Perkawinan antara Feminisme dan Kolonialisme di Dunia Islam BAGIAN 2 Serangan Kontemporer pada Perempuan dan Syariah : Mengulang Sejarah Agenda Penjajahan

 

 

New-islam

Secara historis, para pemerintah kolonial Barat telah membangun dan mempropagandakan secara luas narasi penindasan terhadap perempuan untuk mendapatkan legitimasi bagi pendudukan mereka atas negeri-negeri muslim – sebagaimana mereka merusak pemerintahan Islam dalam rangka mempertahankan kekuasaan mereka atas wilayah dan sumber daya di negeri muslim. DI era modern ini, para politisi dan pemerintah Barat terus melanjutkan penggunaan retorika “hak-hak perempuan” dan seruan untuk “menyelamatkan perempuan muslim” dari “penindasan Syariah” sebagai alat untuk membenarkan intervensi penjajah di dunia Islam, seperti halnya juga perlawanan terhadap kebangkitan Islam secara global dan penegakan kembali Khilafah, seakan mengulangi kembali strategi nenek moyang mereka.

Invasi ke Afghanistan dan Irak adalah contoh terkini dimana pembicaraan mengenai hak-hak perempuan dan kebohongan terkait penganiayaan terhadap perempuan dibawah naungan Syariat Islam – telah digunakan oleh para pemimpin Barat dan para pendukungnya legitimasi moral perang dan membenarkan kelanjutan dari pendudukan mereka. Mereka juga terbiasa menggunakan pandangan mereka untuk melakukan pemodelan negeri-negeri Muslim sesuai dengan kriteria sekuler Barat dan menjauh dari kriteria pemerintahan Islam. Laura Bush misalnya, istri dari mantan presiden AS George Bush mengatakan pada pidatonya di radio tahun 2001 saat baru dimulainya perang terhadap Afghanistan, “karena militer kita telah menguasai Afghanistan, para perempuan tidak terpenjara lagi dalam rumah mereka. Mereka dapat mendengarkan musik dan mengajar anak-anak perempuan mereka tanpa takut dijatuhi hukuman….perjuangan melawan terorisme juga merupakan perjuangan bagi hak-hak dan kehormatan perempuan.”

Cherie Blair,Istri mantan perdana menteri Inggris Tony Blair, menyuarakan dukungan yang sama bagi intervensi AS di tahun 2001, ”para perempuan di Afghanistan, sebagaimana para perempuan di setiap negara lain, memiliki harapan dan aspirasi yang sama seperti kita dan anak-anak kita: yaitu pendidikan yang baik, berkarir di luar rumah, jika mereka ingin: hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan tentu saja, yang paling penting yaitu hak bagi suara mereka untuk didengar.” Tokoh-tokoh penting perempuan Barat ini telah bergabung dalam suara opini yang didengungkan oleh berbagai macam kelompok feminis dalam mendukung perang, termasuk organisasi feminis terkemuka yang didirikan oleh Eleanor Smeal, ‘Feminist Majority’ yang menjalankan kampanye intensif melawan apa yang mereka sebut dengan perlakuan barbar terhadap wanita Afghan dibawah naungan hukum syariat. Tindakan kelompok-kelompok ini telah digambarkan oleh banyak kalangan  dalam memainkan peran yang penting sebagai bagian integral dalam menyebarluaskan dukungan terhadap “perang melawan teror”. Dan sungguh, pakar antropologi-sosial AS, Saba Mahmood dan Charles Hirschkind menyatakan bahwa hubungan antara pemerintahan Bush yang neokonservatif dan beberapa feminis AS merupakan hubungan timbal-balik dan hangat. Mereka mengatakan,” ketika perang dimulai, para feminis seperti Eleanor Smeal dapat ditemukan berbincang dengan riang bersama dgn Jenderal mengenai antusiasme bersama mereka mengenai operasi  mempertahankan kebebasan dan kemungkinan bagi para pilot wanita untuk mengemudikan F-16”.

