Perempuan dan anak-anak di Takengon, Aceh.
(Sumber foto: KITLV DIgital Image Library koleksi Tichelman, G.L 1932-1933)
“Antropologi, telah sering dikatakan, mengabdi sebagai kaki tangan kolonialisme. Mungkin juga harus dikatakan bahwa feminisme, atau ide-ide feminisme, adalah kaki tangannya yang lain. “
Leila Ahmed, penulis Amerika-Mesir tentang Feminisme di Dunia Muslim
Selama lebih dari satu abad, telah terjadi perkawinan yang tidak terbantahkan lagi antara feminisme dan kolonialisme di dunia Muslim, yang terus berlanjut ke zaman modern. Pemerintah dan politisi Barat generasi demi generasi telah menggunakan bahasa feminisme dan gerakan-gerakannya dalam rangka melanjutkan kepentingan kolonial mereka di wilayah tersebut. Mereka memproduksi dan menyebarkan narasi bahwa para Muslimah butuh diselamatkan dari ‘penindasan’ hukum-hukum dan aturan Islam serta butuh dibebaskan melalui budaya (peradaban) dan sistem Barat. Hal ini bertujuan agar secara moral dapat membenarkan intervensi dan perang kolonial mereka di negeri-negeri Muslim dan memperkuat pijakan kaki mereka di dunia Islam. Namun sejatinya, kepedulian yang tampak dari wajah-wajah mereka demi kesejahteraan perempuan Muslim adalah sekedar emosi yang penuh kepura-puraan, karena intervensi ini justru memperburuk kehidupan perempuan di dunia Muslim dan melucuti hak-hak mereka. Seorang akademisi, Janine Rich, dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam International Affairs Review berjudul, “‘Menyelamatkan’ Muslimah: Feminisme, Kebijakan AS, dan Perang Melawan Teror”, ia menulis, “Wacana kompleks yang mengitari perempuan di dunia Islam memiliki sejarah politik yang panjang dan mendalam, dan narasi ini telah diperbaharui dan digunakan ulang berkali-kali untuk menggalang dukungan publik yang luas kepada intervensi militer Barat di Timur Tengah. Namun ketika dicermati secara kritis, justru menjadi jelas bahwa kebijakan luar negeri dan intervensi militer AS di Timur Tengah telah memperburuk status hak-hak perempuan di wilayah tersebut, lantas kemudian digunakanlah wacana hak-hak perempuan sebagai pembenaran untuk “perang melawan teror.”
Hari ini, seiring dengan serangan terhadap konsep ‘Khilafah’ dari segala penjuru oleh para politisi dan media Barat, penebaran rasa takut terhadap status perempuan di bawah pemerintahan Islam – sekali lagi kembali diintensifkan. Pada saat ini mungkin lebih bisa dipahami bahwa bagi pemerintah Barat, pembicaraan tentang ‘Hak-Hak Perempuan’ dalam konteks dunia Islam – baik secara historis dan pada masa kini – hanya digunakan sebagai tabir asap dan alat untuk memperdalam tujuan kolonial.
Strategi Kolonial Barat untuk Memperlemah Pemerintahan Islam di bawah Khilafah:
Pada abad ke-19 dan ke-20, nafsu kekuasaan Eropa akan ekspansi kekayaan dan wilayah telah dipuaskan melalui pendudukan dan kolonisasi di banyak negeri Muslim, karena sumber daya yang melimpah ruah dan potensi pendapatan yang kaya. Lord Cromer, Konsul Jenderal Inggris yang memerintah Mesir tahun 1883-1907 menyatakan, “Eropa tidak akan berada di Mesir jika tidak bisa menghasilkan uang.”
Namun, kekuatan Barat ini menyadari bahwa untuk memperkuat dan memperluas dominasi mereka atas wilayah tersebut hanya bisa dicapai dengan merongrong otoritas politik dan budaya (tsaqofah) yang berada di tangan Islam di dunia Muslim, yang diwujudkan dengan adanya pemerintahan Islam di bawah negara Khilafah, sekaligus menggantikannya dengan nilai-nilai, hukum, dan sistem yang cenderung kepada Barat. Oleh karena itu, para penguasa kolonial Barat menyusun strategi untuk melemahkan dan akhirnya menghancurkan Khilafah serta mencegah penegakannya kembali di masa depan; karena negara ini selalu saja berdiri menghadang sebagai hambatan yang paling sengit terhadap kendali Eropa atas wilayah ‘Timur’. Rencana ini satu paket dengan menjauhkan umat Islam secara intelektual dan emosional dari keyakinan dan nilai-nilai Islam, sehingga loyalitas dan keterikatan beralih kepada budaya (tsaqofah) dan sistem sekuler Barat. Mereka mengakui bahwa ketaatan kaum Muslim yang kuat kepada keyakinan dan praktik Islami mereka membawa potensi munculnya kembali Islam sebagai negara politik yang kuat. Hal inilah yang menjadi ancaman terbesar bagi pemerintahan kolonial yang terus berlanjut, sehingga harus diperangi apapun resikonya. Oleh karena itu kekuatan-kekuatan Eropa menggunakan segala cara untuk membentuk loyalitas budaya (tsaqofah) dari para pemikir Muslim, Barat memahami bahwa hal ini penting bagi loyalitas politik: bahwa penjajahan budaya (tsaqofah) akan menggelar jalan menuju kelanjutan penjajahan fisik, politik, dan ekonomi. Lord Cromer misalnya, yang dipandang oleh banyak orang sebagai dalang imperialisme Inggris di dunia Arab, menulis dalam bukunya, ‘Mesir Modern’, “… adalah penting bahwa, selanjutnya bagi evakuasi kami, bahwa pemerintah (Mesir) seharusnya…. bertindak atas prinsip-prinsip yang akan sesuai dengan persyaratan umum dari peradaban Barat….. Tidak masuk akal jika menganggap bahwa Eropa hanya sebagai penonton pasif sementara sebuah pemerintah buruk yang berdasarkan prinsip Muhammad secara murni dan ide-ide oriental yang usang, didirikan di Mesir. Kepentingan-kepentingan materi yang dipertaruhkan terlalu penting… Hal ini tidak kurang dari seperti ini: bahwa generasi baru Mesir harus dibujuk atau dipaksa untuk menghisap semangat sejati Peradaban Barat “.
Serangan Kolonialis Barat terhadap “Perempuan dan Syariah” untuk Membantu Kehancuran Khilafah
Mereformasi pemikiran dan identitas Muslimah adalah target utama dalam rencana kolonial untuk menghancurkan dan mencegah pemerintahan Islam, karena kekuatan-kekuatan Eropa mengakui bahwa di dalam masyarakat Islam, perempuan adalah pusat keluarga, jantung masyarakat, dan pendidik generasi masa depan. Oleh karena itu, menjerat pikiran dan hati mereka menjadi penting dalam mensetting ulang mentalitas seluruh masyarakat Muslim. Jika mereka bisa menyebabkan Muslimah menghina dan menolak Syariah dengan menjadikan Syariah sebagai ‘musuh’ perempuan, maka mereka bisa menciptakan penentang gigih melawan pemerintahan Islam di dunia Muslim. Jika mereka bisa melengkapi situasi ini dengan menarik perempuan menuju identitas dan sistem Barat hingga melihatnya sebagai jalan menuju pembebasan dan keselamatan, maka mereka juga bisa menghasilkan pendukung dan duta-duta budaya (tsaqofah) Barat dan aturan berorientasi Barat yang kuat. Misionaris Kristen juga secara terbuka mendukung penargetan perempuan dunia Muslim karena merekalah pembentuk utama pemikiran dan kecenderungan anak-anak di kawasan itu. SM Zwemer, seorang misionaris terkenal ke Timur Tengah berpendapat, “Adanya realitas bahwa kaum Ibu berpengaruh atas anak-anak, baik laki-laki dan perempuan….. adalah hal yang terpenting, bahwa perempuan adalah unsur konservatif dalam mempertahankan keimanan mereka, kami percaya bahwa gerakan misionaris seharusnya memberikan penekanan yang lebih jauh dalam kerja mereka terhadap perempuan Muslim sebagai sarana untuk mempercepat penginjilan tanah Muslim.”
