Karut-marut Pemberantasan Korupsi, Bukti Bobrok Demokrasi

Konflik KPK dengan Polri yang menyita perhatian publik sejak awal Januari memberikan ibrah tersendiri bagi rakyat negeri ini. Ternyata semua lembaga negara tak ada yang bersih dari penyalahgunaan wewenang ataupun korupsi, termasuk K-P-K, Komisi Pemberantas Korupsi.

Konflik—yang sejak kasus Susno Duadji terkenal dengan istilah “Cicak versus Buaya—tersebut menambah bukti betapa karut-marutnya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Mau Sikat Century, Antasari Dikriminalisasi

Masih ingat kasus Antasari? Ketua KPK pertama di Indonesia tersebut diduga dikriminalisasi tak berapa lama setelah dirinya beriktikad memberantas korupsi terutama terkait dengan skandal Bank Century yang diduga melibatkan orang nomor satu di Indonesia kala itu.

Antasari Azhar pada 11 Oktober 2009 diberhentikan secara tetap dari jabatannya sebagai Ketua KPK setelah menjadi tersangka otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin adalah Direktur PT Rajawali Putra Banjaran yang mengadu dan memberikan data para pejabat tinggi PT Rajawali Nusantara Indonesia yang korup kepada KPK.

Nah, Antasari dituduh membunuh Nasrudin lantaran adanya pengakuan dari dua orang saksi yang mengatakan keduanya melihat pesan singkat teror yang dikirim Antasari ke Nasrudin. Anehnya, pihak berwenang tidak dapat menunjukkan catatan komunikasi dari ponsel Antasari dengan mendiang Nasrudin antara Februari hingga Maret 2009—waktu yang dituduhkan SMS itu dilayangkan. Meski mengaku tak bersalah dan tak ada bukti serta dua orang itu dianggap Antasari memberikan kesaksian palsu, ketua KPK pertama di Indonesia ini tetap dijebloskan ke bui dengan vonis 18 tahun penjara.

Tak ayal lagi, publik pun menuding, penjeblosannya itu merupakan kriminalisasi terhadap KPK lantaran Antasari memberikan pernyataan tegas hendak menyikat semua pelaku skandal Bank Century.

Giliran Susno Duadji yang Masuk Bui

Mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji, sang jenderal polisi bintang tiga yang disebut-sebut calon terkuat Kapolri menggantikan BHD dihukum bersalah terima suap sehingga dijebloskan ke bui. Dia dianggap terlibat dua kasus kriminal korupsi: penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Pengadilan pada akhir 2012 memvonis dirinya dengan hukuman 3,5 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan pengembalian kerugian negara Rp 4,2 miliar.

Yang menjadi dasar putusan hakim hanya keterangan satu saksi, yaitu Sjahril Johan. Sjahril Johan bersaksi pada 4 Desember 2008 dirinya telah menyuap Susno sebesar 500 juta di rumah Susno Duadji. Tidak ada satu orang pun yang memperkuat pengakuan Sjahril Johan itu. Semua saksi termasuk Susno mengatakan tidak ada Sjahril datang ke rumah. Dua ajudan Susno yang sedianya akan jadi pembantah atau pematah kesaksian Sjahril mati misterius sebelum sempat memberikan keterangan di pengadilan.

Masyarakat mencatat, Susno dikriminalisasi akibat tindakannya yang terlalu berani mengungkap kriminal yang terkait para petinggi negeri ini. Susno turut membongkar Skandal Century tentu saja membuat elit penguasa tak terima. Ia pun membongkar mafia hukum dan menyebut nama Sjahril Johan sebagai tokoh utamanya, termasuk dalam mengendalikan Kapolri saat itu. Sjahril Johan berikutnya dianggap mengkriminalisasi Susno dengan menyatakan dirinya telah menyuap Susno seperti yang disinggung di atas.

Dia juga menangkap Robert Tantular dan menyidik Robert untuk empat kasus kejahatan sekaligus. Susno menyidik Robert untuk kejahatan perbankan, korupsi, cuci uang dan penipuan. Setelah Susno Duadji dilengserkan, 4 kasus pidana Robert Tantular tiba-tiba hanya tinggal satu saja dengan vonis yang sangat ringan, yakni empat tahun.

Susno juga dianggap off side karena membuka kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang melibatkan korupsi pajak Bakrie Grup milik Ical, Ketum Golkar. Kasus Gayus Tambunan itu membongkar keterlibatan sejumlah jenderal, jaksa agung muda dan petinggi kejagung lainnya termasuk Cirus Sinaga. Sirus satu satunya Jaksa Penuntut Umum yang mau mengkriminalisasi Susno.

Rekening Gendut Perwira Polri

Pada 2010, Markas Besar Kepolisian RI menelusuri laporan transaksi mencurigakan di rekening sejumlah perwira polisi yang dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Berikut ini tiga dari sekian banyak transaksi yang dicurigai PPATK itu.

Pertama: Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian. Kekayaannya Rp 4.684.153.542 (per 19 Agustus 2008). Ia melakukan transaksi dalam jumlah besar, tak sesuai dengan profilnya. Bersama anaknya, Budi disebutkan telah membuka rekening dan menyetor masing-masing Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar.

Kedua: Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian. Kekayaannya Rp 2.090.126.258 dan US$ 4.000 (per 24 Maret 2008). Tuduhan kepada dia: membeli polis asuransi pada PT Prudential Life Assurance Rp 1,1 miliar; asal dana dari pihak ketiga; menarik dana Rp 700 juta; dan menerima dana rutin setiap bulan.

Ketiga: Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal. Kekayaannya Rp 1.587.812.155 (per 2008). Tuduhan: menerima kiriman dana dari seorang pengacara sekitar Rp 2,62 miliar dan kiriman dana dari seorang pengusaha. Total dana yang ditransfer ke rekeningnya Rp 3,97 miliar.

Namun sayang, tidak ada kejelasan tentang kelanjutan penulusuran Polri terhadap para perwiranya yang memiliki rekening gendut tersebut. Malah pada laporan PPATK terbaru, rekening Budi Gunawan (BG) dari 2008 hingga 2011 naik secara fantastik sebesar 17,9 triliun! Adapun Badrodin menjadi Plt Kapolri dan kini menjadi calon Kapolri.

Cicak Vs Buaya III

Seperti disaksikan publik melalui media, kisruh “Cicak versus Buaya III” berawal saat KPK menetapkan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Padahal BG telah diajukan oleh Presiden Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Jenderal Sutarman awal Januari lalu. Meski BG sudah ditetapkan sebagai tersangka, pencalonan BG sebagai Kapolri tetap diproses dalam Sidang Pleno DPR. Pada pertengahan Januari DPR pun setuju dan menerima.

Namun, karena BG jadi tersangka, Presiden Jokowi memutuskan menunda pelantikan BG sebagai Kapolri. Jokowi lalu memberhentikan dengan hormat Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri. Pemberhentian Sutarman terkesan buru buru mengingat calon penggantinya dianggap bermasalah, apalagi Sutarman baru pensiun pada Oktober 2015.

Setelah itu bermunculan upaya yang dianggap oleh publik sebagai balas dendam kepada KPK karena menjadikan BG sebagai tersangka. Mula-mula beredar foto yang memperlihatkan Ketua KPK Abraham Samad berpose mesra dengan Putri Indonesia.

Berikutnya, Pelaksana Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membeberkan adanya pertemuan Ketua KPK Abraham Samad dengan dirinya dan kader PDI-P lainnya sebelum Pilpres. Saat itu, katanya, Samad melobi PDIP agar dapat menjadi calon wakil presiden bagi Jokowi. Karena itu Abraham dituduh melanggar kode etik KPK. Beberan itu menimbulkan kesan bahwa penetapan BG jadi tersangka karena Samad sakit hati tidak dijadikan cawapres bagi Jokowi.

Lalu Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri. BW dituduh mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat Kalteng di MK. Namun, itu terjadi pada 2010 lalu.

Kemudian Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Bareskrim. Ia dituduh telah menguasai saham PT Daisy Timber di Berau, Kalimantan Timur dengan cara-cara yang tidak benar. Namun, kasus itu pun sudah lama, yakni terjadi pada tahun 2006.

Selanjutnya, Presidium Jatim Am dari Aliansi Masyarakat Jawa Timur, Fathorrasjid, menyatakan bahwa pihaknya akan melaporkan Zulkarnain ke Bareskrim. Zulkarnain diduga menerima uang suap sekitar Rp 5 miliar pada 2010 untuk menghentikan penyidikan perkara penyelewengan anggaran Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008. Saat itu Zulkarnain menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim.

Alhasil, ketua dan semua wakil ketua KPK dilaporkan ke polisi. Tak pelak, publik menilai semua itu sebagai upaya kriminalisasi KPK.

Pada akhirnya, pada Rabu 18 Februari Presiden memutuskan tidak lagi ngotot mencalonkan BG yang memiliki rekening gendut sebagai Kapolri. Sialnya, penggantinya adalah Badrodin Haiti (BH)! Yang juga sama sama menurut PPATK sebagai pemilik rekening gendut!

Politik Saling Sandra

Menurut Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yahya Abdurrahman, kisruh yang melibatkan BG dan para petinggi KPK merupakan bukti terbaru betapa penegakan hukum masih sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Kisruh ini juga membuktikan bahwa politik ‘saling sandera’ terus terjadi. Masing-masing pihak mengetahui kelemahan atau cacat pihak lain. Semua ini lantas dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan masing-masing. Jika pihak lain tidak sejalan maka cacatnya pun diungkap.

Kasus penetapan BG sebagai tersangka mengesankan adanya kepentingan di balik hal itu. Selain prosesnya yang dinilai oleh sebagian pihak sangat cepat, juga waktunya dilakukan setelah BG diajukan sebagai calon tunggal Kapolri dan sebelum disetujui DPR dan dilantik. Padahal dalam beberapa kasus, KPK sudah menetapkan tersangkanya, namun kasusnya kini tidak jelas lanjutannya. Contohnya adalah mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Menteri ESDM Jero Wacik, mantan Ketua BPK/Dirjen Pajak Hadi Purnomo dan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Semuanya sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi hingga kini mereka belum ditahan. Prosesnya terkesan lambat, bahkan kelanjutannya tidak jelas.

