Isu Aceh dan perda syariatnya memang selalu seksi, apalagi jika menyangkut isu perempuan. Entah kenapa setiap ada isu miring soal penerapan perda syariah di Aceh, kalangan media liberal dalam negeri dan luar negeri berkolaborasi dengan kelompok feminis begitu terobsesi dan bernafsu mempublikasikannya lengkap dengan bumbu sudut pandang anti Islamnya.
Dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat perda Syariah di Aceh yang kontroversial sampai membuat Delegasi Uni Eropa (EU) berkunjung ke Serambi Mekah 17 Juni 2014 lalu. Duta Besar UE, Olof Skoog menyatakan keprihatinannya terkait adanya dugaan pelanggaran HAM terhadap kaum perempuan dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Olof Skoog – yang juga didampingi oleh rombongan duta besar dari Republik Ceko, Denmark, Jerman, Italia, dan Swedia – berusaha menekankan betul soal pemenuhan hak-hak asasi perempuan dalam pelaksanaan syariat Islam, di dalam forum dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah, aktivis hak asasi manusia lokal, dan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Lalu selama Oktober dan November 2014, Komnas Perempuan merilis laporan sebanyak 365 peraturan daerah yang dia nilai mendiskriminasi perempuan, salah satunya adalah Qanun Jinayat di Nanggroe Aceh Darussalam yang dianggap melanggar hak asasi perempuan. Media asing seperti CNN bahkan melakukan liputan khusus memberitakan bagaimana Qanun Jinayat dan perda-perda Islami di seluruh Indonesia telah melumpuhkan hak perempuan. Massifnya pemberitaan soal Syariat Islam di Aceh, tentu menimbulkan pertanyaan dalam benak; Begitu bermasalahkah perda Syariah di Aceh terhadap kaum perempuan? Benarkah Syariah Islam justru mendiskriminasikan perempuan?
Artikel ini akan mencoba menjawabnya dalam dua bagian. Bagian pertama lebih membahas Syariat phobia Barat yang agresif menyerang penerapan perda Syariah di Aceh yang kontras dengan kegagalan ideologi Barat menyelesaikan gunungan persoalan domestiknya terhadap kaum perempuan, serta akan menegaskan bahwa HAM (hak asasi manusia) BUKAN tolak ukur yang bisa dan boleh dipakai untuk mengevaluasi penerapan Syariat Islam yang memiliki akar sejarah kuat di Aceh, dimana Islam telah berkontribusi besar dalam menjamin derajat dan kehormatan perempuan Aceh secara kaaffah selama berabad-abad. Sementara bagian kedua akan menjabarkan bahayanya lokalisasi dan parsialisasi penerapan Syariah, dimana hakikatnya praktek penerapan seperti ini adalah strategi Barat untuk menjebak umat Islam yang memiliki semangat mulia menerapkan Syariah dan menjinakkan kebangkitan Islam agar tunduk di bawah sistem demokrasi sekuler.
Wabah Syariat Phobia dan Rabun Dekat Kronis
Insiden menghebohkan pada pertengahan Mei 2014 lalu di Aceh dimana ada peristiwa seorang perempuan Aceh korban pemerkosaan dihukum cambuk oleh polisi Syariah Aceh, menjadi contoh bagaimana media nasional dan internasional sangat tidak proprosional dalam mengeksposnya, seperti di Harian Kompas, The Globe Jakarta, Daily Mail (Inggris) dan The Age (Australia), melansir berita tersebut secara serentak pada 6 Mei 2014 lalu dengan judul-judul berita yang sangat tendesius dan provokatif. Contohnya saja judul di Harian Kompas: “Diperkosa Delapan Orang, Wanita Ini Akan Dicambuk Polisi Syariah”. Begitu juga dengan judul di The Age: “Aceh woman, gang-raped by vigilantes for alleged adultery, now to be flogged”. Januari 2015 media Australia The Sydney Morning Herald kembali mengkritisi kasus ini karena delapan bulan setelah pemerkosaan terjadi, polisi masih belum menemukan lima pelaku pemerkosaan. Kritik itu muncul dalam tulisan berjudul ‘Aceh’s Sharia Law: Raped and beaten; then formally whipped’ yang dipublikasikan pada 9 Januari 2015. Siapapun yang membaca judul – judul seperti ini sangat mungkin salah paham dan menilai negatif terhadap hukum Syariat Islam.
