Soal:
Ada yang menyatakan bahwa Nabi saw. telah mempraktikkan “taqiyyah” dan “taqiyyah” ini telah dinyatakan dalam al-Quran dan al-Hadis. Benarkah demikian? Ada juga yang membedakan “taqiyyah” yang dibenarkan syariah dengan “taqiyyah” versi Syiah yang dianggap bagian dari ushuluddin. Bagaimana sesungguhnya? Bisakah kita vonis Syiah ini semuanya kafir karena mereka mengubah al-Quran, melaknat Sahabat serta menuhankan Ali?
Jawab:
Pertama: Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
…kecuali jika kalian benar-benar merasa takut terhadap mereka (QS Ali Imran [3]: 28).
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
…kecuali orang yang dipaksa [untuk murtad], sementara hatinya masih tetap yakin dengan keimanannya (QS an-Nahl [16]: 106).
Abu Bakar al-Baihaqi (w. 458 H) dalam kitabnya, Sya’b al-Iman, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, berkata: Kami bersama ‘Imran bin Hushain berangkat dari Bashrah menuju ke Kufah. Ketika itu ia berkata:
إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ
Sesungguhnya di dalam penggunaan ma’aridh itu terhindar dari kebohongan.
Hadis ini sahih, tetapi mawquf. Hadis ini telah dikeluarkan oleh Ibn al-‘Arabi (w. 340 H) dalam kitab Mu’jam-nya secara marfu’. Dawud bin az-Zibriqan menuturkan kepada kami dari Said, dari Qatadah, dari Zurarah bin Abi Aufa, dari ‘Imran bin Hushain, bahwa Nabi pernah saw. bersabda:
إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ
Sesungguhnya di dalam penggunaan ma’aridh itu terhindar dari kebohongan.
Nas atau dalil di atas mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Masing-masing tidak boleh dijadikan satu. Nah, untuk memperjelan masalah ini, kami perlu memberIkan penjelasan. Pertama: “Taqiyyah” yang dibolehkan menurut syariah adalah “taqiyyah” antara seorang Muslim dan kaum kafir. Ini berlaku saat orang Muslim hidup di tengah-tengah mereka, di bawah kekuasaan (pemerintahan) mereka, dan sedang menghadapi ancaman penganiayaan yang luar biasa jika dia tidak menampakkan loyalitas dan kecintaannya kepada mereka. Jika faktanya demikian, seorang Muslim ini boleh menampakkan kecintaannya kepada mereka dengan lisannya, tetapi tidak dengan hatinya.
Sebaliknya, seorang Muslim tidak boleh menampakkan kepada sesama Muslim sikap yang berbeda dengan isi hatinya, siapapun orangnya, baik kaum Muslim biasa maupun istimewa, seperti penguasa yang zalim, misalnya, maka ini tetap tidak boleh.
Dalilnya adalah nas al-Quran yang menyatakan:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Kaum Mukmin tidak boleh menjadikan kaum kafir sebagai teman setia [pelindung] selain orang Mukmin. Siapa saja yang melakukan itu tidak berhak mendapatkan sedikitpun [perlindungan] dari Allah, kecuali jika kalian benar-benar merasa ketakutan terhadap mereka. Allah memperingatkan kalian dengan Diri-Nya. Hanya kepada Allahlah tempat kembali (QS Ali ‘Imran [3]: 28).
Konteks ayat ini jelas, yaitu kaum Mukmin yang melakukan “muwalah” dengan orang-orang kafir atau menampakkan persahabatan dengan mereka.
Jika ada satu ayat atau hadis menyatakan konteks pembahasan tertentu, maka ayat atau hadis tersebut khusus membahas konteks pembahasan tersebut, dan tidak bisa digunakan untuk yang lain. Sebab, ayat ini turun dalam kondisi ketika kaum Muslim belum hijrah, dan masih menetap di Makkah di bawah kekuasaan kaum Kafir Quraisy. Urusan mereka kalah sehingga ketika mereka menampakkan permusuhan dan tidak bersahabat dengan mereka, mereka pasti akan menghadapi penganiayaan yang keras. Maka dari itu, ayat ini mengecualikan mereka dalam kondisi seperti ini, yaitu kondisi kaum Muslim yang belum hijrah dari Makkah, dan berada di bawah kekuasaan kaum Kafir Quraisy. Mereka lemah sehingga mereka khawatir akan penganiayaan terhadap diri mereka jika mereka menampakkan permusuhan dan tidak bersahabat. Inilah satu kondisi yang dikecualikan.
