Penghentian Pengiriman PRT, Solusi Atau Pencitraan?
Jokowi mengaku malu dan sakit hati setiap kali membicarakan PRT (Pekerja Rumah Tangga) Indonesia. Kunjungan kenegaraannya ke Malaysia 5-7 Februari 2015 lalu menegaskan fakta bahwa 2,3 juta penduduk Indonesia bergantung nasib pada Malaysia. Bahkan 1.2 juta pendatang ilegal harus berhadapan dengan hukum Malaysia yang siap memperlakukan mereka bagai pesakitan. PRT yang sebagian besar terdiri dari kaum perempuan menjadi bagian pendatang ‘haram’ tersebut. Jumlah PRT Indonesia di Malaysia memang tak main-main. Presiden Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia (PAPA), Jeffrey Foo menyebutkan, tahun 2015 ini diperkirakan ada 200.000 PRT Indonesia.
Keprihatinan Jokowi akhirnya mendasari rencana Kementerian Ketenagakerjaan untuk menghentikan pengiriman TKI sektor PRT ke luar negeri. Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri tinggal melanjutkan rencana kerja pemerintahan sebelumnya yang menargetkan zero TKI informal pada 2017. Penempatan TKI ke luar negeri selanjutnya harus didorong memiliki ketrampilan (skill-based) dan berasal dari sektor formal non rumah tangga. Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 1 Tahun 2015 tentang jabatan yang dapat diduduki oleh TKI di LN untuk pekerjaan domestik akan diisi jabatan profesional dengan spesialisasi di sektor rumah tangga seperti pengurus rumah tangga, penjaga bayi, tukang masak, sopir keluarga, pengurus lansia, tukang kebun dan penjaga anak.
Migrasi PRT : Tidak Mungkin Dihapus
Namun ‘niat baik’ pemerintah untuk moratorium pengiriman PRT justru mendapat reaksi keras dari Migrant Care. Siaran pers Migrant Care tanggal 4 Februari 2015 menyatakan kebijakan Jokowi itu dianggap melanggar konstitusi karena setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan secara layak dan kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Karenanya, LSM itu mendesak Jokowi membenahi penempatan PRT migran berbasis HAM dan tidak diskriminatif pada perempuan. Ujung-ujungnya, pemerintah harus mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, meratifikasi Konvensi ILO No. 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT dan mengajukan RUU Perlindungan PRT sebagai inisiatif pemerintah.
Desakan itu sebetulnya adalah lagu lama yang dimainkan lembaga internasional dan agen-agennya untuk memaksakan peraturan yang hanya menguntungkan pihak tertentu. International Labour Organisation (ILO) sebagai organisasi resmi PBB untuk ketenagakerjaan mengharuskan setiap negara memberi kesempatan bagi setiap perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kerja layak (decent work). Indonesia sendiri ikut mencanangkan Decent Work Country Programme (DWCP) 2006-2010 yang ditandatangani oleh Kantor ILO di Jakarta dan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Isu utama yang diangkat adalah gender, dialog sosial dan aksi normatif sebagai dalih untuk mengentaskan kemiskinan. Prioritas dan hasil yang diharapkan program itu di antaranya adalah menghentikan eksploitasi dalam pekerjaan, termasuk memberikan perlindungan yang lebih baik khususnya bagi pekerja domestik/PRT. Jadi bisa dimengerti jika pengiriman PRT, sampai kapanpun, tidak akan benar-benar dihentikan. Namun status mereka dijadikan ‘layak’ melalui penghasilan yang cukup untuk membiayai hidup secara bermartabat serta terjamin keamanan dan keselamatan fisik maupun psikologisnya.