Pemberitaan media ini seakan mengabaikan kaidah jurnalistik terhadap kronologis empirisnya, dimana sebenarnya peristiwa itu merupakan dua kasus yang berbeda yang bermula dari tertangkap basahnya perselingkuhan antara seorang janda muda dengan lelaki paruh baya oleh delapan orang pemuda, namun bukan justru diserahkan ke polisi Syariah, tapi malah diperkosa secara bergiliran oleh kedelapan pemuda tadi. Atas dasar fakta hukum tersebut, Kepala Dinas Syariat Islam Langsa – Ibrahim Latief menyatakan kasus perzinaan dan pemerkosaan dibagi dalam dua kasus terpisah. Untuk pemerkosaan, kata dia, ditangani oleh polisi karena merupakan tindak pidana. Hukuman pidana untuk pemerkosaan adalah maksimal 15 tahun.
Jika kita cermati, propaganda lebay dan over exposed Barat terhadap perda Syariat di Aceh, baik yang dilakukan oleh elemen medianya ataupun institusi politiknya – sebenarnya mencerminkan bentuk paranoid mereka terhadap Syariat Islam dan kebangkitan umat Islam. Jelas sekali, mereka menderita Syariah Phobia. Mereka terus berusaha untuk mengecam dan mencari-cari kesalahan pihak-pihak yang masih berpegang terhadap kemuliaan Syariat Islam dan yang tidak setuju dengan nilai-nilai cacat sekuler liberal. Barat takut kalau umat Islam kembali menerapkan syariah Islam yang menjadi kunci kemenangan, kemuliaan, dan keamanan bagi kaum Muslimin bahkan bagi dunia secara keseluruhan. Syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang diterapkan secara menyeluruh dan adil akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan umat manusia.
Sementara di sisi lain Syariah phobia juga memiliki efek samping kuat yakni gejala rabun kronis yang membutakan mereka terhadap kanker yang ada dalam masyarakatnya sendiri. Ibarat pepatah kuman di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata tidak terlihat, Barat perlu berkaca dahulu sebelum menunjuk muka umat Islam di Aceh. Baru-baru ini sebuah survei Inggris telah mengungkap bahwa serangan terhadap umat Islam di Inggris meningkat tajam, dengan rata-rata dua kejahatan Islamofobia dilaporkan setiap hari. Selain itu, data menunjukkan bahwa 54 persen dari korban Islamophobia adalah perempuan, karena mereka mengenakan busana muslimah. Survey ini disusun oleh para akademisi di Teesside University yang merangkum sebanyak 734 insiden, hanya dalam kurun waktu Mei lalu hingga 28 Februari 2014. Dirilisnya survei ini hanya beberapa hari setelah Nahid Almanea, seorang mahasiswa asal Arab Saudi, ditikam sampai mati di Essex, sebelah timur laut dari London.
Negeri-negeri Barat justru importer utama kekerasan terhadap perempuan di negeri muslim – biang keladi terciptanya masyarakat liberal yang tidak aman bagi perempuan. 10 Besar negara di dunia dengan angka kekerasan seksual tertinggi terhadap perempuan dirajai oleh negara-negara Amerika Utara dan Eropa. Fenomena ini adalah bukti nyata bahwa HAM dan Demokrasi adalah sekedar dagangan politik mereka untuk mengontrol negeri-negeri Muslim tapi tidak untuk negeri mereka sendiri, dan akan selalu menjadi komoditas politik Barat untuk menyudutkan Syariah Islam. Rabun dekat kronis, ya bisa dibilang demikian, karena pelanggaran HAM dan diskriminasi kaum Muslimah di Barat selalu dianggap hanya sebagai kasus minor dan media hanya menyalahkan “individu”, namun jika kejadian itu menimpa negeri Muslim (apalagi yang menerapkan Syariat Islam secara lokal) mereka akan berlomba memojokkan secara kolektif “Sistem” Syariat dan umat Islam. Inilah teater opini murahan kaum barat dan jaringan media liberalnya, mereka lebih peduli pada terampasnya hak segelintir perempuan mengendarai mobil di Saudi, tapi mendiamkan diskriminasi dan kriminalisasi massal pada perempuan Muslim di negerinya. Mereka juga lebih tertarik pada hak pendidikan Malala di Afghanistan, namun menutup mata pada ratusan korban anak-anak Muslim Afghanistan akibat serangan pesawat Drone NATO. Dan mereka memilih untuk terus mengkampanyekan bahwa perda Syariah mendiskriminasi perempuan Indonesia, dibandingkan memikirkan solusi untuk JUTAAN perempuan Indonesia teramputasi haknya untuk mendapat sesuap nasi hingga tereksploitasi menjadi jutaan TKW di negeri orang. Munafik.
