Solusi Panik Krisis Populasi Jepang: Imigrasi Massal?
Jepang telah terperangkap dalam spiral kematian demografi selama bertahun-tahun, karena angka kelahiran yang rendah menghasilkan populasi menua (aging population) yang tidak memiliki pekerja muda cukup untuk mempertahankan generasinya. Terjadi kemurungan yang ironis di masyarakat Jepang, dan sering benar-benar aneh –yang merupakan efek samping kultural dari runtuhnya populasi Jepang yakni seperti berkembangnya “anak robot” untuk merangsang naluri keibuan, dan fenomena hilangnya gairah seks di keluarga Jepang bahkan di kalangan generasi muda.
Saking buntunya mengatasi persoalan ini, pemerintah Jepang lantas mengeluarkan proposal terbaru –kebijakan untuk “imigrasi massal” ke Jepang. Adalah seruan dari kepala Biro Imigrasi Tokyo Hidenori Sakanaka untuk imigrasi besar-besaran: “Kita perlu revolusi imigrasi untuk membawa 10 juta orang masuk ke Jepang dalam 50 tahun ke depan, jika tidak maka ekonomi Jepang akan runtuh,” kata Sakanaka. Dia mengatakan sekarang kasus yang dihadapi Jepang adalah “populate or perish” (menambah populasi atau binasa) dan Jepang harus mengubah mentalitasnya.”Jepang adalah sebuah negara pulau dan kami tidak membiarkan orang asing masuk selama lebih dari 1.000 tahun, jadi kami belum memiliki pengalaman besar hidup dengan kelompok etnis lain,” katanya.
Pengalaman Amerika Serikat berkaitan dengan kasus imigran dari Amerika Selatan ATAU berbagai negara Eropa yang dengan cepat mengimpor populasi Muslim yang besar, menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat yang dapat dengan mudah menyerap jenis gelombang imigrasi massal.
Komentar :
Ini adalah buah pahit dari ideologi kapitalis materialistik yang memandang pemecahan semua masalah dari perspektif ekonomi dan mengabaikan dampak sosial dari kebijakan-kebijakannya terhadap kehidupan perempuan dan masyarakat secara keseluruhan. Sejumlah negara Barat seperti Italia dan Prancis juga menghadapi krisis populasi yang dihasilkan dari mentalitas materialistis yang dipelihara oleh kapitalisme dan telah menyebabkan banyak perempuan yang memiliki anggapan bahwa anak adalah penghalang karir atau penghasilan mereka. Hal ini telah memberi andil atas semakin rendahnya angka kelahiran di negara-negara ini dengan prediksi berkurangnya tenaga kerja dan semakin sedikitnya kaum muda untuk merawat orangtua mereka.
Krisis populasi yang dialami oleh negara-negara industri maju, tidak bisa dilepaskan dari kebijakan teori kontrol populasi yang telah lebih dahulu mereka pakai. Teori cacat untuk mencegah kemiskinan melalui kontrol populasi ini berbasis pada sudut pandang kapitalis yang salah tentang ekonomi yang gagal membedakan antara apa yang merupakan kebutuhan bagi semua manusia dan apa yang merupakan kemewahan dan keinginan semata. Hal ini telah menyebabkan keyakinan yang keliru bahwa sumber daya yang ada tidak cukup untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi semua orang dan karenanya lahir kebutuhan untuk mengontrol populasi. Jepang pun menapaki jalan yang sama karena penerapan kapitalis yang rusak sebagaimana negara-negara Barat yang memandang anak-anak sebagai beban ekonomi bukan sebagai berkah bagi keluarga dan aset bagi masyarakat. []
Fika Komara
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir