Ahistoris

panji khilafahAda saja cara orang untuk meragukan kewajiban penegakan syariah dan khilafah. Yang paling sering adalah mempertanyakan apa dalilnya. Namun, jangan dulu mengira mereka adalah orang-orang yang sangat kokoh berpegang pada dalil, dan khawatir betul jika menyimpang dari dalil. Itu hanya trik saja untuk menyerang lawan. Pasalnya, saat yang sama mereka sama sekali tidak pernah mempertanyakan apa dalil dari sekularisme, kapitalisme dan demokrasi yang mereka dukung mati-matian; juga di mana landasan al-Quran dan al-Hadis dari sikap mereka yang tak henti menyerang pihak-pihak yang ingin menegakkan syariah secara kaffah dalam bingkai khilafah.

Bukan hanya mempertanyakan dalil, bahkan keabsahan dalil yang ada pun mereka persoalkan. Contohnya hadis riwayat Ahmad tentang bakal berdirinya kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Nadirsyah Hosen dalam buku Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila (Expose Publika, 2014) mempertanyakan keabsahan hadis tersebut. Menurut dia, hadis ini pantas diragukan karena ada ada perawi yang bernama Habib bin Salim yang dia nilai lemah. Karena itu Imam al-Bukhari dalam kitabnya At-Tarikh al-Kabir (II/318) mengomentari perawi itu dengan menyatakan, “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Menurut Hosen, inilah sebabnya mengapa Imam al-Bukhari tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Selain itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut sehingga “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.

Padahal perkataan Imam al-Bukhari “fihi nazhar” mengenai seorang perawi hadis tidaklah selalu melemahkan hadis yang dia riwayatkan apalagi menegasikan hadis tersebut. Bisa jadi para ahli hadis lainnya menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil (takwa) dan dhabith (kuat hapalannya).

Selain dalil, mereka juga sering menyatakan bahwa perjuangan penegakan Khilafah tidak punya dasar historis, alias ahistoris. Ini tentu juga hanya untuk meragukan umat tentang arah perjuangan yang sangat mulia ini. Pasalnya, sesungguhnya fakta sejarah tentang hal itu sangatlah melimpah.

Nah, berkaitan dengan dasar historis perjuangan Khilafah, menarik apa yang diungkap oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutan pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 yang diselenggarakan di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada 9 Februari lalu. Kongres 5 tahunan itu berlangsung dari tanggal 8 hingga 11 Februari. Kongres diikuti tidak kurang dari 700 peserta utusan MUI Pusat dan Daerah, utusan Ormas Islam tingkat Pusat, perwakilan pesantren dan perguruan tinggi Islam serta para tokoh.

Dalam sambutannya, Sri Sultan mengungkap beberapa fakta sejarah, yang mungkin belum banyak orang tahu, yaitu tentang hubungan Kekhilafahan Turki Utsmani dengan sejumlah kesultanan di tanah Jawa. Di antaranya, kata Sultan, pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa (perwakilan Kekhalifahan Islam [Turki] untuk Tanah Jawa), dengan penyerahan bendera Laa ilaaha illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya kini tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil Kekhalifahan Turki.

Dari secuil fakta yang diungkap oleh Sultan HB X tersebut, kita mendapatkan beberapa pelajaran. Pertama: Khilafah yang ketika itu berpusat di Istambul, Turki, adalah institusi politik Islam yang kekuasaannya melintas batas dari apa yang sekarang disebut sebagai negara bangsa (nation state) hingga mencapai wilayah Nusantara. Guna mengendalikan kekuasaannya yang terbentang ke berbagai wilayah itu, Khilafah mengangkat para wali dan amil, termasuk untuk wilayah Jawa. Pengukuhan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa atau perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, adalah bukti nyata dari adanya rentang kendali kekuasaan itu.

Kedua: Berkat Khilafahlah dakwah Islam bisa sampai ke wilayah Nusantara, termasuk ke Tanah Jawa. Ini karena memang salah satu tugas utama Khilafah adalah melaksanakan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Hal ini diperkuat oleh fakta sejarah lain: Khilafah Utsmani, sebagaimana disebut dalam buku Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Tanah Jawa (Budiono Hadi Sutrisno, 2010), melalui wali (gubernur)-nya, mengutus para ulama untuk menyebarkan Islam di Bumi Nusantara. Pada tahun 808 H/1404 M untuk pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I dari Khilafah Utsmani ke Pulau Jawa kelak dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, ahli tata pemerintahan dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina dan Syaikh Subakir dari Persia. Sebelum ke Tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai, yang telah kontak dengan Kekhilafahan lebih dulu. Ukhuwah yang terjalin erat antara Aceh dan Kekhilafahan itulah yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah.

Dari fakta tersebut nyata bahwa Islam bisa berkembang ke Tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya berkat dakwah yang dilakukan oleh Khalifah, dengan kata lain, melalui dakwah struktural, selain melalui dakwah kultural, seperti yang sering disebut oleh banyak pihak.

Selain itu, ungkap Sultan, pada tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda. Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.

++++

Sejarah memang bukan sumber hukum (masdar al-hukm), bukan pula sumber pemikiran (masdar at-tafkir). Namun, sejarah bisa menjadi bukti paling nyata tentang apa yang pernah terjadi. Dari sejarah kita bisa melakukan rekonstruksi bangunan utuh sebuah peristiwa, gagasan dan bahkan peradaban, seperti peradaban Islam yang pernah membentang ke berbagai wilayah dunia ratusan tahun lamanya di bawah naungan Khilafah.

Mengingat tidak semua orang punya akses langsung terhadap peristiwa sejarah, maka pengungkapan sumber sejarah menjadi sangat penting. Sumber sejarah bisa berupa catatan-catatan sejarah, bisa juga barang-barang penyerta dalam peristiwa sejarah. Apa yang disampaikan oleh Sri Sultan dalam pembukaan KUII lalu tentu saja berasal dari sumber sejarah yang valid yang disampaikan oleh sosok Sultan yang tentu juga “valid”. Apalagi catatan sejarah itu juga dilengkapi dengan bukti sejarah berupa bendera (meski hanya duplikat) yang masih tersimpan dengan baik di Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, bagi Muslim yang ikhlas, sekelumit fakta yang disampaikan oleh Sultan tersebut mestinya semakin memperkokoh keyakinan tentang keagungan Khilafah dan kewajiban untuk memperjuangkan kembali Khilafah; bukan sebaliknya justru mencari-cari jalan untuk menimbulkan keraguan di tengah umat.

Jadi jelas sekali, menolak perjuangan Khilafah justru merupakan tindakan ahistoris (tidak berdasarkan fakta sejarah). Penolakan itu juga merupakan tindak pengkhianatan terhadap perjuangan umat Islam pada masa lalu, dan yang pasti merupakan pengingkaran terhadap perintah Allah SWT.

AlLahu’alam bi ash-shawab. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*