Namun, organisasi-organisasi, individu-individu dan bahkan institusi semacam PBB juga telah memberikan dukungannya terhadap invasi militer ini – yang terlihat jelas dari minimnya ekspresi kepedulian mereka terhadap efek mengerikan dari sanksi yang dijatuhkan terhadap Afghanistan dibawah resolusi dewan keamanan PBB nomor 1267 – terhadap kaum perempuan Afghanistan; ATAU  banyaknya nyawa perempuan Afghanistan dan keluarganya serta anak-anak yang hilang akibat aksi militer ini; ATAU fakta bahwa pemboman Barat ke Afghanistan pada pertengahan 3 tahun musim kemarau akan menempatkan kaum perempuan pada resiko yang lebih besar akan kelaparan akibat terhambatnya pendistribusian bantuan makanan. Semua hal tersebut merupakan ilustrasi dari tidak adanya kepedulian yang tulus terhadap keadaan para perempuan di Afghanistan, seperti halnya kondisi mengerikan yang telah tercipta sebagai konsekuensi dari pendudukan Barat yang berujung pada kematian, korban luka dan evakuasi puluhan ribu perempuan Afghanistan dan menciptakan sebuah tatanan masyarakat tanpa hukum dengan angka penculikan, pemerkosaan, dan kekerasan terhadap perempuan yang terus  meningkat. Berdasarkan data dari PBB, 5000 orang telah dibunuh pada 6 bulan pertama di tahun 2014, serta kematian dan luka yang dialami oleh perempuan dan anak-anak akibat bahan peledak rakitan – meningkat sampai 38% pada semester pertama tahun 2013. Dan sekarang terdapat 1.5 juta janda perang di negara tersebut.

Selain itu, dengan adanya aturan penjajah di dunia muslim, kondisi kehidupan perempuan di Afghanistan telah gagal mengalami kemajuan akibat dari intervensi penjajahan modern ini. Pada faktanya, terdapat banyak kasus dimana keadaan mereka malah semakin memburuk. Hari ini, 36% rakyat Afghanistan hidup dalam kondisi kemiskinan yang ekstrim, sekitar 8.5 juta orang, atau 37% dari populasi berada dalam ambang batas ketidakcukupan pangan, dan juga terjadi peningkatan angka perempuan yang membakar dirinya sendiri akibat depresi karena kondisi keuangan mereka. Satu perempuan meninggal setiap 2 jam sekali di negara tersebut dalam kasus melahirkan akibat sistem pelayanan kesehatan yang memprihatinkan, dan hanya 12% perkawinan paksa dan  honour killing (tindakan hukuman bunuh dari anggota keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan – karena membawa malu keluarga)  yang dibolehkan tumbuh dengan subur dibawah rezim dan sistem sekuler yang terinspirasi dari Barat. Hal ini adalah warisan abadi yang telah bertahan selama 13 tahun di bawah penjajahan politik Barat terhadap perempuan Afghanistan, dimana wacana seputar hak-hak perempuan tiada lain hanyalah tabir asap kamuflase yang menutupi motif politik tersembunyi di kawasan tersebut.

Terlepas dari semua itu, lebih dari satu dekade setelah perang dimulai, para politisi Barat dengan konyolnya tetap berargumen bahwa intervensi Barat di Afghanistan telah meningkatkan taraf hidup perempuan Afghan, sambil dengan memalukannya terus menerus mengeksploitasi wacana tentang hak-hak perempuan Afghanistan demi membenarkan berlanjutnya pendudukan mereka atas negara tersebut. Pada bulan November 2013, saat AS berniat untuk meyakinkan masyarakat Amerika dan Afghanistan tentang kebutuhan pasukan militer AS bertahan di wilayah tersebut, baik John Kerry sebagai sekretaris negara dan Hillary Clinton sbg mantan sekretaris negara AS, juga berargumen bahwa AS butuh untuk tetap bertahan di sana dalam rangka memperjuangkan hak-hak perempuan di Afghanistan, mereka berdua memperingatkan tentang bahaya terhadap perempuan Afghanistan jika pasukan AS ditarik mundur dari negara itu pada tahun 2014. John Kerry, pada pidatonya di Georgetown telah mengklaim bahwa perempuan telah membuat kemajuan yang besar sejak 2001 karena telah bisa menikmati akses yang lebih besar terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dia mengatakan, “Afghanistan melihat bahwa para perempuan telah mampu berdikari di sana, memegang kontrol atas masa depan negara mereka, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga bagi seluruh masyarakat Afghanistan, maka kami memutuskan bahwa mereka tidak akan berdiri sendiri. Amerika akan berdiri bersama mereka sembari mereka membentuk Afghanistan yang kuat dan bersatu yang akan menjamin tempat yang layak bagi masyarakat di sebuah negara.” Hillary Clinton menyatakan,“…kita semua menyadari bahwa hal ini merupakan titik perubahan yang sangat penting bagi masyarakat Afghanistan. Namun secara khusus perjuangan ini telah membuahkan hasil dimana kaum  perempuan dan anak-anak telah dapat menikmatinya.” Semua pidato ini menampikkan realitas mimpi buruk yang muncul akibat kehadiran pasukan militer AS terhadap para perempuan di Afghanistan selama lebih dari satu dekade. Ini semua menunjukkan bahwa dengan latar belakang sejarah Barat, maka kampanye dan ungkapan feminis yang berkaitan dengan dunia Islam telah terus menerus digunakan oleh pemerintah Barat yang sekuler, tiada lain untuk kepentingan colonial mereka.

