Mencermati Ide “Kebebasan Bekerja” Dibalik Perjuangan Hak TKW
Ada yang menarik dari reaksi beberapa kelompok perempuan dan buruh migran yang mencemaskan rencana Presiden Joko Widodo untuk secara bertahap menghentikan pengiriman TKW ke luar negeri. Apalagi, saat Presiden juga menyatakan bahwa profesi PRT adalah sumber masalah dan merendahkan martabat Indonesia. Mereka menyebut rencana tersebut “diskriminatif.” Bahkan Migrant Care menuding langkah Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) yang melarang perempuan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) migran ke luar negeri adalah langkah melanggar konsitusi dan pengkhianatan terhadap nawacita. LSM Solidaritas Perempuan juga menegaskan bahwa pernyataan presiden itu melanggar konvensi migran pasal 1 mengenai prinsip non diskriminasi.
Nampaknya banyak kelompok pembela buruh migran di Indonesia menjadikan ide “hak dan kebebasan bekerja” bagi perempuan sebagai salah satu landasan dalam perjuangan mereka, di samping upaya keras mereka memperjuangkan perlindungan dan keamanan bekerja bagi TKW. Mereka tidak menyadari bahwa kerangka pikir seperti ini sebenarnya linear dengan ide feminisme liberal yang selalu mensucikan dan mengatasnamakan “kebebasan dan hak perempuan” termasuk soal hak bekerja dalam perjuangan mereka, seperti yang tertuang dalam pasal 11 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Ide “freedom to work” inilah yang kemudian justru menjadi bahan bakar bagi Kapitalisme untuk secara sistematis menindas dan memperbudak perempuan sebagai tenaga kerja murah, sekaligus menjadi gerbang awal dehumanisasi massal bagi jutaan perempuan di seluruh dunia.
Aktivis perempuan dan buruh migran di Indonesia perlu menyadari bahwa telah lama terjadi simbiosis mutualisme antara ide kebebasan bekerja dengan ideologi Kapitalisme dan bahwa akar dari ide kebebasan bekerja adalah paham liberal yang justru menjadi sumber dan akar masalah kekerasan terhadap perempuan karena mendoktrin manusia untuk mengejar kesenangan pribadi tanpa menghiraukan akibat yang ditimbulkannya kepada orang lain. Ide ini jugalah yang mengajarkan jutaan kaum Ibu yang terdorong menjadi TKW untuk menomorduakan tanggung jawab mereka terhadap anak-anaknya dalam mendidik dan mengasuh mereka, akibatnya hal ini menempatkan mereka dalam kondisi dilemma batin berkepanjangan karena memiliki beban ganda.
Sangat kontras dengan Kapitalisme, Islam memandang perempuan sebagai manusia yang harus dilindungi dan selalu difasilitasi secara finansial oleh kerabat laki-laki mereka ataupun oleh negara sehingga mereka bisa memenuhi peran utama mereka sebagai istri dan ibu, di saat yang sama negara melakukan penjagaan terhadap fungsi keibuan kaum perempuan sebagai investasi bagi lahirnya generasi berkualitas.
Di sisi lain Islam juga mengijinkan perempuan untuk mencari pekerjaan jika mereka menginginkannya. Namun perempuan harus berada dalam kondisi terbebas dari tekanan ekonomi dan sosial dalam bekerja, sehingga tanggung jawab rumah mereka tidak terganggu. Kaum perempuan juga harus terbebas dari kondisi yang menindas mereka berperan ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga untuk keluarga mereka. []
Fika Komara
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir