Pengantar:
Kisruh KPK-Polri yang kembali berulang membuktikan karut-marut sistem hukum di negeri ini, selain tentu saja menandakan kacaunya sistem politik dan pemerintahan yang ada. Antarlembaga negara saling sandera. Kekuasaan dijadikan alat tawar-menawar. Politik dipermainkan demi nafsu elit dan para pejabat, bukan untuk kepentingan rakyat. Mengapa semua ini terjadi? Apa akar penyebabnya? Bagaimana pula solusinya? Masihkah ada peluang penegakan hukum yang adil dalam sistem demokrasi seperti sekarang ini?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewancarai KH M. Shiddiq al-Jawi dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut wawancaranya.
Kisruh KPK-Polri menunjukkan adanya semacam politik saling-sandera di negeri ini. Bagaimana menurut Kiai?
Kisruh KPK-Polri bagi saya menunjukkan kekacauan sistem hukum yang ada. Menurut para pakar hukum Barat, seperti Lawrence M. Friedman dalam The Legal System, ada tiga unsur sistem hukum. Pertama: substansi hukum. Kedua: aparat penegak hukum, seperti polisi dan hakim. Ketiga: budaya hukum masyarakat, misalnya kebiasaan atau kecenderungan masyarakat dalam masalah hukum. Nah, dalam kisruh KPK-Polri ketiga unsur sistem hukum tampak kacau. Dalam substansi hukum, misalnya, ada kontradiksi tafsiran-tafsiran hukum untuk satu kasus. Misal, mengenai penetapan seseorang sebagai tersangka; ada yang mengatakan merupakan objek praperadilan, ada yang mengatakan bukan objek praperadilan. Kacaunya aparat hukum terlihat jelas dengan permusuhan yang menjijikkan dan memalukan antara KPK dan Polri, yang sama-sama penegak hukum. Adapun kacaunya budaya hukum, bisa dilihat dari kontradiksi sikap masyarakat terhadap KPK. Sikap DPR dan Polri jelas sekali anti-KPK, walaupun dalam retorika politik mereka selalu mengklaim mendukung pemberantasan korupsi. Padahal mayoritas masyarakat pro KPK.
Apakah kepentingan politik sangat mempengaruhi penegakan hukum?
Memang benar. Kepentingan politik bisa mempengaruhi penegakan hukum. Begitu pula penegakan hukum sering dipakai untuk kepentingan politik. Polri, misalnya, jelas telah memainkan politik balas dendam dengan melakukan kriminalisasi para komisioner KPK setelah Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Masyarakat tidak bisa ditipu dengan retorika Polri yang mengklaim bahwa penetapan Bambang Widjojanto atau Abraham Samad adalah murni penegakan hukum. Jelas sekali, ada kepentingan politik Polri untuk melemahkan KPK setelah Polri merasa terpukul dengan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK.
Mengapa hal itu tampak sering terjadi dalam sistem demokrasi?
Karena dalam sistem demokrasi sekarang ini hukum memang bisa ditekuk-tekuk agar mengikuti kehendak penegak hukumnya. Jadi hukum itu ibarat cermin dari kehendak masyarakat, dan cermin dari kehendak elit penguasa, termasuk aparat hukum di bawah kendali elit penguasa. Intinya, kehendak mendahului hukum. Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Ash-Shira’ bayna al-Hadharah al-Gharbiyyah wa al-Hadharah al-Islamiyyah pernah menganalogikan hukum Barat itu seperti termometer. Artinya, hukum akan mengikuti apa pun kehendak masyarakat, seperti halnya termometer yang akan menunjukkan suhu berapa pun sesuai suhu badan yang diukur. Memang seperti itulah karakter dasar hukum sekular, yakni substansi hukum atau penegakan hukum, tidak mempunyai norma yang tetap (fix/tsabit) yang berlaku universal; selalu berubah-ubah sesuai dengan kehendak penguasa atau aparat penegak hukum.
Apakah hal itu juga bisa terjadi dalam sistem Islam?
Dalam sistem Islam, penegakan hukum yang dipengaruhi kepentingan politik bisa saja terjadi. Namun, kemungkinannya kecil, dan sifatnya jauh berbeda dengan sistem demokrasi. Mengapa? Karena syariah Islam, sebagai substansi hukum dalam masyarakat Islam, memiliki norma yang tetap dan tidak mudah ditundukkan pada kemauan penguasa. Kalau mengikuti Abul A’la al-Maududi dalam kitab yang saya sebut tadi, karakter hukum Islam (syariah) itu dapat dianalogikan seperti kompas. Jelas kompas itu beda sekali dengan termometer. Kalau termometer menunjukkan suhu yang selalu berubah-ubah, kompas akan selalu menunjukkan arah mata angin yang tetap. Kompas tidak akan peduli bagaimana arah dan posisi manusia yang sedang menggunakan kompas itu. Anda menghadap ke utara, jarum kompas akan menunjuk arah utara. Anda menghadap ke selatan, jarum kompas akan tetap menunjuk arah utara, bukan ke arah selatan.
Contoh sederhana, khamr (minuman keras/beralkohol) hukumnya haram dalam Islam, baik memproduksi, mendistribusikan, maupun mengkonsumsinya. Keharaman ini bersifat tetap dan universal. Jual-beli khamr di hotel hukumnya haram, sebagaimana haram jual beli khamr di dekat sekolah atau masjid. Jadi penegakan hukum untuk memberantas khamr sangat sulit disalahgunakan atau dimanipulasi dalam sistem Islam.
Kalau dalam sistem demokrasi kan nggak seperti itu. Menurut Perpres tentang Miras no 74 tahun 2013, khamr tidak dilarang, tetapi hanya “diatur” distribusinya. Jual beli-khamr di dekat sekolah atau masjid tidak boleh, tetapi kalau di hotel boleh. Gila, kan? Ini hukum apaan? Adanya perbedaan distribusi khamr yang seperti itu jelas membuka celah-celah hukum untuk memanipulasi penegakan hukum.
Tadi dikatakan, dalam sistem Islam, penegakan hukum yang dipengaruhi kepentingan politik, kalau pun terjadi, berbeda dengan sistem demokrasi. Maksudnya?
Begini. Dalam demokasi, kerusakannya bersifat sistemik. Dalam sistem Islam, tidak sistemik, tetapi lebih sebagai human error. Mengapa? Karena substansi hukum dalam demokrasi itu sudah rusak sejak kelahirannya, yaitu hukum buatan manusia yang terbatas akal dan pengetahuannya. Akibatnya, sistem hukum dalam demokrasi menderita cacat bawaan yang fatal dan tak mungkin diperbaki. Dalam sistem Islam, kerusakannya bukan bersifat sistemik, melainkan lebih bersifat human error, yaitu penyimpangan dari sisi manusianya, bukan penyimpangan dari sisi substansi hukumnya. Karena substansi hukumnya, yaitu syariah Islam, pasti benar karena bersumber dari wahyu Allah SWT.
Bagaimana Islam mencegah dan menghilangkan politik saling sandera?
Islam mencegah politik saling sandera dengan tiga pilar utama dalam penegakan hukum Islam di masyarakat. Pertama: dengan menguatkan keimanan para individu Muslim, baik itu masyarakat umum maupun aparat penegak hukum. Kedua: dengan menumbuhkan tradisi amar makruf nahi mungkar yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Ketiga: dengan penegakan hukum yang adil oleh penguasa atau aparat penegak hukum.
Islam menghilangkan politik saling sandera dengan dua hal. Pertama: dengan adanya mekanisme koreksi (al-muhasabah) yang dilakukan oleh empat pihak: Majelis Umat, Mahkamah Mazhalim, partai-partai politik dan individu rakyat. Kedua: dengan mekanisme peradilan (al-qadha’), khususnya Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim mempunyai kewenangan dan berhak untuk mengatasi politik saling sandera. Mahkamah Mazhalim berwenang menghilangkan setiap kezaliman yang terjadi, juga berwenang menghilangkan konflik antarlembaga negara akibat tafsiran hukum yang berbeda mengenai suatu undang-undang.
Dalam Islam, adakah masa kadaluwarsa suatu kasus hukum?
Begini. Kalau dalam peradilan Islam, orang yang merasa menjadi korban suatu kejahatan, misalnya korban penipuan, pencurian, perkosaan, atau penghinaan, semestinya segera melapor (yakni tidak menunda-nundanya) untuk mengajukan gugatan kepada peradilan. Pengajuan gugatan ini apakah ada kedaluwarsanya menurut syariah Islam? Ada, yaitu 15 (lima belas) tahun, kecuali ada uzur syar’i, sehingga tuntutan tetap berlaku meski lebih dari 15 tahun. Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Jina’iyyah al-Islamiyyah (1/197) ada pembahasan khusus mengenai penundaan pengajuan gugatan (ta’khir iqamah ad-da’wa) oleh pihak korban kejahatan. Kitab tersebut mengutip pendapat Imam Ibnu Abidin dalam Radd al-Muhtar (V/419) yang mengatakan bahwa jika pengajuan gugatan ditunda lebih dari 15 tahun, maka gugatannya ditolak karena dianggap telah kadaluwarsa (at taqaadum, obsolescence), kecuali ada uzur syar’i, misal pihak penuntut sakit atau tinggal jauh dari peradilan, namun dikecualikan untuk kasus wakaf dan waris, yang tuntutannya masih berlaku walau sudah lebih dari 15 tahun.
Namun perlu saya tambahkan, batasan kadaluarsa 15 tahun tersebut sebenarnya tidaklah mutlak. Mungkin batasan ini adalah batasan dalam mazhab Abu Hanifah, sebagai mazhab yang dianut oleh Imam Ibnu Abidin. Dalam kitab yang saya sebut sebelumnya, yaitu kitab Al-Mawsu’ah al-Jina‘iyyah al-Islamiyyah (1/282) pada entri “At-Taqadum” (Kadaluarsa Hukum), disebutkan bahwa tidak ada nas khusus dari al-Quran dan as-Sunnah mengenai batasan kadaluwarsa. Batasannya diserahkan kepada ijtihad penguasa (Waliyyul Amri), sepanjang tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dengan demikian jika satu saat Khilafah berdiri lagi, lalu Khalifah sebagai Waliyyul Amri menetapkan batas kadaluwarsa yang lain, misal 20 tahun, atau 30 tahun, atau ada tafshil (rincian), yaitu ada batas kadaluwarsa yang berbeda untuk kasus yang berbeda, maka hal itu sah-sah saja.
Untuk diketahui, masalah batasan kadaluwarsa (at-taqaadum) ini sudah dibahas oleh para fuqaha muta’akhirin dalam kitab-kitab mereka, seperti dalam kodifikasi undang-undang Khilafah Utsmaniyyah, yaitu Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, (lihat: Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyyah, IV/321). Masalah kadaluwarsa juga sudah dibahas dalam kitab At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami karya Syaikh Abdul Qadir Audah.
Apa keistimewaan penegakan hukum dalam sistem Islam?
Keistimewaan yang paling puncak adalah substansi hukumnya, yaitu syariah Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Syariah Islam adalah hukum yang secara mutlak adalah hukum terbaik di seluruh dunia. Karena Allah SWT sudah berfirman, “Wa man ahsanu minalLahi hukman li qawmin yuqinun?” Artinya, “Hhukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50). Syariah Islam juga sudah dijamin oleh Allah SWT sebagai hukum yang benar (shidqan) dan adil (‘adlan) (lihat QS al-An’am [6]: 115).
Selain itu, keistimewaan penegakan hukum dalam Islam adalah adanya kontrol yang ketat terhadap para penegak hukumnya. Seperti sudah saya jelaskan tadi, mekanisme koreksi (muhasabah) terhadap penegakan hukum akan datang dari empat pihak: Majelis Umat, Mahkamah Mazhalim, partai-partai politik dan individu rakyat. Jadi, walaupun potensi human error tetap ada dalam penegakan hukum dalam sistem Islam, potensi tersebut dapat diminimalisasi dengan kuatnya kontrol atau check and balances yang ada.
Apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan penegakan hukum menurut sistem Islam itu?
Penegakan hukum menurut sistem Islam itu membutuhkan tiga hal. Pertama: adanya peraturan perundangan-undangan yang bersubstansi syariah Islam, bukan yang lain. Kedua: adanya aparat penegak hukum demi tegaknya syariah Islam, yaitu antara lain polisi dan hakim yang menjalankan syariah Islam. Ketiga: adanya budaya hukum masyarakat yang mendukung penerapan syariah Islam. Nah, ketiga unsur tersebut jelas tak mungkin ada secara utuh, kecuali dalam negara Khilafah. Tanpa negara Khilafah, jelas tak mungkin ada berbagai peraturan perundangan syariah yang mengatur segala aspek kehidupan. Dalam sistem sekular sekarang yang ada hanya sebagian kecil aturan syariah saja, misalnya UU Perkawinan. Tanpa Khilafah juga tak mungkin ada aparat penegak hukum yang bekerja demi tegaknya syariah Islam. Dalam sistem sekular sekarang, aparat penegak hukum mengabdikan dirinya demi tegaknya hukum sekular, bukan hukum syariah Islam. Tak mungkin pula ada budaya masyarakat yang betul-betul mendukung syariah Islam, kecuali dalam negara Khilafah. Sistem sekular sekarangtelah membuat budaya hukum masyarakat juga kacau. Misal, ketika satu keluarga Muslim mau membagi waris, potensi persengketaannya sangat besar. Pasalnya, sistem hukum Indonesia memang menyediakan tiga sistem perhitungan waris: bisa mengikuti hukum Islam, hukum Barat, atau hukum adat.
Walhasil, tanpa negara Khilafah, mewujudkan penegakan hukum sesuai syariah Islam hanyalah utopia belaka. Alhasil, keberadaan Khilafah adalah syarat mutlak bagi penegakan hukum yang sesuai sistem Islam. WalLahu a’lam. []