Hukuman Mati, Pasti!

[Al-Islam edisi 745, 8 Jumadul Ula 1436 – 27 Februari 2015 M]

Kejaksaan Agung akhirnya menunda pelaksanaan eksekusi mati tahap II guna memenuhi permintaan Pemerintah Australia dan dua keluarga terpidana mati kasus narkoba asal negara tersebut, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. “(Ini) wujud respon terhadap permintaan Australia dan keluarganya untuk meminta waktu panjang untuk bertemu (dua terpidana mati),” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony Tribagus Spontana, di Jakarta (Antaranews.com, 17/2).

Rencananya, Kejakgung pada tahap II akan mengeksekusi 11 terpidana mati yang grasinya telah ditolak oleh Presiden. Empat orang adalah WNI (3 kasus pembunuhan berencana, 1 kasus narkoba) dan tujuh WNA (semuanya kasus narkoba, dua di antaranya adalah warga negara Australia).

Masalah teknis juga jadi alasan penundaan itu. “Tim eksekutor sudah meninjau Nusa Kambangan, ternyata ada kendala teknis didapati bahwa lokasi agak sulit untuk dilakukan eksekusi lima terpidana mati secara bersamaan,” kata Kapuspenkum Kejagung, Tony Tribagus Spontana (Antarannews.com, 17/2).

Campur Tangan Australia?

Australia berusaha keras membebaskan warganya dari hukuman mati itu. Berbagai cara dilakukan. PM Australia Tony Abbott mendesak Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati terhadap dua warga negaranya. Dia pun mengungkit bantuan Australia untuk membangun kembali Aceh usai diterjang tsunami pada Desember 2004. Menurut Abbott, kebaikan warga Australia itu seharusnya dibayar Indonesia dengan memberikan grasi kepada Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. “Tolong, jangan dilupakan saat Indonesia dihantam tsunami, Australia langsung mengirimkan bantuan kemanusiaan miliaran dolar,” katanya sebagaimana dilansir dari Sydney Morning Herald, Rabu (18/2).

Entah semua itu berpengaruh atau tidak, yang jelas setelah itu keluar keputusan Kejagung untuk menunda eksekusi 11 terpidana mati itu, termasuk dua warga negara Australia. Memang, penundaan eksekusi itu sering dikatakan bahwa penyebabnya adalah masalah teknis. Namun, apa yang dilakukan Pemerintah Australia tampaknya juga berpengaruh. Kapuspenkum Kejagung, Tony Tribagus Spontana seperti dikutip Antaranews.com (17/2), menyatakan bahwa penundaan eksekusi itu adalah “wujud respon terhadap permintaan Australia dan keluarganya untuk meminta waktu panjang untuk bertemu (dua terpidana mati)”.

Hal itu tentu sangat disayangkan karena menunjukkan lemahnya kedaulatan negeri ini. Pelaksanaan hukuman yang sudah tetap ternyata bisa dipengaruhi oleh pihak asing. Dengan begitu, klaim bahwa Pemerintah tidak tunduk pada campur tangan asing dan tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun akhirnya hanya ungkapan kosong.

Dengan lemahnya kedaulatan negeri ini, tekanan dari negara lain dan pihak internasional akan makin banyak. Apalagi masih ada puluhan orang WNA terpidana mati yang belum dieksekusi. Kementerian luar negeri akan kerepotan dan disibukkan oleh masalah itu. Akibatnya, banyak urusan lain bisa terbengkalai.

Apa yang dilakukan oleh Abbot itu menegaskan bahwa memang ‘tidak ada makan siang gratis (no free lunch)’. Di balik apapun yang diberikan oleh pihak asing, termasuk bantuan, pada dasarnya ada kepentingan. Bantuan itu kapan saja bisa digunakan sebagai alat untuk campur tangan dan kontrol atas pihak yang diberi bantuan.

Karena itu bantuan asing, apapun bentuknya, bisa dijadikan alat campur tangan mereka terhadap negeri ini. Saat Pemerintah tunduk pada campur tangan asing (negara-negara kafir), hal itu sama saja dengan memberikan jalan kepada mereka untuk mengontrol bahkan menguasai kita. Padahal Allah SWT melarang hal demikian.

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Sekali-kali Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menghancurkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Hukuman Mati, Pasti!

Masyarakat mendukung penerapan hukuman mati, terutama atas kejahatan tertentu seperti pembunuhan, narkoba bahkan korupsi. Hukuman mati memang menghilangkan hidup si terpidana. Namun, khususnya dalam kasus pembunuhan dan narkoba, hukuman mati itu akan bisa mempertahankan hidup atau mencegah hilangnya nyawa banyak orang.

Karena itu alasan bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia (HAM) jelas mengada-ngada. Alasan ini hanya mempertimbangkan HAM terpidana (pelaku kejahatan). Lantas bagaimana dengan HAM korban dan mereka yang nanti akan jadi korban kejahatan serupa? Bagaimana dengan hak asasi masyarakat untuk bebas dari ancaman kejahatan?

Hukuman mati dalam kasus narkoba jelas menjadi keniscayaan. Kejahatan narkoba adalah kejahatan luar biasa. Menurut Humas BNN Slamet Pribadi, berdasarkan data hasil penelitian BNN bersama Pusat Penelitian Kesehatan UI, pada tahun 2014 di Indonesia ada 4 juta pengguna narkoba. Pada tahun 2011 tiap hari 50 orang mati karena narkoba. Pada tahun 2014 tiap hari 33 orang mati karena narkoba (Cnnindonesia.com, 24/2/2015).

Presiden Jokowi pun menyatakan, Indonesia saat ini darurat narkoba. Menurut dia, hampir 50 orang mati setiap hari karena narkoba. Dalam setahun 18 ribu orang mati karena narkoba (Tempo.co.id, 4/2/2015).

