengkritik kegagalan Orde Lama dalam memberantas korupsi juga bertindak sama. Sejumlah temuan penting tim ini tidak digubris, seperti dalam kasus Pertamina. Akhirnya lembaga ini pun dibubarkan dan diganti dengan Operasi Tertib (Opstib) yang dipimpin Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Tapi tidak adanya political will yang kuat dari rezim Orde Baru dalam memberantas korupsi membuat Opstib akhirnya macet. Ditambah lagi para koruptor juga mencengkram kekuasaan.
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan membentuk berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Minim Political Will Pemerintah
Dari perjalanan sejarah panjang tersebut terlihat benang merah kegagalan pemberantasan korupsi di tanah air justru disebabkan oleh ketidakseriusan pemerintah. Tidak adanya politicial will kuat dari pemerintah untuk memberantas korupsi. Pemerintah sering mengabaikan berbagai temuan penyelewengan kekuasaan yang dilaporkan oleh berbagai lembaga antikorupsi yang dibentuknya sendiri.
Lebih jauh lagi, sepanjang sejarah justru nampak ketidakberpihakan pemerintah kepada lembaga-lembaga antikorupsi. Dalam menjalankan tugasnya, KPK justru harus berhadapan dengan kepolisian, kejaksaan, DPR, bahkan parpol.
KPK sendiri dalam perjalanannya berkali-kali mengalami upaya pelemahan hingga delegitimasi. Mantan Ketua MK Mahfud MD menjelaskan ada tiga langkah yang sudah dilakukan banyak pihak untuk melemahkan KPK; pertama, menggunakan MK untuk meminta MK untuk mengujimaterikan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Ia mengatakan sudah 14 kali sejumlah pihak melakukan hal ini untuk melemahkan KPK.
Kedua, dengan mempermasalahkan legitimasi pimpinan KPK. Caranya adalah dengan melemahkan kepimpinan KPK yang kolektif kolegial, diantaranya adalah membonsaikan pimpinan KPK seperti yang terjadi pada Antasari Azhar. Karena jumlah pimpinannya berkurang maka legitimasi kepemimpinan KPK berakhir. Kasus serupa juga dilakukan terhadap Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Cara ketiga, adalah dengan cara konstitusional yaitu merevisi UU KPK. Hal ini sudah dilakukan pada tahun 2014 dan awal tahun ini. DPR memasukkan revisi UU KPK dalam prolegnas. Di antaranya dalah mencabut imunitas hukum para pimpinan KPK.
Selain itu, faktor cacat etika personal para pimpinan KPK juga menjadi celah pihak-pihak di luar KPK untuk menyerang lembaga antirasuah tersebut. Dalam periode kali ini tiga pimpinan KPK diperkarakan, termasuk ketua KPK Abraham Samad. Kecerobohannya bermain di zona politik dengan PDIP dalam pilpres kemarin membuat KPK menjadi bulan-bulanan para penyerangnya. Ditambah lagi tudingan kedekatannya dengan beberapa wanita dan pemalsuan dokumen membuat lonceng kematian bagi KPK berdentang lebih keras lagi.
Faktor terakhir ini nampaknya menjadi modus baru yang mulai dikembangkan oleh para politisi dan pejabat bermental korup. Mereka melacak track record para calon pimpinan KPK sampai mereka terpilih. Hal ini lalu mereka jadikan alat bargaining saat menghadapi kasus korupsi, atau bahkan kartu truf untuk menghancurkan KPK.
Demokrasi Tak Redam Korupsi
Berbagai konflik dan pelemahan terhadap KPK — juga kelemahan internal yang terjadi dalam tubuh KPK – membawa kita pada pertanyaan; benarkah sistem politik demokrasi dapat mengurangi kejahatan korupsi? Karena saat ini Indonesia tengah berada dalam era emas demokrasi pasca reformasi 1998 lalu. Sejumlah negara besar berkali-kali memuji Indonesia sebagai negara yang berhasil menjalankan pemilu secara demokratis.
Jatuhnya rezim Orde Baru yang represif menjadi harapan lahirnya pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang kepala negaranya dan anggota parlemennya ditentukan langsung oleh rakyat. Pemerintahan yang diharapkan bisa lebih transparan dan jauh dari korupsi.
Nyatanya Indonesia tetap terpuruk dalam kubangan korupsi. Indeks Korupsi yang dikeluarkan oleh transparency.org pada tahun 2014 menempatkan Indonesia pada peringkat 107, hanya tiga tingkat di atas Ethiopia dan satu tangga di bawah Djibouti (lihat https://www.transparency.org/cpi2014/results). Bahkan Indonesia masih kalah oleh negara penuh konflik gang kriminal macam Mexico yang berada di peringkat 103. Meski diakui peringkat Indonesia mengalami perbaikan setelah pada tahun 2013 menempati urutan ke 114.
Parpol, legislatif dan kepala daerah yang berperan aktif dalam penegakkan demokrasi justru yang paling banyak memproduksi para koruptor. Hingga saat ini ada … kepala daerah dan … anggota dewan yang menjadi terpidana korupsi. PDIP menjadi parpol terkorup dalam sejarah perpolitikan nasional. Demokrasi di Indonesia malah menyuburkan tindak pidana korupsi.