Nilai ekonomis yang dihasilkan dalam bursa tenaga kerja migran memang fantastis. Bank Dunia menyebutkan, arus pengiriman uang (remitansi) ke negara-negara berkembang meningkat 4 kali lipat sejak tahun 2000. Jumlah pengiriman uang global, termasuk ke negara-negara berpenghasilan tinggi, diperkirakan mencapai 529 milyar dolar AS pada tahun 2012, dibandingkan perolehan pada tahun 2000 sebesar 132 milyar. Karena itulah Bank Dunia meluncurkan program Global Knowledge Partnership on Migration and Development (KNOMAD) untuk meningkatkan migrasi, termasuk migrasi tenaga kerja terampil dan berketerampilan rendah. Begitulah, pemikiran serakah Barat telah menyesatkan pemikiran manusia tentang migrasi. UNWomen –organisasi PBB yang bertugas menanamkan ide feminis di seluruh dunia- turut memobilisasi perempuan untuk bermigrasi meninggalkan tanah air, mahrom dan anak-anaknya demi sekedar mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Karena itu semua risiko berbahaya yang dihadapi perempuan migran seperti eksploitasi, kerentanan terhadap kekerasan, termasuk resiko perdagangan manusia (trafficking) harus diminimalisir. Karena itulah UNWomen, ILO, Bank Dunia dan kalangan LSM terus mendesak pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan yang memperbaiki kondisi pasar tenaga kerja dan memajukan pekerjaan yang layak bagi perempuan, termasuk pekerja rumah tangga.
Barat, termasuk LSM yang bergiat di isu buruh migran, menyadari betul bahwa migrasi buruh –termasuk PRT- di kawasan ASEAN tidak mungkin dielakkan. Apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sebagai perwujudan aliran pasar bebas komoditas dan jasa di tingkat ASEAN akan segera diterapkan Desember 2015. Data produktifitas tenaga kerja Indonesia yang dilansir Bank Dunia tahub 2013 menempatkan Indonesia di bawah peringkat Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Philipina. Artinya, secara nyata tenaga kerja Indonesia level menengah kalah kompetensinya di tingkat ASEAN, maka Indonesia hanya akan sanggup mengirim tenaga level bawah. Apalagi tradisi negara-negara ASEAN yang berpendapatan perkapita tinggi -seperti Singapura, Malaysia dan Brunei- masih membutuhkan tenaga informal untuk mengerjakan pekerjaan ‘kasar’ seperti petugas kebersihan, buruh, maupun pekerjaan rumah tangga.
Migrasi PRT : Realisasi Ide Gender
Migrasi PRT juga tidak bisa dilepaskan dari program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) di tingkat ASEAN. Fenomena perempuan karier kelas menengah, yang membutuhkan jasa PRT juga menjangkiti Malaysia. Data statistik dari Kementerian Wanita, Keluarga dan Masyarakat Malaysia menunjukkan jumlah perempuan pekerja meningkat 47.3 persen tahun 2004. Bahkan laporan Grant Thornton International Business Report (IBR) menyebutkan persentase perempuan bekerja di Malaysia paling tinggi (40 persen) jika dibandingkan Thailand (37 persen) dan Singapura (36 persen). Apalagi saat PM Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak meluncurkan Program Transformasi Ekonomi (Economic Transformation Programme/ETP) pada Persidangan Women Deliver tahun 2013 yang menargetkan keterlibatan 55 persen perempuan pekerja dan meningkatkan posisi perempuan di sektor swasta sebesar 30 persen. Ambisi mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 5.6 persen per tahun, menjadikan Malaysia tidak berbeda dengan Indonesia dan Negara manapun di dunia. Mereka tega memerah keringat perempuan demi menghasilkan pendapatan yang akan meningkatkan pendapatan negara, baik secara langsung ataupun tidak.