Ketika perang melawan teror berpindah ke Irak, para pemimpin Barat sekali lagi menggunakan bahasa feminisme dan terlihat peduli pada hak-hak perempuan Irak untuk membenarkan pengeboman yang terjadi di negara tersebut. Contohnya yaitu Presiden Bush pada Hari Perempuan Internasional di tahun 2004, hanya setahun setelah invasi dimulai, ditujukan kepada 250 perempuan dari seluruh dunia yang berkumpul di gedung putih, mengatakan bahwa, ”kemajuan dalam hak-hak perempuan dan kemajuan dalam kebebasan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.” Presiden mengklaim bahwa “kemajuan dari kebebasan di timur tengah telah memberikan hak-hak baru dan harapan baru bagi perempuan disana”. Pada tahun 2005, perdana menteri Inggris, Tony Blair, seorang yang mengkampanyekan rasa takut terhadap syariat Islam dalam rangka membenarkan kelanjutan penjajahan Inggris di Afghanistan dan Irak menyatakan, ”mereka menuntut… penegakan sebuah negara Taliban dan hukum Syariah di dunia Arab dalam perjalanan menuju tegaknya sebuah ke-khilafah-an bagi seluruh umat muslim. Kita tidak perlu bertanya-bertanya tentang negara macam apa yang akan mereka bangun…anak-anak perempuan tidak akan sekolah. Perempuan ditolak hak-hak asasinya…dan semua itu dibenarkan oleh keimanan pada agama mereka.”

Namun, sebagaimana Afghanistan, “kepedulian” yang sama bagi hak-hak perempuan Irak diantara pemimpin dan pemerintah Barat terlihat absen jika berbicara dampak merusak akibat 13 tahun sanksi PBB dijatuhkan pada negeri ini – terhadap kaum perempuan Irak dan keluarga mereka. Sanksi PBB ini telah membawa pada peningkatan jumlah kasus kurang gizi, wabah penyakit, ketimpangan sistem pelayanan kesehatan di negara tersebut, kemerosotan pendidikan perempuan mengacu pada situasi ekonomi yang terpuruk, dan ratusan ribu kematian pada anak-anak.

 

Dan sebagai bagian dari upaya peperangan, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris juga secara aktif mendanai, membangun dan mendukung sejumlah kelompok feminis di Irak. Sebagai contoh, pada konferensi pers yang diadakan dua pekan sebelum invasi ke Irak, wakil menteri luar negeri, Paula Dobriansky menyatakan,”kita berada dalam posisi yang kritis dalam menghadapi Saddam Husein, namun ternyata sangat jelas bahwa para perempuan Irak memiliki peran yang penting menuju kebangkitan masa depan bagi masyarakat mereka.” Tepat di sebelahnya duduk  adalah para anggota “Women for a free Iraq (perempuan untuk Irak merdeka)”, sebuah kelompok yang terbentuk oleh perempuan Irak yang terasingkan dan didirikan pada bulan Januari 2003 untuk meningkatkan kesadaran para perempuan dibawah pemerintahan Saddam Husein. Gerakan ini menerima dana dari Foundation of the Defence of Democracy yang berbasis di Washington, dimana presidennya Clifford May adalah mantan anggota partai republik dan anggotanya dipenuhi oleh tokoh-tokoh neokonservatif. Departemen luar negeri AS juga mempublikasikan data perempuan yang menderita dibawah rezim Saddam Husein, sementara di Inggris, kantor urusan luar negeri dan persemakmuran juga telah memasukkan data kejahatan rezim Saddam terhadap perempuan dalam dokumen mereka mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Irak. Sebagai tambahan, pemerintah Barat juga mendanai organisasi dan sejumlah workshop, seminar, konferensi dan program-program training untuk perempuan  mengenai demokrasi dan hak asasi manusia, khususnya pada periode setelah invasi. Pada tahun 2003, AS mengalokasikan 27 juta USD untuk program-program perempuan yang dimanfaatkan menjadi bagian konferensi perempuan nasional dan juga dukungan terhadap organisasi keperempuanan yang baru saja terbentuk, yang kedua-duanya mendukung adanya intervensi penjajah di Irak sebagaimana mereka mempromosikan pemahaman terhadap “hak-hak perempuan” dari kaca mata sekuler di kalangan perempuan Irak. Kebanyakan dari kelompok ini bekerja secara aktif untuk memastikan bahwa jalan menuju masa depan Irak adalah konstitusi sekuler dan bukan Islam – yang dijauhkan dari negara, jelas ini mencerminkan penggabungan antara feminisme dan kolonialisme di tengah-tengah umat muslim.