Maka benarkah sistem demokrasi dapat mengurangi kejahatan korupsi? Jawabannya demokrasi tidak berkorelasi dengan keberhasilan pemberantasan korupsi. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa demokrasi tidak serta merta menurunkan angka korupsi. Di antaranya penelitian yang dibuat oleh Ivar Kolstad and Arne Wiig (bisa dilihat di http://www.gu.se/digitalAssets/1373/1373636_kolstad.pdf) memperlihatkan bahwa demokrasi bukan obat mujarab memerangi korupsi. Terutama karena ia membuat parpol membutuhkan dana besar dalam setiap pemilu, sehingga mendorong terjadinya korupsi oleh berbagai pihak.
Sementara itu negara yang tidak demokratis seperti Singapura justru berada di peringkat ketujuh negara terbersih dari korupsi versi transparency.org. Begitu pula Hongkong yang menempati peringkat ke-17 juga bukan negara yang murni menerapkan demokrasi. Dari Timur Tengah ada Uni Emirat Arab yang menempati peringkat ke-25 lagi-lagi bukan negara yang memberlakukan demokrasi.
Kunci keberhasilan Singapura dan Hongkong dalam memerangi korupsi terletak pada kuatnya political will pemerintah, kepastian hukum dan sinergi antar lembaga negara. Ambil contoh Singapura mulai menyatakan perang terhadap korupsi di bawah komando Lee Kuan Yew. Lee terkenal dengan pernyataannya ‘no one, not even top government officials are immuned from investigation and punishment for corruption’.
Singapura memiliki Undang-Undang Pencegahan Korupsi (The Prevention of Corruption Act/ PCA) yang diperbaharui pada tahun 1989 dengan nama The Corruption (Confiscation of Benefit) Act. Dari Undang-Undang itu dibentuklah The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
CPIB sebuah organisasi yang terpisah dari polisi, bertugas untuk menginvestigasi seluruh kasus korupsi sebagai sebuah lembaga yang independen. CPIB bergerak berdasarkan Prevention of Corruption Act (PCA). Undang-undang ini memberi kekuasaan pada CPIB untuk menginvestigasi dan menangkap para koruptor. Lembaga inilah yang bertugas melakukan pemberantasan korupsi di Singapura. Kepada lembaga ini diberikan wewenang untuk menggunakan semua otoritas dalam memberantas korupsi.
Kepolisian Singapura pun menaruh respek dan bersinergi dengan CPIB. Setiap kali mereka melakukan penyelidikan dan penyidikan yang mengarah pada korupsi, maka Kepolisian Singapura menyerahkannya kepada CPIB. Bahkan, untuk pemeriksaan internal anggota polisi, jika terindikasi korupsi, akan diserahkan ke CPIB pula. Hasilnya, Singapura berada di peringkat ke-7 dalam keberhasilan pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi tidak ditentukan oleh tingkat keberhasilan satu negara dalam menegakkan demokrasi. Tapi oleh tiga hal diatas; political will yang kuat, kepastian hukum, dan sinergi antarlembaga negara. Demokrasi yang kini berkembang di Indonesia justru membuat pemberantasan korupsi menjadi lemah karena parpol merasa berkepentingan melindungi kader-kadernya dan kepentingannya dalam pemerintahan.
Lembaga negara juga tidak bisa lepas dari intervensi parpol. Presiden Jokowi yang di masa kampanye-nya menyatakan bahwa koalisi yang ia bangun tanpa syarat, dan kabinetnya akan diisi kalangan profesional nonpartai, justru menelan ludahnya sendiri. Lima belas menterinya justru Berasal dari parpol. Bahkan Jaksa Agung HM Prasetyo berasal dari Partai Nasdem yang notabene adalah partai pendukungnya. Komjen Budi Gunawan yang dicalonkan sebagai Kapolri sudah diketahui publik adalah sosok yang dekat dengan pribadi Megawati dan PDIP.
Sistem politik demokrasi di Indonesia juga tidak ‘mengharamkan’ rangkap jabatan antara pejabat negara dan pengurus parpol. Kerancuan ini membuat pejabat sulit melepaskan subyektifitasnya sebagai pengurus atau kader parpol. Termasuk dalam upaya pemberantasan korupsi.
Lalu bagaimana nasib pemberantasan korupsi pasca kekalahan KPK dari Komjen Budi Gunawan? Bila KPK sudah ‘game over’ maka siapa yang akan mengambilalih peran pemberantasan korupsi? Apakah publik akan percaya bila tugas itu diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan? Sulit bagi publik untuk bisa menerima keputusan tersebut karena rekam jejak kedua lembaga itu yang berkebalikan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Nampaknya upaya pemberantasan korupsi di tanah air kembali memasuki masa-masa suram. Pangkalnya karena sistem demokrasi yang justru membuka berbagai celah untuk melakukan penyelewengan kekuasaan.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya umat melihat dengan jernih cacat bawaan sistem demokrasi. Ia bukanlah sistem suci yang dapat membersihkan korupsi, justru melahirkan segudang tindak korupsi. Selama negeri ini masih tegak berdiri di atas demokrasi maka sepanjang itu pula korupsi akan menjamur dan dilakukan secara berjamaah. Upaya apapun untuk memberantas korupsi akan dimentahkan oleh para parpol, politisi dan pejabat yang menikmati berbagai fasilitas jabatan di alam demokrasi.
Sudah saatnya umat kembali kepada syariat Islam yang memiliki hukum yang pasti dan terbukti dalam sejarah dapat mereduksi korupsi hingga titik terendah. Tanpa syariat Islam dan khilafah Islamiyyah, korupsi masih akan terus menjadi persoalan besar di negeri ini dan di negara penganut ideologi kapitalisme yang menerapkan demokrasi. [Iwan Januar – Lajnah Siyasiyah DPP HTI]