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan mereka, para penjajah merekayasa narasi tertentu: bahwa Islam dan aturan Islam menindas perempuan, dan karena itu adalah kewajiban moral bagi mereka untuk menyelamatkan perempuan dengan menghilangkan penyebab ketundukannya – yaitu hukum Syariah – dan menjadikan masyarakatnya menjadi ‘beradab’ melalui penerapan aturan Barat dan sistem Barat. Narasi ini memberikan justifikasi moral diantara publik mereka sendiri dan publik yang mereka jajah selama penjajahan lanjutan mereka atas dunia Muslim. Narasi ini juga membantu mereka mencapai tujuan untuk mempertahankan dan memperkuat pijakan kaki mereka di wilayah tersebut. Joan Scott dalam ‘The Politics of the Veil’ (politik kerudung – red) menulis tentang penjajahan Perancis atas Aljazair pada abad ke-19, “Sejak awal, penerapan bengis pemerintahan Perancis telah dilegitimasi atas nama ‘misi peradaban‘ – yang membawa nilai-nilai republik, sekuler, universalis bagi mereka yang tidak memilikinya….. para penjajah bertujuan untuk mengasimilasi masyarakat yang terbelakang ini dengan budaya (tsaqofah) Perancis.”
Oleh karena itu sejumlah kebohongan dan kesalahan informasi dibangun dan disebarluaskan terutama mengenai posisi, hak dan penganiayaan terhadap perempuan di bawah Syariah. Mereka juga mempromosikan gagasan bahwa jika wanita Muslim terus menerima Qur’an dan Sunnah sebagai dasar keyakinan dan tindakan mereka, mereka akan dikutuk hidup tertindas. Untuk mencapai tujuan mereka, penguasa kolonial juga menggunakan tuduhan-tuduhan berbahaya dari berbagai penulis orientalis Barat yang selama bertahun-tahun menyulap cerita palsu tentang penganiayaan perempuan dalam Islam. Beberapa di antara mereka bahkan telah menyarankan bahwa keterbelakangan dunia Muslim adalah karena penistaan Islam terhadap perempuan, dan bahwa masyarakat Muslim hanya bisa maju menuju modernisasi dan peradaban jika praktek dan hukum Islam dibuang dan ditukar dengan budaya (tsaqofah), kebiasaan sosial, dan adat-istiadat Eropa. Stanley Lane-Poole misalnya, seorang orientalis dan arkeolog Inggris awal abad ke-20 dan menulis, “Penistaan kaum perempuan di Timur adalah kanker yang mulai bekerja sejak dini di masa kanak-kanak, dan telah merasuk ke dalam seluruh sistem Islam.” Tulisan Lord Cromer juga merefleksikan pandangan tersebut. Dia menulis dalam bukunya, ‘Modern Mesir’, bahwa alasan, “Islam sebagai sistem sosial telah gagal total di berbagai bidang.” Namun, “pertama dan terutama,” tandasnya adalah perlakuan terhadap perempuan. Dia mengklaim bahwa tidak seperti Kristen yang mengajarkan menghormati perempuan dan laki-laki menyebabkan Eropa untuk “mengangkat” wanita karena keyakinan mereka, Islam justru menistakan mereka, dan penistaan ini terlambangkan dalam ‘hijab dan pemisahan jenis kelamin’ dimana inferioritas Muslimah jelas terlacak. Dia menulis bahwa tidak dapat diragukan bahwa ‘hijab’ memiliki “efek yang merusak pada masyarakat Timur. Penyanggahan dalam kasus ini, memang, begitu biasa (umum) sehingga tidak perlu berkutat dengan mereka (para penyanggah itu-red)“. Dia menyatakan bahwa yang terpenting adalah, “bahwa generasi baru Mesir harus dibujuk atau dipaksa untuk menghisap semangat sejati peradaban Barat“, dan untuk mencapai hal ini maka perlu mengubah posisi perempuan dalam Islam, karena itu penistaan Islam terhadap perempuan melalui ‘hijab’ adalah “hambatan fatal” pada umat Islam di Mesir, “pencapaian terhadap elevasi pemikiran dan karakter tersebut harus mendampingi proses pengenalan peradaban Barat”, dan hanya dengan meninggalkan hal ini (Islam – red) mereka bisa mencapai, “mental dan perkembangan moral ” inilah yang ia (Cromer) yang diinginkan bagi mereka.