Karena itu menampakkan kecintaan kepada penguasa Muslim, karena takut terhadap penganiayaannya, sementara dia zalim, fasik dan menerapkan hukum kufur, jelas haram. Begitu juga menampakkan kecintaan kepada seorang Muslim yang berbeda pendapat dengan Anda, lalu menyembunyikan ketidaksukaan dalam hati, juga haram. Menampakkan diri tidak terikat dengan Islam, atau tidak peduli terhadap Islam di depan orang kafir atau fasik dan zalim juga tidak boleh. Pasalnya, semuanya ini merupakan bentuk kemunafikan yang diharamkan oleh syariah bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
…kecuali jika kalian benar-benar merasa takut terhadap mereka (QS Ali ‘Imran [3]: 28).
Konteks ayat ini terbatas dalam satu kondisi kaum Muslim, yang ketika itu ada di Makkah, tengah kaum kafir; terbatas ketika kaum Muslim berada di bawah kekuasaan kaum kafir. Dengan kata lain, ketika mereka lemah dan kondisinya kalah.
Terkait ayat di atas, ath-Thabari (w. 310 H) dalam Tafsir-nya menyatakan bahwa Abu Ja’far berkomentar, “Ini merupakan larangan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang Mukmin untuk menjadikan kaum kafir sebagai penolong, pelindung dan pendukung; kecuali jika kalian berada di bawah kekuasaan mereka, kemudian kalian mengkhawatirkan diri kalian terhadap mereka sehingga kalian menampakkan loyalitas kepada mereka dengan lisan kalian. Kalian jangan bersahabat dengan mereka dengan kekufuran yang ada pada mereka dan jangan melakukan tindakan menolong mereka untuk mengalahkan orang Muslim.”
Karena itu, apa yang mereka sebut dengan “taqiyyah” itu dengan sendirinya ternafikan. Tindakan orang Mukmin menampakkan sesuatu yang berbeda di hadapan penguasa yang zalim dan fasik yang mempunyai kekuatan, atau orang yang berbeda pendapat, atau yang lain, adalah haram dilakukan, karena merupakan sikap nifaq. Sikap nifaq itu semuanya haram.
Kedua: Allah SWT berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
Siapa saja yang mengkufuri Allah setelah beriman, kecuali orang yang dipaksa [untuk murtad], sementara hatinya masih tetap yakin dengan keimanannya (QS an-Nahl [16]: 106).
Ayat di atas terkait dengan konteks kufur, setelah beriman. Dengan kata lain, konteksnya murtad, sementara kondisinya dalam kondisi takut mati. Kondisi ini disebut oleh fuqaha’ dengan istilah, ikrah mulji’; satu-satunya bentuk paksaan yang secara syar’i diakui dalam segala kondisi, dimana hukum asal dicabut dari orang yang dipaksa. Jadi, bentuk paksaan yang dikecualikan oleh syariah adalah ikrah mulji’, yaitu kondisi takut dibunuh secara meyakinkan.
Ayat ini diturunkan kepada ‘Ammar bin Yasir ra. Mereka menangkap dan menyiksa dia serta membunuh ibu dan bapaknya karena keduanya menolak untuk murtad. Mereka menyiksa ‘Ammar bin Yasir dengan siksaan yang keras, hingga nyaris mati, seperti ibu dan bapaknya. Pada saat itulah, ‘Ammar menyatakan kalimat kufur tadi. At-Thabari berkomentar: Kami diberitahu oleh Ibn ‘Abdi al-A’la, dia berkata, Kami diberitahu oleh Muhammad bin Tsaur dari Ma’mar dari ‘Abd al-Karim al-Jaziri dari Abi ‘Ubaid bin Muhammad bin ‘Ammar bin Yasir, berkata, ‘Orang musyrik telah menangkap ‘Ammar bin Yasir dan menyiksa dia sampai dia menuruti mereka dalam sebagian perkara yang mereka inginkan. Dia kemudian menuturkan itu kepada Nabi saw. Lalu, Nabi saw. Bertanya, “Bagaimana kamu mendapati hatimu?” Dia berkata, “Tetap yakin dengan keimanan.” Nabi saw. bersabda, “Jika mereka mengulanginya lagi, maka ulangilah.”