Namun, terlepas dari semua wacana perbincangan seputar hak-hak perempuan, perempuan di Irak dan juga Afghanistan telah membayar mahal dampak intervensi Barat di negeri mereka. Ratusan ribu nyawa melayang, termasuk keluarga dan rumah mereka. Masyarakat mereka terjebak dalam kekacauan tak berujung, kekerasan, dan ketiadaan hukum membawa pada tingginya angka penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan. Saat ini 9.5 juta populasi di Irak hidup di bawah garis kemiskinan dengan angka yang semakin meningkat. Dan ribuan perempuan tak bersalah di Irak telah dilecehkan, disiksa, atau dipenjarakan oleh pihak keamanan Barat yang mendukung rezim sekuler untuk mendapatkan informasi terkait kerabat laki-laki mereka yang diduga sebagai pemberontak. Semua hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa politisi dan pemerintah Barat tidak punya kepedulian apapun terhadap keadaan perempuan Irak – selain menggunakan bahasa feminisme untuk mengamankan kepentingan politik mereka dan kepentingan ekonomi mereka terhadap minyak di negara tersebut.

Kesimpulan

Perselingkuhan panjang antara feminisme dan kolonialisme di dunia Islam telah demikian riil dan menjadi kuat hari ini. Pemerintah Barat telah menggunakan hak-hak perempuan dan idealisme feminis untuk mengejar dan memperpanjang kepentingan penjajahan mereka di kawasan dunia Islam. Hal ini satu paket dengan tujuan sekulerisasi sistem dan pemikiran umat dengan cara mengikis keimanan mereka terhadap Islam, sebagaimana mereka memerangi kebangkitan Islam di masyarakat Muslim, semua hal itu untuk menguatkan pijakan kaki mereka untuk menjajah negeri-negeri Muslim.

Semua wacana opini dan inisiatif yang dilakukan rezim-rezim pemerintahan terhadap perempuan di negeri-negeri muslim tidak ada hubungannya dengan jaminan kebahagiaan bagi kaum muslimah, atau akan memberikan mereka hal-hal yang positif dalam kehidupan mereka. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya hubungan yang hangat antara pemerintah Barat dengan para pemimpin diktator yang sekuler di negeri-negeri muslim yang dengan telah mempermalukan dan menindas perempuan mereka dan merampas hak-hak dasar mereka dan melakukan tawar menawar dengan tuan-tuan Barat mereka. Karena itu, inisiatif dan agenda feminis yang tengah bermain di negeri-negeri muslim, baik yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi perempuan, rezim sekuler, atau institusi seperti PBB, hanya membantu realisasi dari rencana-rencana penjajah yang menguatkan kontrol mereka atas politik dan ekonomi pada masyarakat muslim. Satu paket dengan pembebanan perjanjian perempuan internasional seperti CEDAW di negeri muslim, pengabadian ide-ide feminis Barat tentang kesetaraan gender di dalam konstitusi, dukungan terhadap perundangan sekuler terkait status personal perempuan serta promosi besar-besaran terhadap konsep non-islam yaitu “feminisme Islam”

Lebih jauh lagi, para penjajah pun berbohong bahwa Islam telah menindas perempuan dibawah Syariah dan Khilafah yang terus menerus digaungkan oleh para pemimpin dan politisi Barat dari generasi ke generasi, yang telah menghasilkan kebencian dan ketakutan diantara masyarakat dan bahkan umat muslim terhadap aturan Islam. Mereka juga terus mencari-cari pembenaran untuk demi berlanjutnya dan langgengnya intervensi tanah-tanah umat Islam. Idealisme para feminis harus ditolak dengan tegas sebagaimana konsep kolonialisme di negeri-negeri muslim yang juga harus dilawan. Lebih jauh lagi, narasi sejarah yang ketinggalan jaman mengenai penindasan perempuan di bawah sistem Islam atau Khilafah, yang berakar pada agenda penjajahan untuk menguasai dunia muslim dan merampok sumber daya alamnya, harus di campakkan ke tong sampah sejarah.

(يُرِيدُونَ أَن يُطۡفِـُٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٲهِهِمۡ وَيَأۡبَى ٱللَّهُ إِلَّآ أَن يُتِمَّ نُورَهُ ۥ وَلَوۡ ڪَرِهَ ٱلۡكَـٰفِرُونَ)

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahay-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” [TMQ At-Taubah: 32]

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh

Dr. Nazreen Nawaz

Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*