Ini jelas jumlah yang sangat besar. Jumlah ini ratusan kali lipat dari jumlah orang yang mati karena terorisme. Jika terhadap kasus terorisme hukuman mati dinilai layak diterapkan, tentu untuk kasus narkoba yang jumlah korban matinya jauh lebih banyak, hukuman mati jauh lebih layak diterapkan. Apalagi narkoba juga “mematikan” penggunanya, terutama yang kecanduan meski orangnya masih hidup. Pasalnya, narkoba telah “mematikan” kehendak, akal dan masa depannya. Ini pada akhirnya akan mendatangkan kesulitan bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya. Karena itu sangat pantas jika diterapkan hukuman mati dalam kasus narkoba.

Islam Menetapkan Hukuman Mati

Dalam kasus pembunuhan disengaja Islam mewajibkan hukuman mati, yakni qishash. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (TQS al-Baqarah [2]: 178).

Hukuman mati juga diberlakukan pada kasus-kasus kejahatan lainnya sebagaimana yang dinyatakan dalam nas. Hukuman mati juga bisa diterapkan dalam kasus ta’zir, terutama untuk kejahatan yang sangat besar dampaknya bagi masyarakat. Dalam kasus narkoba, dengan bahaya narkoba yang begitu besar terhadap masyarakat, tentu pengedar narkoba dan gembong narkoba pantas dihukum mati.

Eksekusi atas hukuman itu harus sesegera mungkin dilaksanakan dan tidak boleh ditunda-tunda. Penundaan hanya akan menimbulkan masalah. Dalam kasus negeri ini, akibat tertunda karena berbelitnya proses hukum atau sengaja ditunda-tunda, maka seperti dilaporkan oleh Republika (19/1), saat ini ada 137 orang terpidana mati yang belum dieksekusi. Dari jumlah itu, sebanyak 69 orang terpidana mati kasus pembunuhan dan perampokan, dua orang terpidana mati kasus terorisme dan sebanyak 66 orang terpidana mati kasus narkoba (39 orang adalah warga negara asing dan 27 orang WNI).

Demi Kemaslahatan Masyarakat

Selain berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa bagi pelakunya), hukum Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah), yakni mencegah terjadinya kejahatan serupa di masyarakat. Artinya, hukum Islam akan menyelamatkan masyarakat. Allah SWT berfirman:

]وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[

Dalam qishash itu ada jaminan kelangsungan hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179).

Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm menjelaskan, “Di dalam pensyariatan qishash terdapat hikmah besar untuk kalian, yaitu pemeliharaan dan perlindungan atas kehidupan. Alasannya, karena jika orang tahu bahwa pembunuh akan dibunuh, maka ia akan tercegah dari perbuatan itu. Jadi, dalam yang demikian ada kehidupan bagi jiwa-jiwa manusia.”

Sifat memberi efek jera sehingga mencegah orang melakukan kejahatan serupa juga ada pada seluruh sanksi hukum Islam. Efek jera ini akan efektif karena pelaksanaan sanksi itu dilakukan secara cepat, tidak tertunda lama sejak diputuskan. Ini karena sistem hukum Islam tidak berlarut-larut dan tidak berbelit-belit. Dekatnya waktu vonis dan pelaksanaan eksekusi membuat masyarakat masih ingat betul hukuman itu atas kejahatan apa. Efek jera atas kejahatan serupa pun kuat terbentuk. Efek jera ini makin efektif karena Islam mensyariatkan pelaksanaan sanksi hukuman itu harus dilakukan secara terbuka, dengan disaksikan oleh masyarakat, sebagaimana yang diharuskan dalam pelaksanaan hukuman cambuk bagi pezina (QS an-Nur [24]: 2).

Hukum Islam juga berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa). Artinya, hukum Islam yang dijatuhkan di dunia akan menjadi penebus dosa bagi pelakunya sehingga dia tidak akan disiksa atas dosa yang sama di akhirat kelak. Ini merupakan kemaslahatan hakiki bagi pelaku tersebut.

Namun harus diingat, semua kebaikan itu hanya bisa terealisasi manakala sistem hukum Islam (‘uqubat) diterapkan bersamaan dengan seluruh sistem Islam. Hal itu akan bisa diwujudkan melalui penerapan syariah secara total di bawah sistem Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah yang mestinya segera dan mendesak diwujudkan oleh kaum Muslim saat ini. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam:

Wapres Jusuf Kalla menampik adanya mafia yang bermain di balik naiknya harga beras saat ini. Ia menduga permainan di pasaran hanya sebatas timbun-menimbun beras (Kompas.com, 23/2).

  1. Kalau begitu mestinya pelakunya segera ditindak. Jika Polisi bisa demikian cepat dalam kasus KPK dan canggih dalam kasus terorisme, masa tidak bisa dengan cepat dan canggih menindak para penimbun beras?!
  2. Yang jelas, kenaikan harga beras saat ini tidak wajar. Jika semata-mata karena aksi penimbunan, kok terjadi di mana-mana dan bersamaan? Itu artinya, yang menimbun bisa jadi pemain besar yang bisa mempengaruhi suplai untuk wilayah yang luas sekali.
  3. Yang jelas, Pemerintah lagi-lagi kedodoran menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat. Kenaikan ini mestinya bisa diantisipasi dan bisa diatasi dengan cepat jika birokrasi baik, bekerja cepat dengan koordinasi yang baik dan berorientasi pada pelayanan urusan rakyat (ri’ayah).

One comment

  1. Sebuah ironi, ketika menyatakan sebagai negara yg ber’daulat’ ternyata Indonesia masih takut melaksanakan ketetapan hukum d wilayahnya sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*