Inilah kehidupan kapitalistik. Kehidupan neoliberalistik yang hanya mengukur produktifitas seseorang dari nilai materi yang dihasilkan. Karena itulah, setiap kebijakan yang akan menunjang laju perekonomian, termasuk investasi sosial seperti ‘meningkatkan taraf kesejahteraan’ PRT akan tetap dilestarikan. Semua kebijakan ini dimotori oleh gagasan gender yang telah merasuk dan merusak pemikiran para pembuat kebijakan, aktifis, pendidik hingga para suami /wali dan perempuan itu sendiri. Dalam kultur masyarakat urban yang menimpakan beban nafkah tidak hanya kepada suami, mereka menuntut istri mengejar karier. Kondisi tersebut memaksa perempuan keluar rumah di pagi buta dan kembali pulang saat matahari telah tenggelam. Pada pundak sang bibi-lah urusan rumah dilimpahkan dan pada “si mbak” ditimpakan pengurusan anak. Jika kemudian prestasi perempuan meningkat pesat secara akumulatif, imbasnya pada kenaikan GDI (Gender Development Index) dan Indeks Pembangunan Manusia/ IPM yang selanjutnya akan menaikkan gengsi negara. Karena itulah kesejahteraan PRT, sang pahlawan keluarga miskin harus terjamin kepentingan sosial ekonominya melalui kebijakan pemerintah demi melejitnya peran publik perempuan karier. PRT aman, majikanpun tenang untuk mensukseskan agenda gender.
Inikah yang disebut andil PRT sebagai tenaga-tenaga tak terlihat (invisible powers), yang mendongkrak kehidupan ekonomi negara? Bagaimana dengan ‘hilangnya rasa bersalah” ketika urusan rumah tangga dan kebutuhan fisik anak beres, maka tak jadi masalah jika para istri/ibu tetap ‘berkontribusi pada peningkatan kehidupan ekonomi keluarga dan negara? Tak menjadi persoalankah kelestarian posisi sebagai ibu yang mengawal kesuksesan rumah tangga dan generasi masa depan? Bahkan ketahanan keluarga PRT tidak pernah masuk dalam pembahasan kebijakan pemerintah. Yang penting, mereka mampu mengirim remitansi yang akan mendongkrak devisa Negara. Tidak pernah sekalipun kalangan LSM berkoar tentang perkawinan keluarga PRT yang terpaksa berakhir atau anak yang tidak pernah cukup mendapatkan kasih sayang dan bimbingan ibunya.
Islam Mengakhiri Nestapa PRT
Semestinya, penyelesaian urusan PRT termasuk ri’ayatusy syu’unil ummah. Namun jika berharap pada sederetan UU, Kepres dan semua produk manusia, akan menjadi mandul karena tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas, termasuk dalam kasus PRT migran. Memang tak bisa kita berharap perlindungan utuh diberikan kepada seluruh masyarakat -tak hanya kalangan terpinggirkan seperti PRT- bila payungnya adalah sistem sekular yang penuh borok. Hanya pada satu hal kita berharap, sistem Khilafah Islamiyyah.
Khilafah yang bersendikan Islam, memandang perempuan sebagai manusia yang harus dilindungi dan selalu difasilitasi secara finansial oleh kerabat laki-laki mereka ataupun oleh negara sehingga mereka bisa memenuhi peran utama mereka sebagai istri dan ibu. Di saat yang sama negara melakukan penjagaan terhadap fungsi keibuan kaum perempuan sebagai investasi bagi lahirnya generasi berkualitas.
Di sisi lain Islam juga mengijinkan perempuan untuk mencari pekerjaan jika mereka menginginkannya. Namun perempuan harus berada dalam kondisi terbebas dari tekanan ekonomi dan sosial dalam bekerja, sehingga tanggung jawab rumah mereka tidak terganggu. Kaum perempuan juga harus terbebas dari kondisi yang menindas mereka berperan ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga untuk keluarga mereka. Jadi, pilihan berat mengadu nasib di negri orang, apalagi harus mengorbankan harga diri dan keamanannya tidak akan menjadi pilihan perempuan yang dinaungi syariah Islam. Karena Rasulullah SAW pada Khutbah Wada’ di Arafah pada tahun ke 10H menekankan bahwa wanita harus diperlakukan dengan baik, penuh cinta dan kelembutan.
Sungguh sangatlah mulia pandangan Islam terhadap wanita, sehingga laki-laki berkewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhannya dan hak-haknya sebagai seorang manusia. “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yg lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.. ” (TQS An Nisaa : 34). []