Menjawab Tudingan bahwa Syariat Islam Melanggar HAM Perempuan Aceh
Tudingan Barat bahwa Syariat Islam melanggar HAM perempuan Aceh perlu kita kaji dengan jernih, terutama standar HAM itu sendiri yang selalu dipakai sebagai tolak ukur oleh media barat. Akar penyebab komplikasi dan dilemma yang timbul akibat penerapan Syariat di Aceh JUSTRU bersumber pada subordinasi aturan Syariah pada hukum-hukum sekuler yakni HAM dan demokrasi. Sehingga Syariah Islam hanya dikerdilkan bersifat lokal dan parsial dan tunduk dikangkangi oleh hukum-hukum buatan manusia dan ide-ide kebebasan yang sekuler.
Karena itu untuk menjawab tudingan massif ini, umat Islam di Aceh tidak boleh melemah dan reaktif, karena sikap seperti ini akan mendorong pada upaya apologetik menjadikan Syariat Islam tidak akan bertentangan dengan HAM dan akhirnya terjebak pada aktivitas menyesuaikan diri pada nilai-nilai sekuler berbahaya yang dibawa oleh ide HAM. Sehingga pada akhirnya Syariat Islam yang merupakan hukum Allah akan selalu berada pada posisi subordinat, sementara ide HAM dan Demokrasi yang merupakan hukum buatan manusia selalu berada superordinate alias lebih tinggi daripada hukum Allah. Allah Ta’ala berfirman kepada kaum mukminin di tengah kondisi kekalahan mereka dan di tengah berbagai kecaman yang mereka terima dari kaum musyrikin:
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran : 139)
Di sisi lain, kita tidak boleh lupa sejarah, bahwa tanah Aceh dan seluruh nusantara pernah diterapkan Syariat Islam secara komprehensif selama hampir 10 abad di bawah Kekhilafahan Islam, bahkan ahli sejarah menyebut era Islam di Nusantara sebagai era keemasan (golden age). Ini menunjukkan bahwa Islam berkontribusi besar membawa keberkahan, kemakmuran dan kemajuan pada bangsa – bangsa Muslim di Nusantara termasuk Aceh. Penting untuk dicatat, pertama pada masa Islam tersebut penerapan Syariat di Aceh tidak tersubordinasi oleh kekuatan asing dan hukum-hukum buatan manusia seperti yang terjadi hari ini, sehingga tidak terjadi komplikasi persoalan seperti kondisi sekarang. Kedua, penerapan Syariat Islam kala itu terjadi di bawah kepemimpinan global Khilafah Islam, jadi skala penerapannya tidak hanya bersifat local di Aceh, melainkan seluruh nusantara dan wilayah yang telah dikuasai Islam. Hal ini terlihat dari sikap kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara yang menganggap diri mereka bagian integral dari wilayah Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Islam baik ketika masa Khilafah Abbasiyah maupun masa Khilafah Turki Utsmani. Antar kesultanan terdapat hubungan dakwah, politik, ekonomi, militer, bahkan kekerabatan. Sangat kontras dengan era Hindu-Budha sebelum Islam dimana kerajaan-kerajaan di Nusantara bersifat terpisah-pisah dan saling serang satu sama lain.
Perempuan Aceh berabad-abad merasakan bagaimana Syariat Islam memuliakan mereka, membesarkan kiprah mereka dan menjamin kehormatan mereka. Sehingga nama-nama besar Muslimah Aceh seperti Laksamana Hayati dan Cut Nyak Dien adalah sedikit contoh dari sekian banyak tokoh Muslimah yang memiliki peranan besar dalam berkiprah di masyarakat, sama sekali jauh dari gambaran terkekang dan terdiskriminasi seperti yang sering dinarasikan media Barat. Di era Islam juga nyaris tidak terdengar praktek eksploitasi atau kerja paksa pada rakyat, termasuk kaum perempuan. Justru di hari ini saat negeri Muslim Indonesia menerapkan ideologi Kapitalisme Demokrasi, ada jutaan perempuan yang terampas hak ekonominya akibat dimiskinkan secara massal oleh sistem ekonomi Kapitalisme.
Oleh karena itu umat Islam di Aceh dan seluruh dunia harus selalu menyadari bahwa Islam-lah identitas sejati mereka, yang memuliakan, mensejahterakan dan membawa keberkahan pada bumi Nusantara ini…BUKAN identitas lain yang diKONSTRUK oleh paham-paham sekuler! Fakta sejarah tidak bisa dilenyapkan, Islam mensejahterakan dan memberkahi Nusantara lebih dari tiga abad, sementara kolonialisme Barat baik yang klasik maupun yang modern justru memiskinkan dan menindasnya hingga hari ini. Mereka terus bekerja siang dan malam untuk membusukkan Syariat Islam, seperti firman Allah Swt :
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci (QS ash-Shaff [61]: 08).”
Written for Central Media Office Hizb ut Tahrir by
Fika Komara
Member of Central Media Office Hizb ut Tahrir