Catatan Penting KUII VI

rahmat kurnia KUIIMuhammad Rahmat Kurnia

 

“Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban”. Itulah tema Kongres Umat Islam Indonesia VI (KUII VI) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 8 – 11 Februari 2015 lalu. Saya bersyukur dapat menghadiri kongres tersebut. Ini adalah kali ketiga saya menghadiri KUII, setelah KUII IV tahun 2005 di Hotel Sahid Jakarta dan KUII V 2010 di Asrama Haji, Pondok Gede, Bekasi.

Dalam sambutannya, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan bahwa KUII VI diselenggarakan di Yogya ini penuh makna. “Yogyakarta sarat dengan simbol Islam. Yogya harus dinilai sebagai tempat tumbuh kembang Islam moderat dan mendorong harmonisasi keragaman pemeluk-pemeluknya. Kata kuncinya adalah moderat dan harmoni. Itulah Islam Indonesia,” paparnya.

Saya lihat, banyak peserta yang duduk di sekitar saya bergumam, “Wah, bagaimana ini. Islam itu ya satu. Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Kalau begini, bisa-bisa ada Islam Yogya, Islam Surabaya, dsb.”

Kegerahan itu rupanya cukup merata. Salah satunya, Sri Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dari Kesultanan Islam Palembang Darussalam. Saat memberikan sambutan mewakili para sultan, beliau mengatakan, “Sebelum ada Indonesia, kesultanan sudah ada. Landasannya adalah Islam. Islam itu satu. Tidak ada Islam Indonesia, Islam Malaysia, Islam Arab. Saya tidak setuju dengan pandangan Pak Menteri!”

Sambutan pun sangat luar biasa dari para peserta. Ini menunjukkan bahwa mayoritas peserta tidak setuju dengan pengkotak-kotakan dengan istilah ‘Islam Indonesia’. Islam ya Islam.

Yogyakarta memang sarat dengan simbol Islam. Secara historis Yogyakarta merupakan Kesultanan Islam dan merupakan bagian dari Khilafah Utsmaniyah yang kala itu berpusat di Istambul, Turki. Dalam acara pembukaan KUII VI hal itu ditegaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, “Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) di Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera La Ilaha illalLah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka’bah dan bendera bertuliskan MuhammadurasululLah berwarna hijau.”

Beliau segera menambahkan, “Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.”

Dengan demikian bila KUII VI diselenggarakan di Yogyakarta, satu hal yang tidak boleh dilupakan, Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Kekhilafahan Utsmaniyah.

Sekalipun demikian, dalam berbagai diskusi yang saya lakukan dengan berbagai ulama dan tokoh di tengah acara KUII VI ini secara umum bertema Khilafah, memang ada yang setuju, ada yang tidak setuju, dan ada pula yang memilih sikap netral. Tidak mengherankan, pada saat KH Masdar F Mas’udi memaparkan materi dalam kongres tersebut, tema yang ia sampaikan adalah Khilafah. Terlepas dari apa Khilafah yang beliau maksudkan, diangkatnya tema ini menunjukkan urgensi membicarakan Khilafah. Padahal dalam sesi awal, Ketua SC, KH Slamet Efendi Yusuf menegaskan, “Jangan membicarakan ide kontroversial seperti Khilafah.”

Toh, KH Masdar tetap membicarakan Khilafah. Secara pribadi, beliau menyampaikan kepada saya, “Kita memang perlu membicarakan tentang Khilafah sebagai respons terhadap isu ini yang sekarang sedang hangat di dunia.”

Sayang, hal ini tidak menjadi fokus dan tema bahasan dalam kongres. Padahal kenyataan bahwa umat Islam terpuruk secara politik sudah merupakan rahasia umum. Menarik apa yang disampaikan oleh pengamat politik Bahtiar Effendi dalam salah satu sesi KUII VI, “Apa aspirasi politik umat Islam, belum jelas. Kalau pada tahun 1955 jelas aspirasi politiknya, sekarang kabur. Solidaritas politik umat Islam pun hampir tidak ada. Bagaimana akan menguatkan peran politik kalau wujudnya saja tidak ada?”