Demikian jelas sehingga untuk mencapai ‘pembaratan’ pemikiran ini, para penjajah berusaha untuk membongkar dan menghilangkan aspek Islam yang mencegah Barat dari memiliki kontrol atau akses ke perempuan Muslim, seperti struktur keluarga Islam, perwalian laki-laki atas perempuan, pemisahan jenis kelamin, dan busana Muslim. Frantz Fanon, filsuf dan penulis Afro-Perancis, berkomentar mengenai kolonialisme Perancis di Aljazair pada tahun 50-an, mencatat, “Terdapat juga di Eropa kristalisasi dari agresivitas, tekanan dari jenis kekerasan yang menimpa perempuan Aljazair. Pembukaan aurat perempuan ini mengungkapkan kecantikannya; (sebenarnya) itu memamerkan rahasianya, memecahkan penolakannya [untuk pemerintahan kolonial]. Terdapat di dalamnya keinginan untuk membawa perempuan ini dalam jangkauannya, untuk membuatnya objek yang mungkin untuk dimiliki. “
Memang, menuduh busana Muslimah untuk menaklukkan kaum perempuan merupakan bagian penting dari proyek kolonial ‘mengambil hati dan pikiran’ umat Islam. Karena (busana Muslimah) adalah penanda yang paling terlihat yang membedakan antara masyarakat Muslim dan Barat, dan ini menjadi target kunci dari serangan Eropa terhadap Islam dan hadir mewakili konflik antara budaya (peradaban) penjajah dan yang dijajah. Sebagai contoh, pada abad ke-20, dalam menanggapi pemberontakan Muslim Aljazair pada tahun 1954 yang bertujuan untuk mengusir kekuasaan Prancis dari negara, pemerintah Perancis berusaha untuk mempertahankan cengkeraman mereka di seluruh negeri dengan mencoba mendaftar perempuan Aljazair terlibat dalam tujuan mereka dengan membangun jaringan dari ‘solidaritas keperempuanan’ berpusat di seluruh negeri, yang dijalankan oleh para istri perwira militer kolonial. Tujuannya adalah untuk menanamkan pada kaum Muslimah Aljazair – nilai-nilai Perancis dan narasi orientalis tentang Islam dan busana Muslimah untuk memenangkan kesetiaan mereka kepada cita-cita Perancis. Istri Brigadir Jenderal Jacques Massu yang memimpin gerakan di ibukota Algiers pernah berkata, “Pupuklah pikiran maka kemudian hijab akan layu dengan sendirinya”. Pada 16 Mei 1958, perempuan dari organisasi bentukan tersebut, didampingi oleh tentara Perancis membuka aurat seratus orang wanita di alun-alun kota. Para wanita Muslim nampak menangis, “Mari kita menjadi seperti wanita Perancis” dan “Vive L’Algérie francaise“. Ini adalah sikap simbolis, yang bertujuan untuk menyebarkan lebih lanjut gagasan rekayasa bahwa perempuan “pribumi” ingin dibebaskan dari hijab mereka dan Islam, dan bahwa berlanjutnya pemerintahan Perancis adalah sarana untuk mencapai hal ini. Namun, sejarawan kemudian mengingatkan bahwa kaum perempuan (yang membuka auratnya) ini adalah perempuan miskin dan pelayan dari pemerintah kolonial yang dipaksa mengambil bagian dalam acara yang diatur dengan rapi di bawah ancaman kehilangan pekerjaan mereka jika mereka tidak mematuhi. Joan Scott menulis dalam ‘The Politics of the Veil’ (politik kerudung – red), “Ini (kerudung) adalah sepotong kain yang mewakili antithesis dari tricolore (julukan bendera Perancis-red), dan kegagalan misi peradaban ….. Untuk waktu yang lama, lebih lama dari durasi perang kemerdekaan, hijab itu – baik untuk yang dijajah maupun penjajah -.adalah sebuah selaput yang tak tertembus, penghalang terakhir untuk penaklukan politik “