Di sisi lain, pelaporan atas pimpinan KPK terkait dengan kasus-kasus lama. Kasus Adnan terjadi tahun 2006. Kasus Zulkarnaen terjadi tahun 2010. Kasus BW terjadi tahun 2010. Semuanya diungkap lagi saat ini. “Mengapa baru saat ini diungkap dan dilaporkan? Mengapa tidak sejak saat kasus itu terjadi? Mengapa pula bukti-bukti atas kasus-kasus itu—jika memang ada—tidak disampaikan dalam fit and proper test pada saat proses seleksi pimpinan KPK kala itu?” tanya Yahya retorik.

Jadi, ada kesan kuat bahwa berbagai kasus seolah disimpan dan tidak diungkap untuk dijadikan alat tawar. Kasus-kasus itu dijadikan alat untuk mencegah pihak lain menggagalkan total kepentingan masing-masing pihak, mencegah berbagai pihak saling mengungkap kasus pihak lainnya, atau mendorong berbagai pihak untuk berkompromi. Akhirnya, ada semacam ‘ancaman’: siapapun yang berani berulah maka cacat dan kasusnya akan diungkap. Itulah politik ‘saling sandera’ satu pihak atas pihak lain.

Di sisi lain, kepentingan rakyat makin terpinggirkan. Rakyat makin sengsara. Alhasil, doktrin demokrasi bahwa dengan pemilihan langsung oleh rakyat akan dihasilkan penguasa dan politisi yang mendengarkan aspirasi rakyat hanyalah ilusi.

Buah Demokrasi

Sistem politik demokrasi yang mahal dan bertumpu pada popularitas meniscayakan politik ‘saling sandera’ terjadi. Hal itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, siapa pun tak bisa menjadi penguasa dan pejabat kecuali jika mendapat dukungan politik dan modal. Karena itu dalam sistem demokrasi peran cukong politik dan cukong modal sangat menentukan. Tentu tidak ada sesuatu yang gratis.

Cukong politik (parpol dan khususnya elite parpol) dan cukong modal (para kapitalis) pada akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap penguasa dan kebijakannya. Jadilah penguasa dalam sistem demokrasi tersandera oleh cukong politik dan cukong modal itu.

Apalagi jika penguasa itu bukan orang yang berkuasa dalam parpol; pengaruh atau bahkan kontrol dari para cukong itu jauh lebih terasa dan kelihatan. Itulah yang secara kuat bisa dirasakan terjadi di negeri ini saat ini, mulai dari penyusunan menteri hingga penunjukkan calon Kapolri. Ke depan hal itu masih akan terus terjadi.

Akibatnya penegakkan hukum menjadi amburadul. Melihat tren seperti itu, dapat diprediksi kasus bail out BLBI yang merugikan uang rakyat sebesar Rp 670 triliun itu, tidak akan pernah diperkarakan pada rezim yang berkuasa saat ini. pasalnya, bila diproses, akan menyeret Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri. Publik masih ingat, Megawati ketika menjadi presiden, bukannya mengusut dan mengadili para pengemplang uang negara yang berjumlah 100 kali lipat skandal Bank Century, malah membebaskan para bankir jahat tersebut.

Siapa saja yang berani mengungkap dan membawa kembali kasus BLBI ke pengadilan tentu saja, apa yang terjadi pada era SBY terhadap para pembongkar skandal Century yang merugikan negara sebanyak Rp 6,7 triliun, bisa terulang kembali. Bila dia dari jajaran KPK tentu akan di-”Antasari”-kan, atau kalau dari jajaran kepolisian akan di-”Susno”-kan. Sinyal ke arah itu tampak jelas ketika KPK coba coba memperkarakan BG, sang ajudan Megawati saat jadi presiden.

Dengan sistem demokrasi seperti itu, di belakang para politisi, penguasa dan pejabat, semuanya ada kepentingan politik dan ekonomi (modal) yang terus menyertai. Agar kepentingan semua pihak bisa diwujudkan, semua pihak harus terus berkompromi satu sama lain. Agar kompromi itu terus terjadi maka salah satu caranya adalah dengan saling menyandera satu sama lain. Dengan begitu masing-masing pihak akan terkontrol dan tidak saling berulah sehingga merugikan kepentingan mereka sendiri.

Politik ‘saling sandera’ ini akan terus ada. Pangkal semua ini adalah pemberlakuan sistem demokrasi di negeri ini. Semua yang terjadi juga menjadi bukti bahwa demokrasi hanya menawarkan ilusi demi ilusi: ilusi kesejahteraan, ilusi keadilan, ilusi kedaulatan, ilusi rezim yang senantiasa mendengarkan aspirasi rakyat dan ilusi-ilusi lainnya. Semua itu pada akhirnya menjadi bukti kebobrokan sistem demokrasi. [Joko Prasetyo, dari berbagai sumber]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*