Ats-Tsamar yang dimaksud di sini bukan hanya buah-buahan (al-fawâkih), tetapi hamlu asy-syajar, yakni buah hasil tanaman, sehingga mencakup buah-buahan dan selain buah-buahan.
Menjual buah hasil tanaman bisa terjadi dalam empat kondisi. Pertama: setelah buah dipanen/dipetik. Penjualannya seperti jual beli biasa dan atasnya berlaku hukum-hukum jual-beli umumnya. Kedua: dalam bentuk baiy’ as-salam, yakni jual-beli pesanan. Dalam hal ini, buah tersebut belum ada pada penjual. Buah itu berada dalam tanggungan penjual dan akan dia serahkan setelah jangka waktu yang disepakati. Hanya saja, buah tersebut haruslah buah yang biasanya dijual dengan standar hitungan/jumlah, takaran atau timbangan. Dalam hal ini berlaku terhadapnya hukum-hukum jual-beli pesanan (bay’ as-salam), termasuk harga harus dibayar di muka, dan tidak boleh diutang. Ketiga: dalam bentuk menjual buah yang masih di pohon dan belum dipetik. Artinya, menjual buah yang masih ada di pohon-pohon tertentu baik satu ataupun banyak pohon, yang ada di kebun tertentu, baik kebun itu luas atau sempit.
Dalam hal ini Jabir bin Abdullah ra telah meriwayatkan bahwa Rasul saw. bersabda:
« أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ »
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang menjual buah hingga mulai tampak kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (ats-tsamar/hasil tanaman) yang masih berada di pohonnya jika belum mulai tampak kelayakannya. Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari hadis ini menunjukkan kebolehan menjual buah yang masih di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya.
Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan, “hatta yathîba (hingga masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i). Dalam riwayat Jabir bin Abdullah ra. menuturkan:
« نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا »
Nabi saw. telah melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ibn ‘Abbas ra. menuturkan:
« نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَحَتَّى يُوزَنَ »
Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan atau orang bisa makan darinya dan hingga bisa ditimbang (HRal- Bukhari).
Jadi batasan kebolehan buah yang masih ada di pohonnya itu untuk bisa dijual adalah jika buah itu sudah mulai layak dimakan atau dikonsumsi. Ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Ada kalanya buah itu dikonsumsi meski masih mentah dan muda, contohnya adalah buah mangga jenis tertentu untuk rujak, atau buah nangka untuk dijadikan sayur. Jika buah tersebut bisa dikonsumsi ketika masih muda dan ketika sudah masak, semisal nangka, ketika menjual buah nangka itu dan masih berada di pohonnya, maka harus jelas buah itu dijual untuk sayur atau untuk dikonsumsi ketika masak. Jika dijual untuk sayur, yakni masih muda maka tidak boleh dibiarkan ditunggu hingga tua dan masak.
Batasan buah itu layak dikonsumsi mengikuti tradisi pengkonsumsiannya di masyarakat. Tanda-tanda buah itu sudah layak atau bisa dikonsumsi berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
« أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ »
Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang menjual anggur hingga warnanya menghitam dan menjual biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).
Buah-buahan secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, pepaya, dsb. Jika sudah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak. Jika belum tampak tanda-tanda seperti itu, lalu buah jenis ini dipetik, maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya.
Kedua: buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Jika sudah seperti itu maka buah yang masih di pohonnya boleh dijual. Jika dipetik sebelumnya, buah itu tidak bisa masak. Batas tersebut, yakni kapan buah itu sudah masak dan bisa dikonsumsi, bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.
Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang panjang, dsb, yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi sehingga sudah boleh dijual. Adapun jenis biji-bijian seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas sudah boleh dijual ketika sudah keras.
Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di kebun. Hal itu sangat sulit. Pasalnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Namun, ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Jadi maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah jika ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah. Misal, jika sudah ada sebagian mangga yang sudah layak petik, yakni jika dipetik akan bisa masak, maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah, maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual baik yang sudah ada maupun yang belum ada. Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual, begitulah.
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Jabir bin Abdullah ra., berkata: Nabi saw. bersabda:
«إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ »
Jika engkau menjual buah kepada saudaramu lalu terkena bencana maka tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta saudaramu tidak secara haq (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai).
Namun, jika bencana itu bukan bencana cuaca seperti pencurian, kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dsb, maka penjual tidak harus melepaskan harganya. Pasalnya, bencana seperti itu tidak termasuk dalam cakupan makna hadis tersebut.
Semua itu, jika buah yang masih ada di pohon itu sudak tampak kelayakannya untuk dikonsumsi, maka boleh dijual. Adapun jika belum tampak kelayakannya untuk dikonsumsi maka buah yang masih di pohon itu tidak boleh dijual. Hal itu sesuai dengan hadis-hadis di atas. Ini jika yang dijual adalah buahnya sendiri, tanpa pohonnya.
Keempat: menjual pohon dan buahnya. Dalam hal ini ada perbedaan antara kurma dan selainnya. Untuk kurma berlaku sabda Rasul saw.:
«مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ»
Siapa saja yang menjual kurma setelah diserbukkan maka buahnya untuk penjual, kecuali disyaratkan oleh pembeli (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan at-Tirmidzi).
Jadi jika sudah diserbukkan maka buah kurma itu tidak mengikuti pohonnya. Jika pohonnya dijual maka buahnya milik penjual kecuali disyaratkan buahnya masuk dalam penjualan pohonnya itu. Adapun jika pohon itu dijual dan belum diserbukkan maka buahnya menjadi milik pembeli. Dalam hal ini yang menjadi patokan adalah penyerbukan buatan itu. Karena itu, pohon semisal yang memerlukan penyerbukan buatan seperti salak, maka bisa diperlakukan seperti kurma tersebut.
Adapun pohon selain kurma dan yang sejenis, maka buahnya mengikuti pohon. Jadi jika pohonnya dijual maka buah yang ada di pohon itu termasuk dalam penjualan itu sehingga buahnya menjadi milik pembeli pohon tersebut. Misal, siapa yang membeli pohon mangga, durian dan lainnya, dan sedang berbuah, maka buahnya menjadi milik pembeli.
Inilah ketentuan tentang jual beli buah secara ringkas. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]