Jadi, begitulah sebab turunnya ayat ini, yaitu peristiwa ‘Ammar. Konteksnya adalah murtad dari Islam. Kondisi tertentu yang terkait dengannya adalah takut dibunuh secara meyakinkan. Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menegaskan, bahwa ayat ini tidak ada kaitanya dengan firman Allah SWT: illa an tattaqaw.
Selain itu, ayat di atas juga Makkiyah yang diturunkan dalam konteks keimanan. Sedangkan ayat sebelumnya adalah Madaniyyah yang diturunkan dalam konteks keharaman orang Mukmin ber-muwalah dengan orang kafir, kemudian dikecualikan dalam satu kondisi, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena itu, konteks ayat ini berbeda dengan ayat sebelumnya. Masing-masing tidak bisa dicampuradukkan. Satu dengan yang lain juga tidak terkait, karena kondisi dan konteksnya berbeda.
Ketiga: Nabi saw. bersabda:
إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ
Sesungguhnya di dalam penggunaan ma’aridh itu terhindar dari kebohongan.
Hadis ini dinyatakan dalam konteks “tawriyyah”. Ini tidak termasuk berbohong atau menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang disembunyikan, tetapi tetap bagian dari kejujuran. Jadi, ini terkait dengan penggunaan satu kata dengan dua makna. Satu maknanya jauh, sedangkan yang lain bermakna dekat. Lalu orang yang mendengar terlintas makna yang dekat. Padahal yang dimaksud adalah makna yang jauh. Inilah yang dimaksud ma’aridh.
Dalam kamus Mukhtar ash-Shihhah, dinyatakan, “At-Ta’ridh [ungkapan kiasan] lawan at-tashrih [pernyatan tegas]. Dari kata itu lahir ma’aridh [kiasan] dalam ungkapan, yaitu tawriyyah dengan menggunakan sesuatu tentang sesuatu.”
Makna “Manduhah” menurut Abu Ubaid adalah si’ah dan fashah (kelapangan). Jadi, maksudnya, penggunaan ma’aridh atau tawriyyah merupakan jalan untuk menjauhkan dari berbohong. Jawaban Nabi saw. kepada orang tua yang bertanya kepada beliau, “Dari mana Anda?” Lalu Nabi saw. menjawab, “Kami dari air.” adalah bentuk “tawriyyah”, bukan “taqiyyah”. Jadi, apa yang disampaikan Nabi saw. kepada orangtua tersebut sebagai jawaban atas pertanyaannya adalah penggunaan tawriyyah, dan ungkapan ma’aridh. Kata ma’ (air) mempunyai konotasi air biasa atau air sperma. Orangtua tersebut menangkap, bahwa Nabi saw. berasal dari suatu kampung atau kawasan yang ada sumber air tertentu, sebagaimana yang lazim dilakukan bangsa Arab ketika singgah di sumber air tertentu. Jadi, Nabi saw. tidak melakukan “taqiyyah” karena taqiyyah tersebut tidak boleh digunakan, kecuali dalam satu kondisi. Ketika lemah dan kalah, yaitu saat berada di bawah pemerintahan kaum kafir, untuk menghindari keburukan dan penganiayaan mereka. Di luar itu, tidak boleh karena termasuk bohong dan munafik. Tentu, Nabi saw. terhindar dari hal itu karena baginda adalah orang yang benar dan dibenarkan.
Karena itu siapa saja yang menuduh Nabi saw. melakukan taqiyyah harus bertobat kepada Allah SWT; mengakui kesalahannya, menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. Nabi saw. bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam pasti bersalah. Sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat (HR at-Tirmidzi)
Tentang Syiah yang mengikuti mazhab Ja’fari, atau Zaidi, pada dasarnya mereka adalah Muslim. Namun, siapa saja yang mengubah al-Quran dan menjadikan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan, maka jelas kafir. Tidak lagi diakui sebagai Muslim. [KH. Hafidz Abdurrahman]