Isu ‘Muslimah’ dan status mereka di bawah Syariah kemudian menjadi inti serangan kolonial terhadap pemerintahan Islam. Memang sangat menarik untuk dicatat bahwa kampanye Eropa melawan hukum sosial Islam tidak dilakukan awalnya oleh feminis Barat – yang pengaruhnya baru datang di kemudian hari – melainkan oleh penguasa kolonial dan pemerintahan mereka. Leila Ahmed, Profesor AS di bidang Studi Wanita menulis dalam bukunya ‘Perempuan dan Gender dalam Islam’ tentang feminisme kolonial ini, ” (Feminisme kolonial) itu ada di sini dan terbentuk dari proses kombinasi bahasa kolonialisme dan feminisme sehingga terciptalah fusi (peleburan) antara isu-isu perempuan dan budaya. Lebih tepatnya, apa yang telah diciptakan adalah perpaduan antara isu-isu perempuan, penindasan mereka, dan budaya Other men (laki-laki “lain)”. Gagasan-gagasan seperti laki-laki “lain”, laki-laki dalam masyarakat terjajah atau masyarakat di luar perbatasan beradab Barat, maupun (isu) perempuan tertindas itu telah digunakan dalam retorika kolonialisme, untuk membuat pembenaran moral dalam proyek merusak atau memberantas peradaban masyarakat terjajah …. feminisme kolonial, atau feminisme yang digunakan melawan peradaban lain dalam melayani kepentingan kolonialisme – telah dibentuk menjadi berbagai jenis dari konstruksi yang sama, masing-masing disesuaikan dengan peradaban/ budaya tertentu yang menjadi target langsung dari dominasi – India, dunia Islam, sub-Sahara Afrika. Sehubungan dengan dunia Islam, telah lama dianggap sebagai musuh (dan memang benar sebagai musuh) sejak Perang Salib, kolonialisme … ..telah dialiri pembuluh darah yang kaya akan kefanatikan dan kesalahan informasi. “
Kemerosotan Hak Muslimah di bawah Peraturan Kolonial
Pada saat pemerintah Eropa menggunakan retorika feminis untuk menyerang rendahnya status perempuan yang ‘nampak jelas’ dalam Islam, justru mereka sangat minim peduli tentang penistaan perempuan dalam masyarakat mereka sendiri – di Barat – dimana hak-hak pendidikan, ekonomi, politik, dan hak dasar kewarganegaraan telah dirampas dari kaum perempuan Barat di saat itu. Bahkan penguasa kolonial seperti Lord Cromer, yang di Mesir memilih menunjuk dirinya berperan sebagai pembebas perempuan Muslim dari apa yang mereka sebut sebagai ‘penindasan’ dalam Islam, di saat yang sama di Inggris dia adalah anggota pendiri dan presiden satu periode Liga kaum Pria yang menentang gerakan perjuangan hak pilih perempuan termasuk hak perempuan dalam hukum, politik, dan ekonomi. Memang sebenarnya, pandangan dominan dalam negara-negara seperti Inggris dan Prancis selama periode tersebut bahwa perempuan secara biologis lebih rendah dari pria dalam kecerdasan dan rasionalitas. Pemikir bahkan Barat seperti Voltaire, Rousseau, Diderot, Montesquieu telah menggambarkan karakter alami perempuan itu tidak mampu untuk mengembangkan kecakapan penalaran mereka secara penuh. Perempuan telah digambarkan sebagai makhluk emosional dan karena itu tidak cocok berkiprah di ruang publik. Rousseau berpendapat bahwa kemampuan pria dan wanita berbeda dan inilah yang menentukan peran masing-masing bahwa laki-laki berperan sebagai warga negara dan perempuan berperan sebagai istri dan ibu. Wanita pada saat itu juga kehilangan semua eksistensi hukum atas pernikahan, properti dan kekayaan mereka yang ditempatkan di bawah otoritas suami mereka, dan mereka tidak diberi hak untuk meminta cerai bahkan ketika terjebak dalam hubungan yang penuh kekerasan.
Sehubungan dengan pandangan rendah dan perlakuan buruk terhadap perempuan oleh penguasa Eropa di tanah mereka sendiri, Leila Ahmed menulis, “Bahkan saat pembentukan pria Victoria – mereka merancang teori-teori untuk menandingi klaim feminisme, mencemooh serta menolak ide-ide feminisme dan gagasan laki-laki menindas perempuan sehubungan dengan ide itu sendiri, namun ide tersebut justru diambil dengan bahasa feminisme dan diarahkan ulang untuk melayani kolonialisme, menuju “laki-laki lain” dan peradaban manusia “lain”. “Oleh karena itu, feminisme justru tertolak di dapur peradaban Barat itu sendiri, sementara di saat yang sama diekspor ke luar negeri mereka dan digunakan untuk melawan Islam. Ini menggambarkan dengan jelas bahwa semua pembicaraan/ wacana tentang hak-hak perempuan Muslim oleh kekuatan Eropa murni dilahirkan dari kepentingan kolonial untuk mendominasi negeri-negeri Muslim bukan karena niat mulia untuk memperbaiki kehidupan perempuan di dunia Islam.
Sebab itulah tidak mengherankan jika hak-hak perempuan Muslim justru memburuk bukannya membaik di bawah pemerintahan kolonial. Pertama, penetrasi ekonomi Eropa ke dunia Muslim berdampak buruk menciptakan perempuan kelas pekerja baik di pedesaan dan perkotaan. Impor tekstil Eropa sebagai contoh membanjiri pasar Mesir, secara negatif mempengaruhi industri tekstil lokal karena harus bersaing dengan produk Barat. Produksi tekstil di banyak negeri-negeri Muslim selama berabad-abad menjadi daerah industri di mana perempuan dipekerjakan dan mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Namun, di bawah reformasi ekonomi Eropa, negara-negara seperti Mesir telah menjadi eksportir utama bahan baku seperti kapas sekaligus importir produk jadi Eropa. Hal ini tentu menyebabkan penurunan dalam pekerjaan, bisnis, dan pendapatan dari kaum perempuan lokal yang terlibat dalam industri. Demikian pula perempuan di Suriah dan Aleppo yang dipekerjakan dalam industri kapas kehilangan posisi penting mereka dalam sektor ini karena impor gulungan dan pewarna kain dari Eropa. Pedagang kecil lainnya juga terpengaruh dengan saudagar lokal yang tersingkir karena perusahaan-perusahaan Eropa. Perempuan yang berinvestasi dalam bisnis lokal akhirnya juga terkena dampak negatif.
Kedua, di bawah pendudukan kolonial Inggris di Mesir, pendidikan dan pelatihan anak perempuan dan perempuan dewasa di berbagai bidang telah diminimalkan sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk mendapat pekerjaan. Lord Cromer sebagai contoh menerapkan pembatasan terhadap sekolah-sekolah pemerintah Mesir dan menaikkan biaya sekolah yang secara alami menghalangi pendidikan bagi anak perempuan. Dia juga mempersempit program pelatihan dokter perempuan, menutup Sekolah Hakimas yang telah memberikan kaum perempuan pelatihan medis selama bertahun-tahun sebagaimana laki-laki yang diterima di Fakultas Kedokteran, lalu membatasi untuk kaum perempuan hanya di bidang kebidanan. Dia berpendapat, “Saya sadar bahwa dalam kasus khusus wanita lebih suka jika diperiksa oleh dokter perempuan, tapi aku membayangkan dalam dunia yang beradab, kehadiran dokter pria medis masih menjadi peraturan utama”. Selain itu, para penjajah memperkenalkan perempuan Inggris masuk ke dalam angkatan kerja di Mesir di bidang pendidikan dan kesehatan. Hal ini mengurangi kesempatan kerja perempuan Muslim di sektor ini sekaligus meningkatkan ketergantungan pihak terjajah pada penjajah mereka untuk aspek kebutuhan guru dan perawatan medis.
Ketiga, penerapan hukum Inggris pada dunia Muslim, telah melucuti hak-hak perempuan seperti yang ditahbiskan oleh Syariah Islam yang mereka telah nikmati di bawah kekuasaan Islam. Noah Feldman, seorang profesor hukum di Universitas Harvard, menulis dalam edisi 2008 dari The New York Times Magazine, tentang ‘Penerapan Syariah’, “Adapun tentang seksisme, hukum umum dari negara-negara Eropa telah lama menolak hak-hak properti perempuan yang telah menikah ataupun hak milik pribadi mereka yang terpisah dari suami mereka. Ketika Inggris menerapkan hukum mereka untuk Muslim di tempat yang diterapkan Syariah, seperti yang mereka lakukan di beberapa koloni, hasilnya adalah pelucutan hak perempuan yang telah menikah, padahal hukum Islam selalu memberikan jaminan itu terhadap mereka “.
Semua fakta sejarah ini jelas menggambarkan bahwa serangan pada hukum pergaulan dalam Islam dan status perempuan dalam Syariah oleh para politisi dan pemerintah Eropa – tidak memiliki hubungan apapun dengan perjuangan hak-hak perempuan. Tak satupun dari serangan tersebut ada kaitannya dengan masalah yang sebenarnya dihadapi perempuan Muslim pada saat itu, bahkan tanpa ragu serangan itu sebenarnya digerakkan murni untuk mengamankan kepentingan politik kolonial di dunia Muslim. Oleh karena itu, tuduhan bahwa Islam dan hukum Islam menindas perempuan, sementara sistem sekuler Barat membebaskan mereka dari penaklukan tidak lain adalah palsu, sekedar tipuan, dan narasi egois yang lahir dari keinginan kolonial untuk mendominasi wilayah tersebut. Serangan hari ini terhadap ‘Perempuan dan Syariah’ oleh politisi, pemerintah dan lembaga-lembaga Barat sebenarnya hanyalah mengulang lagu lama dalam mereplikasi strategi yang sama.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh
Dr. Nazreen Nawaz
Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir