Nama Aceh Tercoreng Oleh Program Miss Indonesia

kontes kecantikanOleh: Moni Mutia Liza, Mahasiswa FKIP Unsyiah Banda Aceh

Aceh sejak jaman dahulu (baca : masa kejayaan Islam selama 13 abad) kental dengan syariat, hingga tidak bisa dipisahkan antara syariat dan budaya masyarakatnya. Bahkan dunia barat mencatat bahwa Aceh adalah salah satu tempat munculnya generasi ulama Islam. Namun, agenda Miss Indonesia 2015 yang rutin diadakan tiap tahun oleh Indonesia selalu melukai hati rakyat Aceh. Sebab, sebagian besar perwakilan Aceh untuk mengikuti ajang tersebut tidaklah berbusana Islam melainkan berbusana gaya barat. Tentu saja ini akan memberikan citra buruk terhadap Aceh yang disebut nanggroe syariat.

Memang ajang ini selalu mendapatkan pro dan kontra dari masyarakat. Jika ditinjau dari segi syariat Islam tentulah ajang ini haram dilaksanakan, sebab perempuan yang mengikuti Miss Indonesia ini harus berpenampilan seksi dan berpakaian terbuka, ditambah lagi dengan pose mereka yang sedikit menggemaskan dan menarik untuk dilihat. Kemudian, jika kita tinjau dari segi manfaat dan mudharat, ajang ini ternyata lebih condong pada mudharatnya. Hal ini bisa dilihat dari konsep acaranya yang mengarah pada eksploitasi perempuan.

Kemudharatan lainnya adalah perempuan dijadikan komoditi penjualan bagi perusahaan kecantikan. Meskipun tujuan ini ditutup-tutupi, pada dasarnya yang paling diuntungkan pada ajang ini bukanlah perempuan melainkan perusahaan yang mengsponsori acara tersebut. Bukti terbentuknya ajang ini adalah untuk bisnis dapat kita lihat pada salah satu pemilik ajang kontes kecantikan ini yaitu istri Eric Morley, Julia Morley. Dari bisnis kontes wanita ini, ia memperoleh keuntungan mencapai 450 juta dolar Amerika. Di tangan wanita ini, ajang tersebut terus berkembang menjadi sebuah bisnis raksasa/global.

Ajang kontes kecantikan ini juga berpeluang untuk membuka kran kemaksiatan. Sebab konsep ajang ini tidak jauh dari bau kepornoan yang ditonton oleh banyak orang termasuk anak kecil. Walhasil, ajang ini menambah daftar tingkat pelecehan seksual dan pemerkosaan. Ajang yang bergengsi ini sejatinya juga menebarkan virus Hedonis dan Konsumtif. Masyarakat secara tidak sadar didikte untuk berpenampilan cantik dan terbiasa dengan busana terbuka sebagaimana yang ditampilkan oleh peserta Miss Indonesia ini. Akhirnya, generasi Indonesia khususnya Aceh disibukkan dengan belanja pernak-pernik kecantikan dan berlomba-lomba untuk tampil seksi. Karena syarat cantik yang disebarkan oleh ajang ini adalah bertubuh seksi dan berpakaian minim. Sungguh ironis.

Sudah seharusnya ajang yang menampakkan aurat ini ditolak. Namun, dari tahun ke tahun tetap saja ajang ini diadakan. Seolah pemerintah hanya bisa mengecam tanpa mengambil tindakan yang tegas untuk membubarkan ajang yang melecehkan perempuan tersebut. Tak terkecuali Aceh, setiap tahunnya selalu ada yang mewakili Aceh untuk mengikuti ajang Miss Indonesia. Padahal ini adalah bentuk penghinaan terhadap Nanggroe Aceh.

Perlu kita sadari bahwa perempuan sejatinya memiliki posisi yang mulia yaitu sebagai ummu warabbatul bait. Namun, posisi itu kini telah tergadaikan dengan materi dan gaya hidup Hedonis, akibatnya perempuan jauh dari fitrahya dan dijadikan pemutar ekonomi kaum kapital (pemilik modal). Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan yang hidup dalam sistem Islam begitu dimuliakan. Perannya sebagai pencetak generasi emas dan pendidik pertama menjadikannya mulia. Akan tetapi sistem Kapitalisme-Liberalisme yang diterapkan di negeri ini menjadikan perempuan hidup sengsara dan merana. Hanya penerapan Islam dalam bingkai Khilafahlah kunci kemuliaan perempuan. Wallahu’alam[]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*