Beliau pun mengkritik tajam realitas politik saat ini, “Berdirinya partai-partai Islam semestinya tidak dimaksudkan sebagai pelengkap, tetapi untuk memperjuangkan aspirasi Islam. Partai-partai Islam sekarang tidak berani. Ketidakberaniannya bukan didasarkan pada Islam tetapi berdasarkan kalkulasi politik sesaat. Akibat kalkulasi-kalkulasi politik tersebut terjadi deviasi yang luar biasa!”

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Din Syamsuddin mengatakan bahwa di Indonesia sekarang tengah diterapkan sistem politik yang paling liberal. “Di negara kampium demokrasi sekalipun, tidak ada walikota dipilih secara langsung!”

Dalam bidang ekonomi juga demikian. Irman Gusman menyatakan, “Menurut data Forbes, rasio gini di Indonesia adalah 0,41 pada tahun 2012.” Artinya, 1% penduduk menguasai 41% kekayaan negara.

Ketua DPD RI ini menambahkan, “Pada tahun 2014, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sebesar Rp 640 triliun. Sekitar 30% APBN tahun 2014.”

Untuk itu, beliau menyimpulkan, “Ekonomi liberal, ekonomi pasar, makin tidak mendapat tempat di dunia. Perlu alternatif. Alternatif itu adalah ekonomi syariah. Ekonomi syariah bukan hanya bagi umat Islam, melainkan juga bagi nonMuslim.”

Dalam konteks keuangan, liberalisasi pun terjadi. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliawan Haddad, menegaskan, “30% kredit bank diberikan kepada perusahaan besar. Lalu 90% deposito dimiliki oleh perusahaan besar. Jadi, kini tengah terjadi kesenjangan yang sangat besar.”

Lebih tegas, Ichsanudin Noorsyi mengatakan, “Tema KUII VI ‘Penguatan Peran Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya Umat Islam’ dst menunjukkan bahwa umat Islam kini sedang terjajah. Umat Islam sebagai pemegang kedaulatan tidak memiliki sumberdaya, tidak memiliki produksi dan tidak menguasai distribusi. Bangsa ini sedang menghadapi peperangan ekonomi.”

Pengamat ekonomi Hendri Saparini menyampaikan, “Para ekonom Barat sudah merasa tatanan ekonomi sekarang salah. Kita harus mencari tatanan baru.”

Bila dilihat dari berbagai pandangan selama sidang pleno seperti tadi, ada satu benang merah: Indonesia sedang menghadapi neoliberalisme dan neoimperialisme. Untuk itu, saya menyampaikan di dalam salah satu sidang pleno KUII VI, “Ancaman yang sekarang sedang dihadapi Indonesia adalah neoliberalisme dan neoimperialisme dalam semua bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Jadi, aspirasi umat Islam semestinya adalah membebaskan diri dari neoliberalisme dan neoimperialisme dalam segala bidang ini. Lalu, setelah kita terbebas apa yang diterapkan? Semestinya, kita menerapkan syariah Islam.”

Saya menambahkan, “Kita tidak boleh malu dan ragu untuk menerapkan syariah Islam secara total. Berkaitan dengan Khilafah, Khilafah itu adalah ajaran Islam. Kita tidak boleh phobi terhadap Khilafah yang merupakan ajaran agama kita. Sebaiknya, kita pelajari apa Khilafah itu. Kalau Khilafah itu baik, mengapa kita tidak mau untuk mengikuti dan menerimanya. Kalaupun ada yang menganggap tidak baik, maka harus dapat menunjukkan dimana letak tidak baiknya. Jangan phobi dulu.”

Ya, Kongres Umat Islam sejatinya melahirkan solusi mendasar. WalLâhu a’lam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*